Bab 9

218 32 2
                                    


Kau tahu, saat kau benar-benar mengkhawatirkan seseorang. Kau mendadak menjadi seseorang yang lebih berani dari sebelumnya. Begitu juga denganku, saat mendengar Anggar sakit, aku langsung berinisiatif untuk menjenguknya di rumah Wiliam.

Pintu tidak terkunci. Aku membukanya hat-hati. Sepi. Tak ada satu orang pun. "Any body home?" sahutku sambil melihat-lihat sekeliling. Tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam. Apa jangan-jangan Anggar pingsan, lantas tak ada yang tahu. Ah pikiran yang berlebihan.

Langkah kakiku menuruni tiga anak tangga, lalu belok ke arah kamar Anggar, pintu kamarnya terbuka lebar. Aku mendongakkan leher ke arah kamarnya. Kosong. Tak ada siapapun.

"Siapa yang kau cari?" suara dari belakang terdengar begitu tiba-tiba.

"Astagfirullah," kataku nyebut saking terkejutnya. Untung bukan kata-kata kotor yang ku ucapkan. Saraf leherku menegang begitu Anggar ada di depan wajahku. Raut wajahnya memang terlihat pucat. Di tangannya ada sebuah gelas berisi air putih. Mulutku mangap untuk beberapa detik. "Mam tak ada di rumah, dia sedang.."

"Aku mencarimu," sergahku cepat sebelum Anggar menyelesaikan ucapannya.

Anggar menaikkan alisnya "Untuk apa?" dia melewatiku dan menaruh gelas di meja kamarnya. Blush! Wajahku sepertinya merah merekah. Aku tidak tau harus mengatakan apa. Benar juga apa yang ditanyakannya. Untuk apa aku datang kemari.

"Aku hanya ingin menjengukmu, Mama bilang kau sakit, aku takut kau sakit karena kehujanan mengantarkanku kemarin," jelasku agar dia tidak salah paham. Sepertinya itu alasan yang paling tepat.

"Apa kau ke sini hanya karena perasaan bersalahmu?" Anggar melirik ke arahku. Aku sungguh tidak mengerti kata-katanya.

"Maksudmu?" aku mendelik membalas tatapannya.

Anggar mendesah pelan. "Kau bawa apa? Aku lapar. Tak ada yang bisa ku makan di sini," katanya polos. Baru ini aku melihatnya semenyedihkan ini. Aku teringat kantong bubur ayam yang sejak tadi ku jinjing.

"Makanlah, mumpung masih hangat," kataku sambil menyodorkan bubur ayam terbungkus styrofoam. Aku kembali bersandar di tembok, sedangkan Anggar makan dengan tenangnya.

"Apa kau mau berdiri terus menerus?" tukasnya yang membuatku terlihat seperti orang bodoh. "Duduklah," katanya sambil menunjuk kursi di depan meja kamar dengan dagunya.

"Ya," aku melangkahkan kaki, duduk hati-hati di depan buku-buku yang tertata. Untuk ukuran pria seperti Anggar, kamar ini terbilang cukup rapih dan harum.

"Tak ku sangka pria seperti kau, penikmat buku juga," aku menoleh ke arah Anggar yang nampaknya sudah selesai makan.

"Memangnya kenapa?" tanya Anggar. "Apakah pecinta buku itu harus berkacamata, bawa buku kemana-mana dan artifisial lainnya?" lanjutnya lagi.

"Aku tidak bilang begitu, kau selalu berburuk sangka," sewotku kesal. Kemudian menarik satu buku yang tergeletak di meja. And Then There Were None dari Agatha Christie.

Aku terkekeh melihat novel itu. Karena novel itu aku ribut dengan Anggar, dengan novel itu juga aku memukul wajah tampannya. Eh tampan? Apa aku barusan memujinya.

"Apa kau suka baca cerita Agatha Christie juga?" tanyaku santai, terlebih untuk menghilangkan rasa gugup di kamar seorang pria.

"Sebagian ceritanya membuatku tertarik," Anggar mengulas senyum kecil di bibir tipisnya. "Sepuluh anak Negro makan malam, seorang tersedak. Tinggal sembilan, sembilan anak Negro bergadang jauh malam, seorang ketiduran, tinggal delapan," Anggar memainkan jarinya seperti sedang menghitung.

"Delapan anak Negro berkeliling Devon, seorang tak mau pulang, tinggal tujuh. Tujuh anak Negro mengapak kayu, seorang terkapak, tinggal enam," sahutku melanjutkan kalimatnya.

Anggar melirik ke arahku. "Enam anak Negro bermain sarang lebah, seorang tersengat tinggal lima, Lima anak Negro ke pengadilan, seorang ke kedutaan tinggal empat,"

"Empat anak Negro pergi ke laut, seorang dimakan ikan herring merah, tinggal tiga, Tiga anak Negro pergi ke kebun binatang. Seorang diterkam beruang tinggal dua," aku membalas ucapan Anggar.

"Dua anak Negro duduk berjemur. Seorang hangus tinggal satu. Seorang anak Negro yang sendirian, Menggantung diri, habislah sudah," usai Anggar. Lantas kami tertawa terbahak-bahak. Ini lucu, kita seperti membaca mantra. Tanpa melihat buku. Seperti semua sudah di luar kepala. Padahal ini hanya sebuah quote dari buku Agatha Christie.

Sesaat kami tersadar akan tawa lepas dan kemudian terdiam dengan kompak. Aku tidak menyangka bisa tertawa dengan Anggar. Mengingat kita sama-sama tidak akur, mustahil rasanya bisa cerita seakrab ini.

"Apa kau pernah berfikir Dania, kenapa di dunia ini banyak sekali orang yang berpura-pura," Anggar seperti memberi pertanyaan pada diri sendiri. Tapi mataya tertuju padaku.

"Berpura-pura bahagia, berpura-pura tak ingin sebenarnya ingin, berpura-pura lugu, dan berpura-pura," kalimat Anggar terpotong olehku. Rasanya aku sesak mendengar pernyataan Anggar. Ucapan pura-pura itu seakan menuju padaku. Bukankah aku sedang berpura-pura di depan keluarga ini.

"Cukup! Maaf aku harus segera pergi, aku takut keluargamu pulang, karena tadi aku tak bilang akan kemari," kataku cepat dan buru-buru bangun dari kursi. Anggar mengangkat alis tebalnya. Terheran.

"Cepat sembuh," kataku sebelum beranjak dari kamarnya.

"Dania," sahut Anggar setelah dia sadar akan respon cepatku. Aku menoleh, melihatnya ikut beranjak dari sofa empuknya.

"Terima kasih buburnya," ujar Anggar sedikit kaku. Aku tersenyum tipis kemudian benar-benar berlalu meninggalkannya sendiri.

Sebenarnya masih banyak yang ingin aku ceritakan. Masih banyak yang ingin ku bahas dengan Anggar. Bercerita dengannya seperti aku menemukan teman satu pikiran. Tapi mengingatnya mengucap kata berpura-pura. Kenapa aku jadi tersinggung. Padahal kan Anggar belum tentu ingin menyindirku. Lagi pula dia sama sekali tidak tau siapa sebenarnya aku. Lalu kenapa aku harus marah padanya?


                                                                                                   ***

Jurnalis InvestigacintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang