Bab 1

965 51 2
                                    

Dalam satu hari ribuan peristiwa terjadi di muka bumi ini. Mulai dari bencana alam, penculikan, kekerasan rumah tangga, pencitraan, penganiyaan anak sekolah, kecelakaan berbeda dari berbagai macam tempat dan kejadian lainnya.

Bayangkan, dalam satu hari kejadian itu datang bersamaan dalam satu waktu. Manusia hanya diberikan pendengaran yang terbatas. Dua mata yang berfungsi untuk melihat peristiwa di sekitarnya saja.

Dari mana kita bisa mengetahui isu perkembangan politik, harga beras naik, atau kabar jalanan di ibu kota sedang macet total. Selain lewat media di layar televisi, koran yang kita baca, atau gadget yang selalu setia di tangan kita.

Semua peristiwa itu dirangkum dan dikemas oleh para kawanan media yang di sebut jurnalis. Mereka bertaruh nyawa di lapangan. Meliput kejadian yang bisa saja membahayakan nyawa mereka. Demi sebuah berita yang hanya dibayar "seenaknya" saja.

Tak ada yang tahu seorang yang dilebeli jurnalis ini tidak tidur seharian demi menjaga pintu rumah pejabat hanya untuk mendapatkan berita. Tidak ada yang tahu juga rasanya kepanasan di bawah terik matahari menyengat, ikut bertaruh nyawa saat meliput kejadian bencana alam.

"Semua itu sudah resiko" seseorang perwakilan dari milyaran orang berkomentar, asik menyalahkan para jurnalis yang "katanya" meliput tidak becus, tidak berimbang. Padahal beritanya dia baca setiap hari, menjadi ladang informasi.

Di era "gadgeting" ini semua orang bisa menulis peristiwa, kejadian sehari-hari yang kemudian dia posting tanpa pertanggung jawaban. Meminjam nama media, sehingga tersebar ke seluruh pelosok dunia.

Pada akhirnya berita-berita kacangan itu mencoreng nama jurnalis. Menjatuhkan harkat martabat seorang yang mempunyai jiwa jurnalis. bukan hanya kuli tinta. Atau kalau dilihat jaman sekarang "kuli keyword".

Itulah sebabnya aku mencintai pekerjaanku. Walau dipandang sebelah mata. Difitnah terus menerus. Aku tetap mencintai dunia jurnalis.

"Mm.. Agatha Christie.. And Then There Were None, Agatha Christie.." gumamku sendiri di depan buku-buku yang berjejeran rapih. Tapi tak ada satu pun tanda kalau novel yang aku cari ada di raknya. Aku mengela napas berat. Percuma saja aku luangkan waktu ku ke toko buku ini tapi hasilnya nihil.

Ku langkahkan kaki jenjangku yang beralas sepatu kets untuk meninggalkan ruangan ber-AC ini. Ya paling tidak aku ke sini mendapat kesegaran setelah bekerja peluh waktu di bawah sinar ultraviolet yang sangat menyengat.

Langkahku terhenti di depan kaca seluruh badan. Naluri seorang wanita tak bisa dibohongi kalau melihat cermin. Tapi bagaimana aku bisa dikatakan wanita kalau dandananku seperti pengamen jalanan. Aku memperhatikan seluruh badanku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Rambut panjangku yang ikal, digelung asal-asalan. Wajah tak pernah tersentuh make up. Pernah sekali. Saat acara wisuda. Itu juga setelah menerima nasehat dari Bi Sulis, asisten di rumahku. Katanya kalau ayah dan ibu lihat mereka pasti ngomel melihat anak tunggalnya ini seperti tidak terurus. Akhirnya aku menurut.

Beruntunglah aku sekarang karena mendapat pekerjaan yang tidak menuntut untuk dandan. Selain itu pakaianku juga judulnya "asal semauku". Ini juga yang aku pakai hanya jaket hitam dan juga celana bolong-bolong dilutut seperti orang yang habis jatuh dari motor.

Dari dulu aku memang tidak memperdulikan penampilan. Bagiku hati seseorang tidak bisa diukur dari penampilan luarnya saja. Buat apa dandan rapih-rapih, toh banyak yang berdasi tapi kelakuannya melebihi preman pasar.

Kata Bi Sulis aku cantik kalau didandanin. Aku hanya cengengesan mendengarnya berargumen. Wajahku mewarisi wajah ibu, rahang tirus, mata cokelat, hidung kecil dan bibir tipis. Tapi tubuhku mewarisi tubuh ayah yang jangkung dan kulit yang kuning langsat. Tapi walaupun begitu aku tetap menolak siapapun itu kalau sudah menyuruhku untuk berdandan layaknya wanita sebayaku. Jangan harap.

Jurnalis InvestigacintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang