17. Mengenang

537 56 0
                                    

Rutinitas sekolah sudah kembali beroperasi esok hari. Dan hari ini, Sarka memutuskan untuk kembali ke dalam rumahnya untuk mengambil barang-barang yang belum ia bawa ke kediaman keluarga Edo. Mereka benar-benar sangat baik karena mau menampung Sarka di sana, sementara Sarka belum tahu harus membalas kebaikan mereka dengan apa. Sebenarnya, Sarka merasa enggan dan terlalu segan untuk ikut tinggal di sana, bareng bersama Edo, Eki adik Edo, dan Elma ibu Edo. Ayahnya Edo, Aldi namanya, sedang berada di luar kota, sibuk bekerja, beliau biasanya akan pulang sebulan sekali, itu pun paling banter.

Berulang kali Elma mengatakan kepada Sarka, bahwa Sarka tidak perlu merasa tidak enak. Elma sudah menganggap Sarka seperti anaknya sendiri.

Dengan perasaan yang bergejolak, Sarka kini sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Napasnya tersekat, membuat Sarka rasanya ingin menangis saja. Kenangan akan rumah ini benar-benar membuat dada Sarka menjadi sesak.

Bayang-bayang wajah Bang Alan dan ibunya kembali terngiang, dan Sarka benar-benar merasa ingin berjumpa dengan mereka lagi. Pahit sekali rasanya, dan Sarka harus menerima kenyataan bulat-bulat bahwa Maria maupun Alan tidak akan pernah ia jumpai lagi. Mereka sudah pergi jauh, Sarka kesulitan untuk menggapai keduanya.

Bohong jika Sarka mengatakan bahwa dirinya tidak merindukan ibu dan abangnya. Keduanya sangat berarti di hidup Sarka, tapi sayang sekali, takdir benar-benar tidak bisa dihindari. Mereka sudah pergi sangat jauh, meninggalkan Sarka sendirian, dipenuhi oleh batin yang bergejolak menyakitkan, disesaki oleh amarah yang membuncah, dikelilingi oleh duka yang mendalam. Dan Sarka berusaha untuk tegar untuk menerima semuanya. Sarka sudah ikhlas walaupun seringkali ia menangis diam-diam pada tengah malam, merindukan senyuman dan pelukan hangat Maria, rindu juga dengan candaan yang Alan lontarkan untuknya.

Bahkan saat ini, air matanya pun kembali lolos, yang buru-buru Sarka usap dengan gerakan kelewat cepat. Sarka menggeleng, mensugesti dirinya agar tidak menangis. Ia harus fokus pada tujuannya. Sarka juga yakin jika Ibunya yang ia cintai akan sedih jika melihat Sarka menangis seperti ini. Tak terkecuali Bang Alan juga.

Kini, sebuah kunci rumah sudah berada di tangan Sarka, cowok itu akan masuk sekarang juga. Sarka pun lalu dengan cepat memasukkan kunci ke lubangnya, sebelum akhirnya pintu pun benar-benar menjeblak terbuka.

Bau kenangan berusaha Sarka hirup dalam-dalam sembari memejamkan matanya. Dengan tubuh bergetar, Sarka mulai memasuki rumah tersebut. Sengaja Sarka menekan saklar agar lampu menyala benderang meskipun di luar hari masih siang.

Sarka mulai memasuki rumahnya lebih dalam lagi, rumah yang menjadi saksi pertumbuhan Sarka. Sarka sadar bahwa baru kali ini ia mengamati rumahnya betul-betul. Setelah semua kebahagiaan direnggut secara paksa dari pelukannya, setelah rumah ini sepi tiada penghuni, Sarka merasa bersalah karena baru bisa benar-benar memperhatikan rumahnya.

Sarka menelan ludahnya bulat-bulat. Meskipun dadanya terasa sesak, langkah kakinya semakin berat, dan pusing yang tiba-tiba menyerangnya, tapi Sarka memutuskan untuk tetap tegar. Tujuannya belum tercapai, ia tidak boleh pergi setelah membawa barang-barang yang ia butuhkan. Sarka juga ingin mengenang rumah ini lebih dalam lagi, bersama ibu dan abangnya. Ya, Sarka tahu bahwa mereka sudah tidak ada lagi di dunia fana ini, tapi Sarka yakin benar bahwa mereka akan melihat dirinya dari atas sana.

Selain itu, Sarka sangat ingin berlama-lama di sini. Maka dari itu, ketika Edo menawarkan apakah Sarka perlu bantuan, dengan sigap dan sangat mantap, juga tanpa keraguan sama sekali, Sarka langsung menukas bahwa dirinya bisa sendiri. Lebih tepatnya, Sarka menginginkan waktu sendiri. Sarka tidak mau diganggu oleh siapapun. Untungnya saja, Edo mengerti.

Dan pada akhirnya, di sinilah kaki Sarka berpijak. Alih-alih langsung pergi ke kamar dirinya, Sarka justru malah berbelok menuju kamar Maria. Sarka langsung masuk ke dalam, tidak ada perasaan takut apapun, Sarka ingin mengenang ibunya di sini.

Rasa-rasanya, Sarka ingin menumpahkan air matanya lagi. Kamar ibunya terasa dingin dan agak sedikit lembab. Sarka pun kemudian duduk di bibir kasur, arah pandangannya menyelidik ke sana ke mari, berusaha untuk menciptakan memori.

"Ibu, Sarka di sini. Ibu bisa lihat dan dengar suara Sarka, kan?" tanya Sarka, vokalnya terdengar parau dan bergetar.

Satu tetes air mata tidak bisa dibendung lagi, langsung meluncur turun ke pipi Sarka. Tapi kali ini, Sarka membiarkannya saja, Sarka tidak mengusapnya.

"Sarka kangen ibu," cicitnya lagi. Sarka kini menangis keras hingga sesenggukan. Semua emosi keluar dari diri Sarka.

"Sarka penyebab semua masalah ini ya Bu? Semuanya salah Sarka." Sarka tahu bahwa ibunya pasti benci mendengar bahwa Sarka menyalahkan dirinya seperti ini. Tapi Sarka tidak peduli, ia ingin menyalahkan dirinya.

"Sarka pengin kayak dulu lagi Bu, hidup bareng ibu dan Bang Alan, kita bahagia dan tertawa bareng. Sarka—" Sarka menjeda kalimatnya, kepalanya menunduk, matanya terpejam, sedangkan kedua tangannya terkepal sangat erat. "Sarka rindu masa-masa itu Bu, Sarka ingin merasakan hal seperti itu lagi. Tapi Sarka sadar bahwa permintaan Sarka ini sulit dikabulkan, bahkan terlampau mustahil."

Ada jeda seperkian detik.

"Ibu kangen Sarka juga, kan?" tanya Sarka kepada keheningan.

Tentu saja tidak ada jawaban. Sarka tersenyum kecut. Jika ada yang melihat Sarka seperti ini, pasti orang itu akan menganggap Sarka sudah hilang akal sehat karena berbicara sendiri. Namun Sarka tidak peduli, ia merasa bahagia bisa berbicara seperti ini, meskipun ucapannya selalu disambut oleh keheningan. Setidaknya, hal itu membuat Sarka merasa baik-baik saja.

Sarka berusaha untuk tegar dan menerbitkan senyuman tipis. "Sama kok Bu, bahkan Sarka lebih kangen sama ibu. Ibu baik-baik saja ya di sana, Sarka tahu bahwa ibu nggak mau lihat Sarka sedih. Sarka bakal mengusahakan itu Bu. Sarka kuat Bu, Sarka baik-baik saja di sini, ibu nggak perlu khawatir, ya?" Sarka menarik napas dalam-dalam ketika kata-katanya terhenti.

"Tante Elma baik sama Sarka Bu, Sarka sekarang tinggal di sana, Sarka tidurnya bareng sama Edo."

Sarka mengadu, seolah-oleh ibunya bisa mendengar ucapannya, seakan ibunya ada berada di dekatnya hingga mendengar ucapannya barusan.

"Sarka bakal usahain nggak akan membuat Tante Elma kecewa karena udah nampung Sarka. Suatu saat, Sarka bakal membalas budi Bu, doain Sarka ya Bu?"

Sarka menelan ludahnya dengan kasar, kemudian lirikan matanya jatuh ke arah bingkai foto di atas nakas. Sarka mengambil dan melihatnya. Serta-merta senyumannya mengembang penuh, disusul oleh pandangannya yang mengabur karena air mata yang sudah berkumpul di pelupuk matanya.

Foto itu memperlihatkan Sarka, Maria, dan Alan. Ketiganya tersenyum menghadap ke arah kamera. Itu foto lama, Sarka ingat pada hari itu. Dirinya masih kecil, jika Sarka tidak ingat, ia baru menginjak kelas dua sekolah dasar, sedangkan Alan sudah menginjak usia remaja. Maria terlihat masih cukup muda di dalam potret tersebut.

Lalu, Sarka pun memutuskan untuk membawa foto itu. Ia ingin membawanya, agar dirinya bisa melihat wajah ibu dan abangnya sepuas yang ia inginkan nantinya.

Kemudian Sarka berdiri dari duduknya. "Sarka nggak bisa lama-lama di sini Bu, ada sesuatu yang harus Sarka kemas di kamar. Sarka pergi dulu, kapan-kapan Sarka pasti bakal ke sini lagi."

Sarka pun memutuskan untuk keluar dari kamar ibunya, membawa bingkai foto tadi.

Shadow Scent 2 : He Did ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang