18. Mengenang 2

559 56 2
                                    

Sebelum Sarka masuk ke kamarnya, entah kenapa kamar abangnya menarik perhatian Sarka terlebih dahulu, membuat ia akhirnya mengeluarkan putusan cepat, Sarka bergerak kilat untuk menyelinap masuk ke dalam sana.

Kamar Alan begitu luas, membuat ingatan Sarka langsung tertarik ke arah masa lalu. Dulu, Sarka ingat sekali bahwa dirinya merengek kepada Alan untuk bertukar kamar. Bagaimana tidak, kamar Alan sudah menghipnotis Sarka dengan ukurannya yang sangat luas. Makanya ia iri besar dan merasa tidak adil.

Lalu, bagaimana dengan akhirnya? Tentu saja Sarka tidak mendapatkan keinginan tersebut. Ia sempat merajuk, bibirnya terus cemberut, decakan kesal pun luput keluar dari bibirnya. Tapi, hal tersebut tidak terjadi begitu lama. Abangnya lebih tua daripada Sarka, dan Alan butuh kamar yang lebih besar. Makanya Sarka mengalah.

Bahkan, dulu ia ingat sekali jika dirinya sudah besar, ia ingin menempatkan kamar Alan.

Dan sekarang, bukankah keinginan Sarka tersebut sudah berada di depan mata? Ia bisa di sini selama yang ia mau, karena Alan sudah tiada, pergi meninggalkannya. Harusnya, Sarka merasa bahagia bukan? Tapi, jelas saja Sarka sangat sedih. Ia tidak mau hal seperti ini terjadi, tapi mau tak mau Sarka harus menerima takdir yang menimpa dirinya. Sarka kuat, ia bisa bertahan.

Sarka berdiri mematung cukup lama, sorot matanya menjelajahi setiap sudut kamar milik Bang Alan. Persis seperti kamar Maria, kamar Alan juga terasa lembab. Biasanya, makhluk halus suka tempat-tempat lembab seperti ini. Tapi sekarang ini, Sarka tidak peduli akan kehadiran mereka, ia tidak takut, Sarka juga sudah tidak bisa melihat wujud mereka lagi.

Singkatnya, hidup Sarka sudah kembali normal seperti semula. Hanya saja, ia kehilangan keluarga tercinta. Jika Maria dan Alan bisa ditarik kembali dari kematian, Sarka benar-benar rela meskipun matanya bisa melihat mereka yang menyeramkan. Sarka tak apa begitu, ia ikhlas dan akan menerimanya dengan lapang dada, asalkan ibu dan Bang Alan bisa kembali ke jangkauannya, bisa Sarka peluk sesuka yang dirinya inginkan.

"Gara-gara gue ya Bang." Sarka mulai bergumam, memecah keheningan yang sejak tadi merebak. "Semuanya memang salah gue."

Bagaimana Sarka tidak menyalahkan dirinya? Jika bukan karena dirinya ini, Bang Alan masih di sini, alih-alih sudah pergi jauh di depan sana.

Sarka ingin menebus kesalahan dan dosa-dosanya, tapi sayang sekali Sarka tidak tahu harus berbuat apa.

Kaki Sarka mulai melangkah mendekat ke arah rak komik milik Bang Alan. Komik abangnya masih lengkap, ada debu cukup tebal yang menempel pada rak komik tersebut. Dulu, Sarka pernah meminjam komik milik Alan, ia tidak terlalu suka dengan komik, tapi meskipun begitu, Sarka menikmati kegiatan membaca komik kala itu.

Sarka juga ingat bahwa dirinya pernah diajak Bang Alan untuk pergi ke toko buku. Sarka merasa bahwa kejadian itu baru terjadi beberapa hari kemarin, tapi siapa sangka bahwa kejadian tersebut sudah beberapa bulan yang lalu. Nyaris satu tahun yang lalu. Sepuluh bulan mungkin? Atau sembilan bulan? Barangkali masih delapan? Entahlah, Sarka tidak bisa mengingatnya secara pasti.

Waktu di toko buku itu, Sarka sadar bahwa Alan mulai berhubungan dengan seorang cewek.

"Kalo Abang tanya kabar kak Tia, gue nggak bisa jawab itu Bang." Sarka bergumam lirih. "Terakhir gue ketemu kak Tia adalah waktu Abang meninggal. Dan sampai sekarang, kita belum berjumpa lagi."

Dengan kasar, Sarka menelan ludahnya bulat-bulat, cowok itu kemudian melangkah mundur dan menatap ke atas lemari komik Bang Alan. Dulu, di sananya Gwen duduk di sana, pertama kali Sarka bisa melihat hantu tersebut, Gwen pada posisi duduk di atas sana.

Dari situlah Sarka baru tahu bahwa ada jenis hantu yang baik, sebelum akhirnya ia juga kenal dengan Rose si hantu toilet sekolah. Gwen awalnya memang baik, Sarka bahkan tidak takut kepadanya. Kuat sekali dimemori Sarka bahwa Gwen senang mengintip Alan mandi.

Semuanya masih tampak normal-normal saja kala, sebelum akhirnya serangan dan teror mulai berdatangan. Mimpi buruk, buku catatan lama, orang-orang yang meninggal karena namanya tercatat menggunakan darah segar di buku diary Sarka. Semuanya bagai bom yang meledak bagi Sarka.

Hingga akhirnya, Sarka dikejutkan bahwa Gwen-lah pelaku dari semua kasus itu. Gwen dalang dibalik semua kejadian itu, Sarka benar-benar terkejut dan tidak menduganya sama sekali.

Dan sesuatu yang lebih mengejutkan lagi, sesuatu yang masih Sarka anggap tidak percaya adalah tindakan Maria yang sangat tidak terduga. Sarka tahu bahwa ibunya sangat menyayangi dirinya, tapi kenapa Maria harus bertindak sejauh itu?

Waktu Sarka buta, ia memang ingin cepat-cepat bisa melihat lagi, tapi ibunya malah ikut campur tangan lebih dalam lagi hingga Sarka bisa melihat dengan waktu yang relatif singkat. Seharusnya, sedari awal Sarka sudah bisa menebaknya bahwa ada sesuatu yang aneh terjadi, tapi hal itu tertutup oleh kebahagiaan yang membuncah kala itu.

Demi Sarka, Maria rela melakukan apapun, meskipun itu dengan membunuh Gwen dan mengambil matanya. Tak salah jika Gwen marah besar dan ingin membalas dendam. Ibunya memang salah, tapi Sarka jauh merasa bahwa dirinya yang paling bersalah.

Gara-gara dirinya, ibunya melakukan tindakan keji tersebut.

Dan akhirnya, beginilah pada akhirnya. Banyak hal yang direnggut paksa dari pelukan Sarka. Inilah konsekuensi yang Sarka terima.

Sarka menggeleng kuat-kuat, berusaha mengenyahkan pikiran buruk itu lagi. Masa lalu tidak mengenakkan seperti ini memang seharusnya Sarka tepis jauh-jauh dari dalam tempurung kepalanya.

"Gue bakal doakan Bang Alan selalu, ibu juga tentunya. Gue sekali lagi minta maaf ya bang."

Sungguh, Sarka tidak mau menangis lagi, tapi air matanya seolah-olah mendesak sendiri untuk keluar dari sana. Berada di sini, membuat Sarka memang merasa dekat dengan Abangnya, tapi Sarka juga sadar benar bahwa terlalu lama di kamar Alan akan menyebabkan dirinya terus merutuki nasib hingga yang paling parah, terus menyalahkan dirinya.

Oleh karena itu, Sarka pun memutuskan untuk keluar dari kamar Alan setelah pamit ijin. Lalu, tujuan berikutnya adalah pergi ke kamarnya sendiri. Meskipun kamarnya kecil, tapi Sarka merasa sangat nyaman berada di sini. Tapi ia harus bergegas mengambil barang-barangnya.

Sarka sudah menyiapkan kardus untuk menampung peralatan sekolah, tidak lupa juga ia mengambil seragam dan sepatunya. Baju ganti semuanya Sarka bawa. Apapun yang merasa dirinya perlu angkut, Sarka akan segera mengambilnya.

Hingga pada akhirnya, Sarka sudah merasa selesai, ia langsung keluar dari kamarnya. Tidak ada hal yang akan lakukan di sini lagi, membuatnya cepat-cepat langsung pergi dari rumahnya ini.

Setelah posisinya berada di luar rumah, Sarka memandangi bangunan itu sekali lagi, sebelum akhirnya benar-benar pindah dari sana. Langkah Sarka pelan dan lamban, banyak sekali pikiran yang menyesaki otaknya saat ini. Untung saja, rumah Edo hanya berjarak beberapa rumah saja dari rumah Sarka. Cowok itu sampai di sana dengan waktu relatif singkat.

"Entah perasaan gue atau apa, kayaknya lo lama banget perginya Sar."

Celetukan dari Edo membuat Sarka mengangkat kepalanya. Sarka sudah sampai, kepalanya mengangguk singkat sebagai jawaban atas perkataan Edo.

Mengembuskan napas pelan, Sarka kemudian duduk di kursi yang berada di teras rumah Edo, Edo pun melakukan hal yang serupa.

Tatapan Edo begitu menyelidik, menatap Sarka penuh dengan kecurigaan. "Sar, lo nggak pa-pa, kan?"

"Gue kenapa memangnya?" tanya Sarka balik.

"Lo kayak kosong gitu."

"Perasaan lo aja itu." Sarka berusaha menutupi kesedihannya dengan tawa hambar yang keluar dari bibirnya.

Kursi yang saat ini diduduki oleh Sarka dan Edo adalah kursi panjang yang terbuat dari rotan, membuat Edo dengan cepat menggeser duduknya dan langsung merangkul Sarka.

"Gue kenal lo Sar, dan gue tahu kalo saat ini lo lagi bohong sama gue."

"Gue cuman—" Sarka menahan ucapannya, bibirnya serta merta bergetar, cowok itu langsung menunduk dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangis Sarka kembali merebak.

Edo pun langsung mengambil sikap, ia memeluk Sarka dari samping.

Dan sore itu, Sarka menangis di pelukan Edo.

Shadow Scent 2 : He Did ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang