Bab 26

154 20 0
                                    


Keesokan harinya aku datang lagi ke rumah sakit untuk menggantikan Lily. Ku bawakan buah-buahan yang ku beli sebelum aku ke sini.

Aku mengerem langkahku ketika ku meihat pundak seseorang duduk di depan tempat tidur ruang rawat. Seseorang yang ku rindukan kehadirannya setiap hari. Dia sudah kembali.

"Aku iri denganmu Kak," ucap Dika yang masih lesu.

"Kau bicara apa, aku juga iri denganmu, kau pintar berenang, kau humoris, kau bisa meluluhkan suasana, kau.." ujar Anggar. Sedangkan Dika hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum simpul.

"Dan aku tidak bisa seperti yang Dania mau," ucap Dika begitu saja. "Maaf kak, aku sudah egois, kemarin aku hanya terobsesi untuk memilikinya," pungkas Dika lagi. Aku hanya mendengarkan setiap perkataan dari kakak beradik itu tanpa memunculkan kehadiranku. Aku berdiri di dekat pintu yang tidak terbuka.

"Sudahlah, sebaiknya kau fokus untuk sembuh demi perlombaanmu nanti, bukankah cita-citamu untuk mendapatkan piala renang se-dunia," ucap Anggar dengan nada menyemangati.

"Sejak aku kecil, aku selalu ingin denganmu, aku selalu ingin menjadi sepertimu, bahkan sampai sebesar ini aku tak bisa menggunggulimu,"

"Hey, hey, kenapa lelaki perenang sepertimu ini melow?" Anggar mencoba menghentikan ucapan Dika.

Tapi Dika terus memperhatikannya. "Sampai kemarin aku mendengar ternyata kita bukan saudara kandung, mungkin itu sebabnya kita tak kan pernah bisa sama atau sependapat," Dika memegang dadanya. Aku langsung menutup mulut, untuk menutupi keterkejutan. Jadi Dika baru tahu kalau Anggar adalah kakak tirinya.

"Tapi bagiku kau adalah adik. Sampai kapanpun kau adalah adikku!" jawab Anggar tegas.

"Aku juga berpikir seperti itu, sampai kapanpun Ka Anggar adalah kakakku, aku tak perduli dengan masa lalu ayah dan ibu," aku bisa melihat sedikit mata Dika berlinang. Aku tak bisa melihat perubahan ekspresi Anggar karena dia memunggungiku.

"Bahkan mungkin sampai aku mati, kau adalah kakakku," tambah Dika lagi.

"Hey, kau bicara apa, kau masih hidup, dan kau akan hidup sampai tua nanti," Anggar tak bisa mengontrol dirinya. Ini terasa menyakitkan. Air mataku tiba-tiba mengalir. Sesak melihat Anggar dan Dika bicara seperti itu.

***

Aku menyandarkanku punggungku di kursi ruang tunggu sambil memangku keranjang buah yang belum ku sampaikan ke Dika.

"Apa kau mau masuk?" tanya seseorang tiba-tiba. Aku cepat menoleh. Aku melihat wajah itu. Wajah Anggar yang terlihat sangat lesu tak seperti biasanya. Bahkan aku melihat kantung matanya menghitam. Mungkin dia kurang tidur.

Anggar duduk di sampingku. Berada di samping Anggar aku sedikit merasa canggung sekarang.

"Bagaimana keadaannya?" tanyaku berusaha mencairkan suasana.

"Sedikit membaik,"

"Syukurlah,"

Suasana kembali hening. Hanya suara langkah sepatu para suster atau penjenguk.

"Maaf," sahutnya. Aku mengangkat alis kemudian melihat raut wajah Anggar yang tertunduk.

"Karena malam itu aku tidak memberitahumu," ucapnya parau.

"Aku sudah tahu alasannya,"

"Dan.." suara Anggar tiba-tiba berat.

"Tunggulah di sini, aku akan keluar sebentar," kataku memotong ucapannya. Aku menaruh keranjang buah di samping Anggar duduk. Tanpa meminta persetujuan dari Anggar aku lekas pergi dengan langkah cepat.

Sungguh aku tak tega melihatnya seperti itu. Lebih baik aku melihatnya marah dari pada Anggar kehilangan semangatnya. Dia bahkan tak memperdulikan kondisi badannya sendiri.

"Dua puluh lima ribu rupiah," sahut seorang kasir ketika aku membeli dua buah pop mie yang sudah diseduh dan air mineral. Aku memberikan uang pas sebelum akhirnya meninggalkan kantin rumah sakit ini.

Aku memegang dengan sangat hati-hati pop mie yang masih panas di sepanjang lorong rumah sakit. Sedangkan air mineral ku taruh di dalam tas. Namun langkahku terhenti ketika melihat sosok itu tertidur sambil duduk sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Benar apa kataku. Dia sangat lelah.

Tak berniat mengganggunya. Aku hanya tak ingin mie ini menjadi bengkak dan dia tidak jadi makan. Maka aku dekatkan wadah pop mie itu di depan hidungnya agar aromanya tercium. Dan benar saja dia terbangun.

"Ngh?" dia terkejut melihatku.

"Makanlah, ini masih hangat," kataku sambil menyodorkan popmie ke hadapannya.

"Terima kasih," Dia menerimanya. Sedangkan aku merogoh tas untuk mengeluarkan botol air mineral dari dalam tas. "Apa aku terlihat seperti orang kelaparan," katanya sambil mengaduk popmienya.

"Begitulah," kataku sambil asik makan.

"Kenapa kau jujur sekali?" Anggar memakannya dengan lahap. Sesekali dia mengusap keringat di atas bibirnya dengan tangan. Entah kenapa aku senang memperhatikannya. Memperhatikan ketika tidur, berjalan, berbicara, bahkan memperhatikannya marah-marah. Namun kemarahannya bukan atas dasar di benci tapi terlihat rasa khawatir yang diklamufasekan dengan sikap amarahnya.

"Berhentilah melihatku seperti itu, nanti makananmu dingin," katanya yang sadar aku memperhatikannya. Aku hampir tersedak mendengarnya. Buru-buru ku membuka air mineral dan segera meneguknya.

"Kenapa kau jujur sekali kalau kau tahu aku memperhatikanmu?" dengusku kesal. Dia hanya terkekeh kecil.

"Nanti akan ku traktir untuk menggantikan popmie ini," dia meneguk kuah mienya dan menaruhnya di sampingku.

"Harus," ucapku sambil mengangguk-angguk kemudian menyuruput kuah popmie.

                                                                                   *** 

Jurnalis InvestigacintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang