BAB 4

297 35 0
                                    


Seseorang keluar dari kamarnya saat aku, Lily dan Dika sedang makan bersama di meja makan. Dia Anggar, kakak Dika satu-satunya yang tadi sempat ku bilang pembantu. Wajah asamnya saat melihatku begitu mengerikan. Tak ada yang tahu kita pernah bertemu sebelumnya. Bahkan Lily sekalipun.

Anggar keluar sambil mengacak rambutnya sendiri. Tapi tak pernah mengurangi ketampanannya. Pria ini punya aura yang begitu luar biasa. Lihat, walaupun dia hanya mengenakan kaus oblong dan celana pendek hitam namun tetap menawan. Alis hitam suburnya begitu memikat, matanya yang tajam, hidungnya yang tinggi serta bibir tipisnya. Rahangnya kokoh dan tubuhnya yang atletis. Perfectionis.

"Akhirnya kau bangun sayang, mama buatkan sup ayam spesial untukmu," Lily mendorong kursi yang ada di sampingnya tanpa berdiri.

"Ya, thanks Mam," jawabnya menghampiri meja makan lalu duduk di sebelah Lily. Dia melihatku sekilas, kemudian membuang muka. Sialan.

"Kau coba ini Dania, stick buatan Mama ini enak sekali," Dika menyodorkan piring stick padaku. Tingkahnya membuat semua mata tertuju pada kami. Oh tidak, ternyata dia belum kapok ditendang olehku.

"Kau bilang apa Dika? Dania itu lebih dewasa darimu, harusnya kau menyebutnya dengan sebutan kaka," Lily mengomel, aku terkekeh, Anggar tidak perduli. Dan yang diomeli asik menyuapkan nasi ke mulutnya sendiri.

"Tidak apa-apa Ma,"

"Ma, memangnya pembantu di rumah ini kurang?" suara Anggar begitu terdengar sinis. Pria berhidung mancung itu santai saja menyuapkan makanan ke mulutnya

"Maksudmu?" Lily melihatnya heran.

"Ku kira dia pembantu baru," mata Anggar tertuju padaku. Lily langsung menggeram. "Sayang, namanya Dania, dia karyawan Papamu,"

"Oh!" jawabnya singkat. Bibir tipisnya menambah kesan angkuh dan dingin.

Pria ini benar-benar menyebalkan. Dia sebut aku pembantu. Niatku yang ingin minta maaf lagi, akan kuurungkan, malah aku ingin memukul wajahnya berkali-kali. Aku menggeretakkan gigi kesal. Menggenggam  gelas kaki dengan sekerasnya. Tapi cepat ku menahan diri sebisa mungkin. Berusaha menjaga senyuman ini agar suasana tetap tenang.

"Dan, minggu depan aku ada perlombaan renang." Dika mencoba mengatakannya hati-hati. Bahkan dia menggantungkan kalimatnya.

"Terus? Kau mau mengajak Dania ikut menonton perlombaanmu?" Lily menyesap kuah supnya. "Oh anak Mama sudah besar sekarang, pantas saja pagi tadi kau mau mengantar Mama supermarket, biasanya kau hanya menjadi kaum rebahan kalau tidak ada kuliah atau jadwal latihan renang," Lily tertawa di sela ucapannya. Ada hal yang sangat aku syukuri. Detik ini, untuk yang pertama kalinya aku bisa merasakan makan bersama dengan sebuah keluarga. Aku menarik nafas panjang. Ada rasa sesak, bahagia, sekaligus rasa rindu dengan keluargaku sendiri.

"Mama jangan bongkar kartuku di depan Dania," geram Dika. Kami semua tertawa, termasuk Anggar. Lily termenung beberapa saat. Tawanya lebih dahulu terhenti, kemudian dia menatap aku dan Anggar bergantian.

"Sungguh kalian sangat mirip," ucapan Lily mengejutkan kami semua. Bahkan aku sampai buru-buru meneguk air putih. Anggar mangap saking tidak percayanya dengan ucapan mamanya.

"Mama tidak salah? Aku disamakan dengan macan tutul ini?" ceplos Anggar ringan sekali. Hah! Setelah dia mengatakan aku pembantu sekarang dia mengatakan aku macan tutul. Sabar Olive, sabar. Kau harus profesional. Ingat kau sedang menjadi Dania, si gadis lembut, penyabar nan ramah lingkungan.

"Ya, aku melihanya saat kalian tertawa bersamaan," Lily memang pernah mengatakan ini sebelumnya. Kalau tawaku mirip dengan anaknya. Tapi aku tidak tahu kalau anak itu adalah Anggar.

"Kalau Mama mengatakan Dania mirip denganku , aku akan sangat setuju Ma," tiba-tiba Dika berkomentar. Lama-lama berada di lingkungan keluarga Wiliam aku bisa gila. Memang keluarga yang aneh. Lily dengan supelnya dan dua anaknya yang membuatku stres bukan main. Ingin rasanya aku melambaikan tangan pada Red. Aku menyerah.

***

"Apa katamu? Kau sering ke rumahnya? Itu berita baik Liv. Kau bisa lebih mudah mengulik tentang Wiliam," sahut Red sangat bersemangat sekali saat aku menelponnya. Aku membenarkan headset di telinga. Sedangkan tangan kananku menarik satu kakiku ke belakang sampai menyentuh pantat.

Saat ini aku sedang pemanasan bela diri di pekarangan rumah. Lumayan. Minimalnya otot-ototku sedikit lebih rileks.

"Ya, tapi keluarganya itu yang membuatku tua sebelum waktunya Red," sambungku lagi. Masih ku ingat jelas bagaimana kelakukan anak-anaknya William padaku. Juga istrinya yang , huh! selalu membuatku tak bisa menolaknya. Kali ini aku membungkukkan badan, tanganku sampai menyentuh ujung kaki.

"Kasus ini tidak sembarangan, kau sudah masuk ke dalam ranah investigasi, kau tidak bisa berhenti begitu saja Olive, aku sangat bergantung padamu," ucap Red penuh harap. Aku melakukan gerakan seperti orang memukul telak di depan dadanya. Aku membayangkan yang di depanku adalah Red, padahal jelas-jelas tak ada siapa-siapa. Sembarangan sekali orang tua itu bicara. Dia pikir aku apa, dia bergantung padaku.

Akhirnya aku hanya menghembuskan napas panjang kemudian mengelap keringat dengan handuk kecil yang ku kalungkan di leher.

"Baiklah." Ucapku pasrah.

                                                                                                     ***

Jurnalis InvestigacintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang