Wanita itu menghela napas pelan, kembali mengamati langit yang masih gelap. Waktu terasa berjalan dengan lambat di kota tempat ia berada saat ini sejak tiga hari lalu. Biasanya setiap ia membuka mata, matahari sudah berada di atas dan siap menyambutnya. Tapi kali ini, ia terbangun dengan matahari yang masih bersembunyi.
"Loh mbak, kok sudah bangun?"
Sapaan itu membuat sang wanita menoleh, menatap sosok gadis yang telah akrab dengannya sejak tiga hari lalu. "Belum terbiasa aja, mungkin karena tempat baru ya?"
Gadis itu menganggukkan kepala, "Mbak Annika mau teh? Saya sekalian mau bikinin kopi buat mas Agus."
Annika mengulas senyuman lebar, "Mau banget! Apalagi kalo ada bonusnya."
Gadis itu tertawa pelan, sebelum beranjak pergi dengan langkah yang terlihat anggun di mata Annika. Kalau saja Annika tidak mengajukan permintaan itu pada Agus, ia tidak akan pernah tahu kalau pria dengan kulit yang hampir pucat itu memiliki rumah di daerah yang sangat Annika sukai.
Yogyakarta.
Setelah pertemuannya dengan Arjuno, hari itu juga Annika meminta Agus untuk memberi ide tempat yang akan mereka kunjungi--dan Annika tidak menyangka kalau pria itu akan membawanya ke kota tempat sang Ayah tumbuh besar.
"Kasur di kamar nggak nyaman?"
Suara berat dan serak yang menyapa telinganya membuat Annika mengalihkan tatapannya dari langit yang mulai beranjak terang. Senyuman kecil terulas pada wajahnya saat melihat Agus yang terlihat baru saja bangun. Rambut sang pria yang kini berwarna hitam terlihat berantakan, kaus putih serta celana panjang hitam terlihat kusut.
"Nyaman kok. Cuma emang terbiasa aja bangunnya jam segini."
Jawaban yang dilontarkan Annika membuat pria bersurai hitam itu mengeryit. "Beneran? Kalau nggak nyaman bilang aja, nanti aku ganti."
Kedua alis Annika terangkat mendengar pernyataan Agus. "Ganti? Beli baru gitu?"
Agus menggelengkan kepalanya, "Nggak. Aku pindah ke kamar lain, kamu tinggal pakai kasur lipat."
Wanita itu terdiam selama beberapa saat, sebelum mengulas senyum polos pada Agus. "Bang Agus pernah dipukul pake hape sampai berdarah nggak kepalanya?"
Agus mendengus, beranjak tidur di kursi panjang yang terletak di seberang Annika. "Nggak, tapi Yoga pernah hajar orang sampai ujung hapenya cuil."
"Ah... waktu aku sama Yoga SMA ya? Itu pas dia nggak sengaja kena lempar batu sama anak-anak yang lagi tawuran nggak sih?"
Pria itu kembali memejamkan mata, ikut mengingat kenangan gelap kedua saudara itu. "Hm. Terus kamu tusuk tangan cowok itu pakai pensil mekanik biar dia nggak tawuran lagi--wait," Agus membuka matanya, menatap Annika dengan kerutan pada dahinya, "Kalau diingat-ingat lagi, kalian berdua emang cocok jadi saudara psikopat ya."
"Bang Agus minta di kirim ke Pelangi Jingga ya?"
"Nggak, tapi emang bener kan yang aku bilang?"
Annika mengulum bibirnya, memilih untuk mengalihkan pandangannya pada langit yang sudah terang--meskipun belum sepenuhnya terang seperti di tempat tinggalnya.
"Kamu sadar kan, cepat atau lambat kita bakal ketahuan kalau lagi disini?"
Annika mengedikkan bahunya, "Paling juga Yoga yang bakal jemput aku. Lagian lumayan kan Yoga ada disini, sekalian ajak dia keliling. Kayaknya kita terakhir ke Jogja 3 tahun lalu."
"Kalau bukan Yoga yang jemput kamu?"
Pertanyaan itu sukses membuat perhatian Annika kembali terpusat pada Agus. Wanita itu mengeryit, tidak mengerti maksud tatapan Agus yang entah kenapa seolah ingin menyampaikan sesuatu. "Maksudnya? Papa gitu? Apa Bobby? Kalau kak Aya gak mungkin sih, kan lagi sibuk ngurus nikahan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not a Fake Lover ✔
RomanceOrang bilang move on itu gampang. Bahkan orang-orang di sekelilingnya memberitahu Annika bahwa move on itu semudah membalikkan telapak tangan, apalagi ia cantik, sudah pasti banyak pria yang mau menjadi kekasihnya. Tapi waktu sudah berjalan 6 bulan...