Bab 29

169 20 0
                                    


Sesampainya di rumah Wiliam, pertanyaanku terjawab sudah walau tak ada satu orang pun yang menjelaskannya padaku. Jerit histeris datang dari perempuan yang sangat ku sayangi. Dia berhambur memelukku saat aku di ambang pintu.

Orang-orang berkerumunan, menyiratkan wajah duka. Rahang Anggar mengeras saat dia melihat pemandangan di hadapannya dengan tatapan tak percaya.

Air mataku tak bisa ku bendung lagi saat seseorang yang dulu sangat ku benci karena sering menggangguku kini terbaring kaku di tengah orang-orang yang menangisinya.

"Dika udah gak ada.." Lily terisak. Nafasnya naik turun di pelukanku. Semuanya terjadi amat cepat. Sepertinya baru kemarin aku bertemu dengan Dika. Bayangan itu hadir di otakku. Bagaimana aku pertama kali bertemu dengan Dika, aku sering memukulnya, aku berteriak padanya. Menyakiti hatinya, sampai kembali tertawa. Dika yang sudah ku anggap sebagai adikku sendiri.

Lily pingsan untuk yang kesekian kalinya. Bahkan sampai di pemakaman pun Lily kembali pingsan. Anggar yang selalu ada di sampingnya terus menjaganya. Aku lihat mata Anggar dia sangat terpukul, tapi dia tidak memperlihatkan itu di depan Lily. Hanya satu yang tidak aku lihat ada di pemakaman Dika adalah ayahnya. Ke mana pria itu berada. Apakah dia tidak ingin melihat anaknya untuk yang terakhir kalinya.

Ketika acara pemakaman selesai. Lily dibawa ke rumah karena dia pingsan kembali. Sedangkan Anggar masih terpekur di pusara adiknya. Melihat Anggar yang duduk berlutut.. Walaupun matanya ditutupi oleh kaca mata hitam namun aku bisa melihat dari tangannya yang bergetar memegang nissan.

Aku duduk di sampingnya. Menepuk-nepuk kecil bahu kokohnya. Aku tidak bisa mengeluarkan kata-kata untuk menenangkannya, aku pun larut dalam kesedihan.

"Ma, mama harus makan, sedikit saja," Anggar berusaha membujuk Lily makan ketika kami sudah sampai di rumah. Namun pandangan Lily kosong, Dia hanya melihat langit-langit kamarnya.

Aku mencolek punggung Anggar. Memberi kode agar aku bergantian membujuknya. Anggar pun bangkit berdiri. Dan aku menggantikan posisi duduk di depan ranjang tempat tidur.

"Ma, mama kangen sama Dika?" tanyaku pelan sambil memijat kecil tangannya. Lily tak bersuara, hanya mengangguk.

"Kita semua juga kangen sama Dika ma," kataku berhati—hati. "Dika pasti lihat kita sekarang," lanjutku lagi. Air mata Lily kembali mengalir. Aku membetulkan posisi dudukku. Menarik kursi agar lebih dekat dengan Lily.

Aku melihat sekeliling rumah ini, waktu berasa begitu cepat, apalagi setelah Dika pergi. Setiap aku melihat sofa, melihat meja makan, Dika seperti menyapaku dari sana. 

"Dika juga pasti kangen sama Mama, tapi Dika juga gak akan mau lihat mamanya sakit, lihat mamanya sedih terus menerus," kataku pelan. Anggar masih berdiri di sampingku sambil memegang piring yang berisi nasi.

Lily menoleh ke arahku sambil mengusap puncak kepalaku. "Sekarang mama makan ya," aku mengambil piring dari tangan Anggar. Dengan perlahan Lily menerima suapanku. Ada kelegaan yang terpancar dari raut wajah Anggar. Begitu juga denganku. Lily sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri. Aku tak ingin melihatnya terus larut dalam kesedihan. Hari ini, hanya hari ini saja setelah itu semuanya akan baik-baik saja.

***

"Kau juga harus makan, kau harus kuat untuk menenangkan Mama," ucapku saat melihat Anggar duduk di depan kolam renang. Matanya tidak beralih dari air jernih di hadapannya.

"Rasanya baru kemarin aku melihatnya latihan di kolam renang ini, hampir setiap hari, dia bilang dia bisa menaklukan dirinya sendiri kalau berada di kolam renang," ucap Anggar sambil tersenyum nanar. Tuhan, demi apapun aku tak sanggup melihatnya dengan nada sedih seperti ini. Biasanya dia yang menguatkan aku jika terjadi masalah.

"Kau tahu, dia itu adik yang menyebalkan, aku sering dijahili olehnya, sampai sekarang pun dia lebih menyebalkan karena dia pergi mendahuluiku," suara Anggar berat. Setelah itu hening. Anggar larut dalam pikirannya. Begitu juga denganku. Banyak sekali yang berubah di keluarga Wiliam saat ini. Tak ada Dika, Wiliam menghilang entah kemana, juga Lily yang..

"TIDAAAAKK!" teriak seseorang yang sontak membuatku dan Anggar kaget dan menoleh ke belakang. Kita berlari dan meyakini suara itu berasal dari kamar Lily.

"Mama!" Anggar mendobrak pintu kamar Lily. Aku syok melihat Lily kembali berurai air mata sambil melihat layar televisi. Anggar langsung memeluk Lily. Aku langsung melihat siaran televisi yang sedang meliput Wiliam yang dibekuk paksa di sebuah hotel.

Mataku melotot. Aku tahu semua ini akan terjadi. tapi aku tidak tega melihat Lily menyaksikan ini. Belum habis kesedihannya kehilangan Dika. Dia juga harus menerima kenyataan melihat suaminya tertangkap.

                                                                                               ***


Jurnalis InvestigacintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang