Bunyi kicauan burung membangunkan Rana dari tidur nyenyaknya. Rana meringis pelan ketika merasakan nyeri yang berada di bagian punggung, leher, pundak, perut, dan pahanya. Seolah beberapa saat yang lalu Rana dipukuli habis-habisan. Tidak, itu tidak mungkin, itu hanya khayalannya saja. Rana menggeleng pelan, tapi nyeri yang ia rasakan tidak kunjung surut, melainkan bertambah sakit ketika bagian tubuhnya digerakkan.
Rana tidak tahu apa yang saat ini menimpa dirinya. Cewek itu mencoba bangun, merasa bahwa tubuhnya terbaring di benda yang keras, alih-alih kasur empuk. Sambil menahan rasa nyeri, kedua tangan Rana mencoba berpijak, membantu tubuhnya untuk segera bangun.
Aneh, kedua telapak tangan Rana merasakan tanah keras dan daun kering yang berserakan. Terkejut, Rana lantas benar-benar bangkit duduk. Dirinya barusan tiduran di tanah, tidak beralaskan apapun. Apakah ini yang membuat sekujur tubuhnya terasa sangat menyakitkan?
"Kenapa aku di sini?" Rana bergumam bingung, tatapannya jatuh meneliti di sekitarnya. Banyak sekali pohon-pohon tinggi di sekitarnya, juga kabut yang cukup tebal, sesaat Rana merasa pusing.
"Ini nggak mungkin nyata, aku lagi mimpi, kan?" Rana berkata lagi, tapi suaranya yang muncul berupa getaran. "Iya, ini pasti mimpi, nggak mungkin ini nyata." Rana berusaha percaya pada dirinya, walaupun kata-katanya meluncur dan menyangkal tentang kejadian ini, tapi dari dalam dirinya, Rana tahu betul bahwa ini kejadian nyata. Ia hanya tidak mau mengakuinya, Rana terlalu takut dengan keanehannya kali ini. Rana menyangkal.
Mencoba peruntungan, barangkali memang benar ini memang mimpi, satu tamparan cukup keras mendarat dipipinya sendiri. Rana melakukannya sebanyak tiga kali. Terasa panas, keras, dan menyakitkan. Ini memang nyata, harusnya Rana sudah menduganya sedari awal.
Tapi, bagaimana bisa?
"Kak Helen?" Suara Rana mencicit, agak lumayan serak. Rana berdehem, lalu mencobanya sekali lagi. "Halo? Kak Helen? Bunda? Ayah? Abram? Nadine? Atau siapapun yang denger suaraku, tolong katakan sesuatu!"
Jarak pandang Rana benar-benar sangat terbatas, kabut semakin mengelilinginya semakin tebal, setebal perasaan takut Rana yang membuncah habis-habisan.
Rasanya Rana ingin menangis, ia tidak tahu dirinya berada di mana. Yang pasti berada di tengah hutan, tapi kenapa dirinya bisa sampai di tempat ini? Bagaimana bisa? Bagaimana caranya? Siapa yang melakukan ini kepadanya?
Seingat Rana, dirinya jatuh terlelap tepat di tempat tidurnya, Helen juga berada di sampingnya. Lalu, ketika bangun, dirinya berada di tengah-tengah antah berantah. Sungguh aneh, membingungkan, dan terkesan ngeri.
Seolah-olah, ada yang membawanya ke sini. Rana menelan ludahnya berulang kali akan pemikiran itu. Membayangkan dirinya terlelap sepanjang malam di tanah hutan, sendirian, ditemani gelapnya malam yang begitu sunyi, sukses membangkitkan bulu kuduk Rana berdiri semuanya. Anehnya, Rana tidak terusik sama sekali.
"Bunda, Rana di mana Bun? Ayah, tolongin Rana yah." Rana ketakutan setengah mati, ia rasanya ingin menangis saja.
Masih tak ada respons, seharusnya Rana bisa tahu itu. Semua keluarganya ada di vila, jauh darinya, tentu saja mereka tidak mendengar ucapannya.
Mengusir pertanyaan yang sedari tadi melayang-layang di atas kepalanya, Rana memutuskan untuk melupakan itu sejenak. Ia harus fokus dengan apa yang berada dihadapannya. Rana lantas berdiri, mengabaikan nyeri yang menyiksanya. Sungguh, tubuhnya seolah digencet dan diremukkan begitu saja.
Rana pun menangis disertai tubuhnya yang menggigil kedinginan, ia kini sudah berdiri dan melangkah terpincang. Kabut disekelilingnya belum juga menghilang. Tapi Rana tahu bahwa hari sudah pagi, agak cukup melegakan meskipun ia tidak merasakan tanda-tanda sinar matahari. Langit yang semula biru pun kini sudah dipenuhi oleh awan gelap. Perubahan cuaca yang mendadak seperti ini membuat suasana terasa semakin mencekam, gelap, misterius, dan menakutkan. Mati-matian Rana menguatkan diri, mensugesti dirinya sendiri untuk tetap tenang dan tidak perlu merasa panik, membisikkan kata-kata penyemangat.
Ya, hal itu setidaknya cukup ampuh, Rana menjadi agak mendingan. Tapi, kakinya terus melangkah maju. Entah ke mana ia pergi, Rana tidak mempunyai tujuan, ia tidak tahu kakinya membawa dirinya ke mana. Yang hanya Rana pikirkan cuma ada satu : ia harus pergi secepatnya dari sini.
"Rana, kamu nggak bisa ke mana-mana, jangan harap kamu bisa lolos."
Satu perkataan berat dan menggertakkan bulu kuduk, sukses membuat Rana terguncang di tempat. Seluruh tubuhnya bergetar, getar karena ketakutan, bukan dengan angin dingin yang menusuk pori-pori kulit.
"Kemari Rana, berbalik badanlah."
Entah siapa yang bicara, Rana tidak tahu. Bodoh jika ia mengikuti instruksi tersebut. Rana tidak mau membalikkan tubuhnya, ia terlalu takut, juga tidak mau mengambil resiko. Sebaliknya, Rana justru malah berlari dengan kencang, memaksa kakinya terus melaju meskipun rasa sakit yang ia rasakan semakin menjadi-jadi.
"Jika kamu tetap terus lari, kamu bakal tahu akibatnya sendiri Rana."
Rana tidak peduli, ia terus berlari semakin kencang, berharap menemukan sesuatu di depan sana, berharap siapun menolongnya, tangis mengiringi setiap langkah terseok cewek itu. Semuanya Rana abaikan, tapi suara menyeramkan itu, benar-benar menghantui Rana.
"Tolong!"
"Siapapun, tolong aku!"
Ditengah larinya yang lambat, Rana tersandung oleh sebuah batu yang cukup besar. Ia memekik, berusaha bangkit bertahan, dadanya berdebar kencang. Rana ingin lanjut berlari, tapi ia merasakan sesuatu dibalik belakang tubuhnya.
Bibir pucat Rana semakin bergetar, hingga ketika kepalanya memberanikan diri menghadap ke belakang, setengah ingin tahu dan setengah ketakutan, Rana pun menahan napasnya, hampir bersamaan dengan matanya yang membelalak kaget bukan main.
Makhluk bertubuh ramping dan tinggi, dengan kaki panjang, tubuh yang sepenuhnya berwarna hitam, dan tangannya kecil, panjang, ramping, benar-benar terlihat seperti rantai kayu. Dan kepalanya tidak ada rambut, botak begitu saja. Matanya merah menyala, kuku kuningnya siap menusuk Rana jika cewek itu tidak beruntung.
Makhluk aneh, Rana belum melihatnya yang seperti ini. Ketika seringaiannya muncul hingga menunjukkan gigi-giginya yang tajam dan berwarna kuning kecoklatan, Rana rasanya ingin muntah sejadi-jadinya. Makhluk satu ini menguarkan bau tak sedap, yang membuat Rana tidak tahan.
"Rana, kamu harus ikut, tidak ada penolakan apapun."
Makhluk itu hendak menggapai Rana, mencekal Rana dengan tangannya yang bercakar itu. Tapi, demi keselamatan dirinya, Rana menendang perut makhluk tersebut hingga terpental ke belakang.
Kesempatan itu tidak Rana sia-siakan begitu saja, ia langsung berdiri dengan cepat, lalu lari dengan kencang. Tangis Rana kuat sekali, kencang dan membahana.
Sesekali Rana menoleh ke belakang, ia tidak melihat keberadaan makhluk jahat yang akan membawa dirinya itu. Bagus, setidaknya untuk saat ini. Semoga saja, Rana tidak sampai di kejar.
Ini seperti mimpi, tapi terasa sangat nyata. Rana tidak peduli dengan apapun, yang paling penting, dirinya aman dan selamat. Meskipun lelah dan perutnya terasa sakit, Rana terus memaksa berlari, belum lagi ketika dirinya lagi-lagi jatuh tersandung.
Beruntung, kabut sudah mulai menipis, rimbunnya pohon juga mulai jarang.
"Rana!"
Tidak, itu bukan suara makhluk menyeramkan tadi, itu suara lain. Vokal perempuan dewasa, Rana mengenalinya. Rana menangis bertambah kencang, suara yang ia dirinya nanti-nantikan akhirnya terdengar. Itu jelas suara bundanya, Rana mengenalinya lebih dari apapun.
Bunda berada di sekitar sini, itu artinya Rana sudah dekat dengan keluarganya. Keinginan Rana untuk bertemu dengan mereka semakin bertambah besar. Rana segera tancap gas, larinya bertambah kencang.
Kemudian, ia lolos dari kabut tebal, lalu Rana melihat vila tempat tinggalnya. Sambil menangis haru, Rana terus berlari kencang.
"Bunda!"
Panggilan Rana dapat didengar oleh Bunda Jessica dengan cepat, wanita itu terhenyak dan langsung berlari menyusul Rana.
"Rana!"
Rana merasa pusing yang tiba-tiba menerjangnya, pandangannya berkunang dan mengabur, langkah kakinya memberat, tapi Rana masih bertahan, ia mengusahakannya, minimal dalam jangkauan sang bunda.
Tapi sayang, keinginan Rana tersebut kandas. Ia terjatuh, mata menutup rapat.
Kegelapan menyambut Rana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow Scent 2 : He Did It
Ficção AdolescenteDemi menguak kisah masa lalu keluarganya yang tewas dengan tragis dan janggal, Nadine memutuskan untuk kembali ke sebuah villa tua yang berada di puncak-tempat semua masalah berawal. Ditemani oleh Sarka dan Edo, Nadine menemukan hal-hal yang tidak p...