Bab 14

203 25 0
                                    


Rumah Wiliam sangat sepi. Namun satpam di rumahnya sudah tahu aku yang datang. Aku membuka pintu perlahan karena memang pintunya tidak dikunci.

Alunan suara piano ku dengar sangat merdu begitu aku masuk ke dalam rumah. Seseorang sedang duduk sambil memainkan piano klasik yang berwarna hitam pekat. Dia terlihat sangat menghayati lagunya. Aku tertegun untuk beberapa saat. Anggar memainkan lagu anak-anak yang sering Ayah nyanyikan sebelum aku tidur. Dua puluh tahun lalu. Lagu bintang kecil.

Air mataku menggenang tapi aku cepat menahannya agar tidak keluar. Entah kenapa jika membahas atau hal yang mengingatkan tentang Ayah dan Ibu pasti air mataku luruh. Sulit untuk ku tepis.

Denting piano itu tiba-tiba berhenti. Seseorang tak lagi memainkannya. "Mam tidak ada di rumah, dia sedang ada di butik," Anggar menengok ke arahku. Aku terkesiap begitu dia tahu aku sedang memperhatikannya.

"Lagunya bagus," kata-kata itu entah kenapa muncul begitu saja dari mulutku. Mungkin karena aku terlalu menghayati lagu yang Anggar bawakan.

"Aku kira kau akan mengejekku karena menyanyikan lagu anak kecil," Anggar menyunggingkan seulas senyum kecut.

Aku langsung berubah ekspresi. "Kau itu kenapa kalau tidak negative thinking padaku, hah!" nafasku naik turun menahan amarah.

Anggar hanya melihatku datar. "Kalau begitu duduklah," katanya kembali memainkan pianonya. Emosiku mereda, aku duduk di sisi Anggar. Kenapa saat di sisi pria ini hatiku selalu lebih tenang.

"Ini untuk lagu pengiring pertunjukan teater nanti. Datanglah jika kau sempat," ucap Anggar meyakinkan.

"Mama pulaang," sahut seseorang yang membuatku terlonjak kaget. Spontan aku langsung menjauhkan jarak dengan Anggar. Lalu mengalihkan pandangan pada wanita super sibuk yang membawa banyak belanjaan di tangannya.

"Apa kau menunggu lama sayang?" tanya Lily kemudian menaruh barang belanjaannya di meja.

"Tidak Ma, aku baru saja datang," aku menjelaskan. Anggar sudah terlebih dahulu masuk ke dalam kamar dan keluar rumah dengan jaket kulit yang dikenakannya. Sekilas aku melihat helaan nafas berat saat Lily melihat Anggar.

Kemudian Lily duduk di sofa, menyambut hangat kedatanganku. "Bagaimana harimu?" katanya sambil mengelus punggung tanganku.

"It's amazing Mam," kataku dengan tawa renyah.

"Ohya? Mama senang mendengarnya,"

"Iya, karena hari ini aku bertemu denganmu," kataku yang lantas Lily memeluk pundakku.

"Benarkah? Mama juga dong, Mama senang hari ini kau kemari," katanya penuh keibuan. Lama-lama aku semakin menyayangi Lily seperti Ibu sendiri. Tak ada kepura-puraan. Rasanya apapun yang kulakukan pada Anggar dan Lily adalah ketulusan di hatiku. Harusnya ini tak boleh terjadi. C'mon profersional Liv. Batinku dalam hati.

"Sepi sekali ma, apa yang lain sedang di luar rumah?" tanyaku mendelik, berusaha mencari jawaban atas kebohongan Wiliam padaku kalau dia sedang berada di luar kota.

"Apa kau tidak tahu, suamiku pergi ke luar kota, dan Dika .. dia mungkin sedang kuliah," Lily seperti heran aku tak mengetahuinya. Bagus Wiliam, selain aku yang kau bohongi, kau juga membohongi istrimu sendiri.

"Astaga, aku lupa Ma," kataku mencari alasan. Masa asisten direktur tidak tahu bosnya ada di mana, yang benar saja Liv.

"Dan Anggar, ya kau lihat sendiri kan," katanya berusaha tersenyum tapi seperti menyembunyikan sesuatu. Aku menatap dalam mata Lily seolah mencari jawaban.

"Anak itu.. dia dulu tidak seperti itu," katanya sendu. Aku menyipitkan mata. "Tapi semenjak dewasa sikapnya berubah, dia menjadi pria yang sangat dingin"

"... Kau tahu, Anggar yang dulu adalah periang. Dekat sekali denganku. Aku sangat menyayanginya. Bahkan sampai sekarang pun rasa sayang ku tak pernah berkurang sedikitpun. Anggar yang selalu mendapat juara kelas, dan saat dia kuliah, semua biayanya dia menanggung sendiri dengan kerja di bidang advertising. Anak itu membanggakan terlepas dari semua prestasinya. Walau aku tak bisa lagi dekat dengannya seperti dulu," lanjut Lily menjelaskan panjang lebar. Ada guratan kesedihan dari wajahnya.

Hatiku seperti teriris melihatnya. Pasti dia merindukan Anggar. Namun bisa ku lihat sendiri. Keluarga yang kelihatannya baik-baik saja ini. Ternyata mempunyai banyak problema.

"Akan ku tunjukkan padamu, bukti kalau Anggar yang dulu adalah seorang yang periang," Lily beranjak dari sofa dan mencari sesuatu dari lemari di bawah televisi. Aku ikut menghampirinya. Tak lama Lily memberiku sebuah album foto.

Aku takjub ketikamelihat album foto itu berisi foto-foto Anggar sewaktu kecil. "Ini Anggar waktu berusia 3 tahun, kalau yang ini saat dia masuk TK, Nah yang ini.. dia saat bermain piano, jelas kan betapa dia dulu sangat periang," ujar Lily antusias saat menunjuk foto Anggar yang aku lihat.

"Yang ini siapa Ma?" tanyaku sambil menunjuk seseorang yang berada di samping Anggar saat Anggar sedang bermain piano. Pria bertubuh tinggi dan kulit sawo matang.

"Dia.. dia adalah Ayah Anggar," terang Lily. dengan spontan aku langsung menoleh pada Lily sambil mengerutkan kening.

"Iya, aku dan Ayah Anggar bercerai saat Anggar berusia 8 tahun, kemudian aku bertemu dengan William. Awalnya mereka dekat, namun entah karena kecemburuan sosial atau apa, Anggar menjauh dari William," kata Lily dengan raut wajah sedih.

Tak pernah ku duga. Ternyata Anggar itu anak tiri William. Tapi haruskah aku menaikan berita ini. Apa aku harus membeberkan semua kejelekan yang terjadi dalam keluarga Wiliam. Termasuk Anggar dan Lily. Aku tak sampai hati melakukannya, mereka yang sudah ku anggap seperti keluarga sendiri.

***

Jurnalis InvestigacintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang