Bab 17

177 23 0
                                    


Lagi-lagi Wiliam tak ada di rumah dan tak ada di kantor. Dan lagi-lagi aku ada di rumah Wiliam dengan Lily dan kedua anaknya.

"Kau tidak biasanya Ka, hari kerja ada di rumah, apa jangan-jangan karena ada..." Dika menggantungkan kalimatnya sambil melihat ke arahku dengan tatapan curiga.

"Ada apa?!" ketus Anggar, kakaknya itu menyalakan televisi. Aku meletakkan tiramisu di atas meja.

"Tidak jadi," seloroh Dika. Aku terkekeh melihat tingkah kakak beradik ini kalau sedang kumpul. Yang satu selonjoran di sofa dan yang satu sibuk memamerkan cengirannya padaku.

"Terimakasih Dania," katanya dengan nada sok manis sambil memotong tartnya.

"Hayo, hayo dimakan," Lily datang dari dapur dan membawakan piring kue. Kemudian ikut duduk di sampingku.

"Manis Ma, apalagi kalau makannya sambil liat Dania," seloroh Dika kemudian melumat tart dengan tangan kosong. Lily langsung memukul tangan Dika pelan. "Pakai sendok ah," gerutu Lily. Aku duduk di sebelah Lily.

"Siapa yang ulang tahun Ma?" tanya Anggar tiba-tiba. Masih dengan raut datar. Matanya tidak beralih dari televisi.

"Dania kan ulang tahun hari ini," ujar Lily santai. Mataku langsung melotot. Kenapa dia memberitahukan pada anaknya. Padahal itu kan hanya bahasan ringan saat kami di dapur tadi.

"Kita ulang tahun di bulan yang sama ya Dania," Lily tersenyum senang. Aku hanya bisa memamerkan cengiran. Kali ini Anggar melihat ke arahku.

"Mama kenapa tidak bilang dari tadi," Dika bangkit dari sofa lalu mengulurkan tangan padaku.

"Selamat ulang tahun Dania," kata Dika dengan nada dan ekspresi wajah yang dibuat-buat. Kami semua tertawa. Rasanya senang bisa berada di tengah keluarga ini. Melihat tawa Anggar, Lily dan Dika. Tapi lagi-lagi aku harus ingat untuk profesional.

"Apa itu?" Anggar yang awalnya bersandar pada sofa langsung menegakkan punggungnya. Buru-buru dia meraih remote untuk membesarkan volume suara. Matanya tertuju pada televisi. Kami semua mengedarkan pandangan ke televisi.

"Hadiotomo, direktur PT. Wilmas tewas di kamar hotel kamis malam," Dika membaca judul headline. Aku membelalakkan mata. Bulu kudukku merinding. Hadiotomo pernah aku wawancara dua bulan sebelum Red menyerahkan kasus ini padaku.

"Kau kenal Ka?" tanya Dika pada Anggar.

"Dia salah satu klienku," ucap Anggar dengan wajah menegang. Ternyata ada kaitannya juga dengan Anggar.

Smartphoneku tiba-tiba bergetar, Red menelponku. "Permisi sebentar," kataku pamit keluar rumah.

"Hallo Red, ada apa, lewat pesan saja, aku sedang di rumah Wiliam,"

"Apakah kau sudah melihat berita hari ini?" tanya Red seperti tidak menaggapi ucapanku.

"Sudah, tentang kematian direktur Hadiotomo?" tanyaku mendelik. "Ya, dia adalah salah satu pemilik saham di perusahaan Wiliam," katanya. Aku berusaha mencerna setiap ucapan Red.

"Kau harus selidiki terus Wiliam, bila perlu cari dokumen-dokumen yang paling rahasia. Kau lihat dari data-data tahun sebelumnya," ujar Red.

"Baik Red, akan ku lakukan," kataku sebelum menutup teleponnya.

"Seharusnya kau memberitahuku semalam kalau kau ulang tahun," suara seseorang di belakangku. Spontan aku menoleh. Anggar. Apa dia mendengar pembicaraanku dengan Red?

"Untuk apa?" kataku berusaha tenang sambil menyalipkan smartphone ke saku jeans.

"Akan ku buat pertunjukan lain untukmu," katanya.

"Tak perlu, harusnya kau mempersiapkan kado untuk Mamamu, sebentar lagi dia ulang tahun," aku tersenyum kecil.

"Ucapkan satu permintaanmu padaku," katanya menatapku serius.

"Apa maksudmu? Apakah kau ini jin yang ingin mengabulkan permintaan tuannya,"

"Apa aku terlihat seperti jin?" Anggar malah bertanya balik. Tawanya memperlihatkan giginya yang rapih. Sekarang aku seperti mempunyai hobi baru. Aku senang memperhatikan pria ini ketika dia tertawa. Benar kata Lily. Jika dilihat-lihat aku seperti melihat cermin dalam diri Anggar.

"Tidak, aku hanya heran kenapa kau tiba-tiba mengatakan seperti itu," kataku.

"Sudah katakan saja apa maumu?"

"Baiklah," kataku sambil berpikir sejenak. "Aku ingin ke taman bermain," aku menyunggingkan senyuman.

"Lalu?" tanyanya lagi.

"Hanya Itu,"

"Kau yakin? Baiklah akan ku kabulkan permintaanmu," ucapnya dibarengi dengan gelak tawa.

"Hahaha... kau seperti jin," kataku tertawa keras.

***

Jurnalis InvestigacintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang