28 : Terungkap

507 67 24
                                    

“Kamu dan Ivena...bertengkar?”

Mendengar pertanyaan yang meluncur dari sela bibir Seno, Annika segera menatap kekasihnya yang tengah mengulas ekspresi serius. “…mm, sedikit berdebat. Tapi nggak sampai ke arah yang gawat. Kenapa?”

Jawaban yang dilontarkan oleh Annika membuat alis Seno menyatu. “Ah…nggak. Nggak apa-apa.”

Annika menatap Seno yang kini terlihat canggung selama beberapa saat, sebelum ia menghela nafas pelan. “Sebastian yang cerita ke kamu?”

Wanita itu berusaha menahan tawanya saat melihat ekspresi bersalah tertera pada wajah tampan penerus pemimpin keluarga Widjaya itu. Dengan cepat, tangan Annika terulur dan mencubit pipi Seno. “Kamu kok lucu banget sih?”

Tawa Annika meledak saat melihat ujung kuping Seno yang memerah dan sang pria yang memalingkan wajahnya ke arah lain--berusaha menutupi fakta bahwa ia baru saja blushing. Ia tidak menyangka kalau pria yang di awal pertemuan mereka berani memberi kecupan pada pelipisnya, kini tersipu hanya karena Annika mencubit pipinya.

By the way, aku mau minta maaf.”

Kalimat yang diucapkan Annika berhasil membuat Seno kembali menatapnya. Kerutan tertera jelas pada dahi sang pria. “Minta maaf? Untuk--”

“Karena gue--wait. Maksudku…aku udah ngancem kamu karena kamu tanya-tanya soal…Arjuno. Nggak seharusnya aku gitu.”

“Oh…” gumam Seno, kini beralih menatap jarinya yang saling terpaut selama beberapa saat, sebelum menghela nafas pelan dan kembali menatap Annika dengan senyuman kecil tertera pada wajah tampannya. “Kamu nggak perlu minta maaf, memang aku yang salah. Harusnya aku tahu batas-batas yang nggak boleh dilewati.”

“Tapi--”

Seno menggelengkan kepalanya, “No Annika. Aku yang memang bersalah di sini. Lagipula, kamu punya hak untuk nggak memberitahu semua tentang yang terjadi dihidupmu, karena kita nggak real.”

Annika tahu, bahwa ia tidak suka mendengar Seno beberapa kali menyebutkan--atau bahkan seolah mengingatkannya--bahwa hubungan mereka hanya pura-pura. Ia sadar kalau setiap Seno mengungkit tentang hubungan mereka, rahangnya mengeras dan jantungnya seolah sempat berhenti berdetak beberapa saat--yang tentu saja hanya khayalan Annika.

Dan semua yang terjadi pada tubuhnya setiap Seno mengucapkan kata-kata itu, membuat Annika benar-benar merasa kesal.

“Oh…iya, haha…ha.”

Keduanya kembali diam, merasa canggung setelah topik tentang hubungan mereka naik ke permukaan.

“Eh iya, terus gimana sama Bunda? Udah berhenti jodoh-jodohin kamu?”

Annika melewatkan ekspresi Seno yang sejenak berubah menjadi keruh.

“...kenapa?”

Balasan Seno membuat Annika menatap pria itu seolah ia baru saja mendengar anak kecil yang bercerita tentang adanya alien di planet lain. “Lupa ya? Tujuan kita kan supaya Bunda berhenti jodohin lo. Rencananya kan aku bakal putusin kamu yang ‘lagi cinta-cintanya’ sampai kamu depresi dan berhasil bikin Bunda nggak jodohin kamu lagi dengan siapa pun karena takut kamu kena heart break--”

Annika terdiam, tidak melanjutkan perkataannya. Tatapannya jatuh pada tangan Seno yang menggenggamnya dengan erat.

“Annika.”

Suara Seno yang masuk indra pendengarannya berhasil mengembalikan perhatiannya pada pria di sampingnya--dan Annika tercekat saat mendapati Seno terlihat sangat serius. “...ya?”

“Boleh saya meminta sesuatu?”

Alis Annika terpaut saat Seno merubah gaya bicaranya. “...sure. Kamu butuh bantuan apa?”

“Saya...nggak mau hubungan kita berakhir.”

Kerutan pada dahi Annika semakin dalam. “Maksud kamu?”

Seno meneguk ludahnya, kini menggenggam kedua tangan Annika dengan erat. “Saya--”

BRAK!

Secara serempak, keduanya bangkit berdiri saat mendengar pintu ruangan Seno yang terbuka dengan keras. Mata Annika terbelalak lebar melihat Yoga--yang masih dalam balutan pakaian kerjanya--berjalan dengan cepat ke arah mereka. Wajah pria itu datar, namun sorot matanya yang aneh membuat Annika segera menjadikan dirinya sebagai tameng di depan Seno--tepat sebelum tamparan keras mendarat pada pipi kirinya yang menimbulkan dengungan di telinga kirinya.

“Ann--”

You lied to me,” geram Yoga, mencengkram erat kerah kaus Annika, hingga Annika sedikit terangkat dari lantai dan mengeluarkan suara tercekik.

“Yog--akh.” Annika mencengkram tangan Yoga yang tengah menarik kerah kausnya, menancapkan kukunya pada pergelangan tangan Yoga demi membuat pria itu merasa kesakitan dan melonggarkan cengkraman pada kausnya.

“Aku nggak balik ke Indonesia just for you to feed me lies.” Yoga kembali menggeram, membawa wajahnya tepat di depan wajah Annika.

Annika tidak mengucapkan apa pun--ia tidak bisa. Ia bisa merasakan saluran pernapasannya yang seolah menyempit. Dengan cepat ia mengayunkan kakinya, mengincar ulu hati Yoga. Namun, saudara kembarnya itu lebih cepat bergerak, Yoga melepaskan cengkramannya pada kaus Annika--membuat Annika segera tersungkur di atas karpet, tersengal.

Yoga mengalihkan tatapannya pada Seno yang sejak tadi memberontak di dalam tahanan Bobby dan Marcus--yang tentu saja memakai masker hitam. Seringai Yoga muncul, menatap Seno dengan tatapan mencemooh. “As for you...aku nggak akan ngusik keluarga Widjaya. Tapi, hubunganmu dan Annika berakhir sekarang juga. Karena kamu nggak melanggar janjimu, aku nggak akan menghukummu.”

Seno menggertakkan giginya saat mengingat janjinya pada Yoga untuk tidak menyakiti Annika. “Kamu nggak bisa ikut campur--”

Yoga terkekeh, memotong ucapan Seno. “Of course  i can. Aku nggak kembali ke sini, ninggalin tempat persembunyianku just for her to feed me with lies.” Mata Yoga mengerling pada Annika yang menunduk, sebelum beralih menatap Agus yang sejak tadi berdiri di dekat pintu.

Take her.”

Tanpa mengucapkan apa pun pada Seno, Yoga berbalik dan pergi. Agus segera mencengkram lengan Annika--membantu wanita itu untuk bangkit--dan beranjak mengikuti Yoga yang menunggu mereka di depan pintu.

“Annika--”

Seno berhenti beranjak maju saat ia merasakan tangan yang menekan dadanya--memberi tanda agar pria tinggi itu tidak mengejar Annika. Ia beralih menatap pria dengan mata sipit yang menggelengkan kepalanya.

“Lo harus mundur untuk kali ini. Saran dari gue, lo tunggu aja sampai Annika yang hubungin lo. Karena kita nggak tahu isi pikiran cowok gila itu kalau sampai lo nekat ngejar mereka.”

Dan Seno hanya terdiam, menyaksikan keduanya pergi mengikuti ketiga orang sebelumnya.

Ia tidak tahu, kalau hari itu adalah hari terakhir ia melihat Annika.

×××

Aku nggak tau harus ngomong apa :")

Btw aku sedang dilema antara mau unpub annika-seno apa ngga. Kenapa aku merasa cerita ini makin gaje 😅

Gimana?

Not a Fake Lover ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang