Bab 20

163 23 0
                                    


Latar halaman rumah William di dekorasi seperti garden party. Suasana serba putih. Para pelayan disiapkan untuk menyambut tamu yang datang. Mereka membawakan wine dengan gelas satu kaki. Para tamu mulai berdatangan. Lily nampak cantik dengan gaun merah yang dikenakannya. Sepadan dengan kue tart dengan warna merah muda.

"Selamat ulang tahun Ma," aku mengecup pipi lembut Lily. Telah aku siapkan kado yang sengaja ku bawa dari rumah.

"Ah, terimakasih sayang," Lily balas menciumku.tak lama wanita-wanita sosialita yang seumur dengan Lily memberi Lily hadiah kecupan. Aku perlahan mundur, namun Lily menahan tanganku agar tak pergi ke mana-mana.

Baiklah aku menyaksikan perbincangan mereka dan gelak tawa dari yang dibuat-buat. Membicarakan anak bahkan cucu mereka.

"Di mana Wiliam, Ly?" tanya salah satu temannya yang memakai kalung layaknya rantai pagar.

"Oh, Suamiku sedang dinas di luar kota," Lily menjawab santai.

"Lalu anak-anakmu?" tanya dari orang yang berbeda.

"Mereka sebentar lagi datang," sahut Lily dengan nada sama.

"Kalau yang ini siapa? pacarnya Anggar? Atau pacarnya Dika?" tanya seorang lagi yang membuatku speechless. Apa tak ada hal lain yang bisa dibahas.

"Haha.. Ini Dania, dia adalah calon menantuku," ucapan Lily membuatku langsung menelan air liur. Calon menantu? Ku rasa Lily terlalu banyak minum wine. Ibu-ibu itu lantas berdecak kaget. Tapi lebih kaget aku yang mendengarnya.

"Dengan anakmu yang mana? Anggar atau Dika?" sahut seorang lagi. Tak lama seorang masuk dalam kerumunan ibu-ibu ini lalu mencium pipi Lily. Deg! Nafasku seperti sesak melihatnya.

"Happy birthday Mom," ucap Anggar. Tangan kanannya menggandeng seseorang wanita cantik dengan menggunakan gaun mini. Wanita yang ku temui saat pertunjukkan teater kemarin. Kulitnya putih bersih, badan ramping. Tuhan, bolehkah aku menghilang sekarang dan muncul lagi setelah acara ini selesai.

"Terimaksih sayang," Lily tersenyum hangat.

"Ohya ma, ini Fahrani," semua mata ibu-ibu tadi tertuju pada model itu. Lily hanya tersenyum tanpa mengatakan apa-apa. Tanganku yang ada di genggaman Lily tiba-tiba mengencang. Semoga Lily tak menyadarinya. Rasa sesak seperti mencengkram hatiku kembali.

Tuhan! Aku ingin sekali enyah dari tempat ini. Sekarang juga. Detik ini juga. Aku tak ingin melihatnya. Aku mohon. Kenapa rasanya sakit melihat Anggar bersama wanita lain.

"Oh, kalau bukan Anggar, berarti.." komentar salah seorang.

"Dania calon tunanganku," potong seseorang yang tiba-tiba memegang pundakku. Menyeringai bangga depan orang banyak. Pertunjukkan macam ini. Lalu mereka semua tertawa seperti aku adalah bahan olokan.

Hanya aku dan Anggar yang tidak tertawa. Rasa panas mulai memuncak di kepalaku. Lututku lemas seperti tak bertulang. Tak mungkin aku menyangkal di depan teman-teman Lily. Tak mungkin juga aku memukul Dika di depan orang banyak.

Hal yang bisa aku lakukan hanya berlari meninggalkan mereka. "Maaf, aku permisi dulu," kataku sambil melepas genggaman Lily. dan tentu saja melepas tangan Dika dari pundakku. Hatiku benar-benar sakit.. aku merasa dipermalukan.

Aku mencari tempat duduk yang jauh dari keberadaan Lily dan koleganya. Aku berusaha mengatur nafas dan meredam emosiku sendiri. Hei Olive, kenapa kau harus marah mereka mengatakan seperti itu. Mereka kan hanya melihat Dania bukan Olive. Otak kanan dan kiriku mulai berseteru. Tapi sama saja mereka seakan merendahkanku depan orang banyak. Mereka pikir aku mau tunangan dengan anak Wiliam itu.

Lihat Anggar, pria itu hanya terdiam melihatku ditindas oleh adiknya sendiri. Padahal beberapa hari yang lalu dia bilang akan mengabulkan permintaanku. Tapi bodoh sekali aku termakan oleh omongannya.

Tanpa sadar aku mengambil gelas-gelas kecil dari pelayan. Kemudian langsung meneguknya habis. Hatiku masih dihantui amarah. Mataku mulai berkunang-kunang. Namun terus menerus aku meneguk gelas kecil tersebut hingga habis. Pikiranku melayang ke mana-mana. Sampai seseorang menghampiriku, kemudian duduk di sebelahku.

"Dan, kau sedang apa di sini?" samar-samar ku dengar suaranya. Entah karena suasana yang ramai, atau kepalaku yang pusing.

"Kau tahu aku malas bergabung bersama ibu-ibu sosialita, mereka seperti senang mencari titik kelemahan seseorang," kataku meracau. Dan dari situ entah apa lagi yang aku katakan. Kepalaku benar-benar pusing seperti di putar-putar.

"Mau ku antar pulang?" kata-kata terakhir yang ku dengar setelah duduk lama bersamanya. 

                                                                                               ***

Jurnalis InvestigacintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang