Bab 24

160 24 1
                                    


            Aku mendengar kabar Wiliam keluar kota lagi. Ini berita bagus untukku karena bisa dengan leluasa membuka brangkasnya. Selesai mengumpulkan data di kantor aku langsung mendatangi rumah Wiliam. Aku bilang pada Bi Mirna aku disuruh Wiliam menyimpan data di kantor rumahnya. Maaf aku harus terpaksa berbohong, ini semua demi mencari kebenaran.

Pertama, menata barang-barang agar tidak ada sedikitpun yang berubah. Kedua, aku menggunakan sarung tangan agar tidak meninggalkan jejak. Aku mengambil smartphoneku dan melihat pesan dari pengirim misterius itu.

Perlahan-lahan aku memasukkan kode di pesan misterius itu pada kode brangkas. 45092387. Hatiku gusar bukan main. Brangkas itu lama sekali prosesnya. Aku melihat-lihat ke belakang. Takut Wiliam tiba-tiba datang tanpa memberitahuku. Aku menoleh lagi pada brangkas. Satu keajaiban untukku brangkas itu terbuka.

Spontan aku menjauhkan badanku dari brangkas itu ketika ku melihat benda yang sangat menakutkan. Gun?

Dengan tangan gemetar aku mengambil amplop besar berukuran kertas polio. Sesekali aku menengok ke arah pintu takut ada yang memergoki. Setelah memastikan semua aman, maka ku lanjutkan membuka isi amplop tersebut.

Mulutku langsung menganga, tubuhku gemetar, lututku mendadak lemas. Tak terasa butir air mata menetes begitu saja di amplop yang sedang ku pegang.

Foto seorang gadis kecil berusia lima tahun. Sedang dipangku oleh Ayahnya. Dan seorang Ibu tersenyum ke arah Ayah dan anak itu. Wanita berusia sekitar 30 tahun yang sangat ku kenal.

"Ibu.." lirihku pelan diselingi isak tangis yang tertahan. Gambar yang ada di foto itu adalah aku, ayah dan ibu.

Tuhan, apa yang sedang ku lihat? Kenapa foto keluargaku bisa ada di amplop ini? Siapa sebenarnya Wiliam? Apa kaitannya dia dengan Ayah dan Ibuku? Seribu tanya menggantung dipikiranku.

Susah payah aku menggerakkan kakiku untuk beranjak bangun. Dengan pikiran yang masih campur aduk aku meninggalkan rumah Wiliam. Hanya satu tujuanku saat ini. Pemakaman.

***

Suasana hening ku rasakan saat aku terduduk lemas di samping dua nisan yang bersebelahan. Hanya daun yang berbisik saat angin menyapunya dari atas tanah.

Sudah lama sekali aku tak berkunjung ke sini. Sekitar 8 bulan. Ah, ayah, ibu maafkan anakmu ini. Aku tak bermaksud melupakan kalian. Aku hanya tak ingin menangis saat mengingat kejadian pahit itu.

Seandainya aku bisa melihat kalian saat ini. Aku ingin menanyakan satu hal pada kalian. Apa yang baru saja ku lihat. Beri aku petunjuk untuk ku tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Ayah, ibu, aku tidak bisa tinggal diam kalau firasatku benar. Ada seseorang yang berusaha mencelakai kalian sebelum kalian meninggal.

Air mataku menggenang di pelupuk mata, bersamaan daun yang jatuh di kepalaku. Aku mendongak ke atas. Melihat pohon rindang yang sedang bersemi. Ayah, ibu, aku harap kalian bisa mendengarku. Aku memohon dengan pilu.

Aku mencopot flat shoes begitu sampai di rumah. Smartphone sengaja ku matikan dari tadi. Saat ini aku tak ingin berurusan dengan siapapun. Badanku seperti remuk seperti tak bertulang. Ku hempaskan tubuhku di atas kasur sambil memandangi foto dua orang yang sangat ku cintai. Lagi-lagi aku berlirih. Ayah, ibu, apa yang harus aku lakukan.

Satu hari, dua hari, sampai tiga hari berlalu aku masih terpekur di kamar. Tak ada aktifitas berarti yang bisa aku lakukan. Smartphone masih ku matikan. Aku sengaja untuk meliburkan diri tanpa mau diganggu siapapun. Kebetulan juga Bi Sulis meminta izin untuk merawat anaknya yang sakit. Jadi anggap saja aku berdiam diri di kamar untuk menjaga rumah.

Aku menatap pemandangan di luar jendela. Hujan belum reda sejak malam. Walaupun hanya gerimis kecil, tapi kalau lama-kelamaan bisa membuat banjir juga.

Sadar rumah ini sudah tua. Aku berjalan ke sekeliling rungan untuk memeriksa ruangan yang atapnya sudah bolong. Benar saja. Kali ini kamar ayah dan ibu terkena tetesan air hujan.

Segera ku bawa ember dari dapur untuk menampung air hujan. Aku juga membawa kursi yang ku alih fungsikan menjadi tangga agar aku bisa membetulkan atap yang bocor tepat di atas lemari jati. Aku mengambil kardus yang tergeletak di atas lemari jati itu. Kardus itu sudah basah terkena tetesan air hujan. Buru-buru aku singkapkan ke lantai.

Aku manarik kaos berlenganku sampai bahu. Aku mulai mengecor atap pelan-pelan. Ternyata tidak mudah kalau tidak ada Bi Sulis. Aku harus mengerjakan semuanya sendiri.

Setelah selesai. Aku hendak mengangkat kardus tua itu ke atas lemari yang sudah ku bersihkan juga. Tapi langsung ku urungkan. Aku mengingat kejadian beberapa hari lalu saat aku menemukan foto keluargaku di brangkas Wiliam.

Terbesit di otakku kalau aku bisa menemukan bukti baru dari barang milik orang tuaku. Namun ketika ku buka kardus itu nyatanya hanya berisi data-data sewaktu ayah menjabat menjadi presiden direktur PT.Baron dan juga data-data saat. Aku berusaha mencari benang merah. Tapi tak juga sampai di titik temu.

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata foto yang aku lihat kemarin itu bukan mimpi. Ayah memang ada kaitannya dengan Wiliam. Itu tandanya aku harus cepat menyelesaikan kasus ini.

Cepat aku membereskan kursi dan kardus itu kemudian menyambar smartphone yang sudah ku diamkan selama tiga hari. Benar saja, sambil mengisi baterai banyak sekali notifikasi siapa saja yang menelpon. Begitu juga pesan yang masuk.

Lily : Sayang, kau di mana? Bisakah kau ke rumah hari ini?

Red : Hei, kau di mana? Kenapa tak mengangkat teleponku?!

Gerdi : Kantor sepi tanpamu liv,

Red : Oliv balas pesanku sekarang! Urgent!

PM : Temui aku di depan rumahmu, jika kau ingin tahu bukti baru

Mataku langsung menangkap satu pesan yang dikirim oleh PM. Dia adalah si pengirim pesan misterius.

Temui? Berarti dia ingin memperlihatkan identitasnya? Walaupun ku tahu siapa sebenarnya yang sering mengirimku pesan. Feelingku berkata orang ini sama dengan orang sering membuntutiku saat pulang kerja.

Aku mencabut kabel charger kemudian keluar rumah. hujan mulai berhenti. Aku menyentuh tombol panggilan dari layar smartphone.

"Hallo," kataku tegas. Belum ada jawaban.

"Bicaralah, aku sudah berada di depan rumahku!" aku tak sabar menunggunya. Kepalaku celingak celinguk melihat jalan. Tak ada orang hanya ada mobil yang terparkir di depan rumahku.

"Hei, kau dengar tidak!" aku mulai kesal.

"..."

"Jika kau ingin main-main, jangan hubungi aku lagi!" kakiku melangkah beranjak membuka pagar rumah.

"Aku ada di belakangmu!" katanya seperti orang berbisik tapi membuat langkahku terhenti. Aku menoleh dengan gerak lambat. Sesosok pria berdiri tepat 5 langkah di hadapanku.

Tanganku lemas, hampir saja menjatuhkan smartphone ke aspal. Entah kemana hilangnya tenagaku. Tenaga yang ku siapkan kalau pengirim pesan misterius itu akan menyakitiku. Tapi ternyata. Selama ini dugaanku salah. Pengirim pesan misterius itu bukan Oskar.

"Bisa kita bicara di lain tempat?" katanya tajam. sorot matanya lurus melihatku. Aku membuka pagar rumah. Aku ajak dia ke tempat biasa aku bersantai. Pekarangan rumah.

Dia duduk di sebelahku. Ayunan berjaring itu berayun sedikit. Kami terdiam. Aku memandang lurus ke depan, begitupun dengannya.

"Kenapa kau melakukan ini?" kataku memecahkan keheningan yang sempat terjadi. Dia berdeham sebelum menjawab pertanyaanku.

"Maksudmu?" katanya menoleh ke arahku.

"Kenapa kau akhirnya memberi tahu identitas aslimu?"

"Karena kau menghilang selama tiga hari dan membuatku khawatir," ucapnya yang membuatku menarik nafas dalam-dalam. 

Jurnalis InvestigacintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang