Bab 16

212 25 1
                                    


"Ku pikir wanita sepertimu hanya bisa memukul," cibir Anggar begitu acara sudah selesai. Aku langsung menyikut lengannya.

"Aku rindu orang tuaku," kataku jujur sambil mengusap sisa air mataku pasca di dalam opera tadi.

"Hei Bung.. pertunjukan yang sangat menarik," sapa seseorang menghampiri kami yang sedang berdiri santai di luar teater. Kami menoleh. Aku melihat seorang wanita dan pria. Wanita itu adalah model blasteran Indonesia dan Jerman. Aku pernah sesekali mewawancarainya saat aku menangani rubrik selebriti. Tubuhnya ramping, cantik apalagi dibalut dengan mini dress putih selututut,

Sedangkan seseorang yang menyapa Anggar tadi. Aku tak pernah melihatnya. Mungkin salah satu teman seprofesi Anggar. Aku tersenyum sebisa mungkin. Namun tetap terasa kaku. Entah kenapa rasa percaya diriku menghilang dengan tiba-tiba.

"Hey, Roni, terimakasih kau sudah bersedia datang," sahut Anggar menepuk pundak pria yang bernama Roni itu.

"Kau memang selalu menampilkan hal yang tidak biasa kawan," ucap pria itu bangga. "Terimakasih, tapi ini permintaan klien, aku hanya pengemas," Anggar berdalih. Mereka tertawa akrab.

Aku mengalihkan pandangan ke sekitar. Mataku melotot begitu melihat seseorang sedang mengambil minuman dari waiters. Red kah itu. Aku pamit pada Anggar untuk menemui Red sebentar. Aku banyak melewati punggung-punggung orang yang sedang bercengkrama.

"Red, sedang apa kau di sini?" bisikku di telinganya. Red terkejut melihatku. Gelas satu kaki yang berada di tangannya hampir jatuh. Tapi buru-buru dia menguasai diri.

"Olive? harusnya aku yang bertanya padamu," katanya mendelik bingung.

"Aku diajak seseorang ke sini," kataku terus terang.

"Kalau aku sedang memenuhi undangan, kau tak lihat banyak sekali wartawan yang datang kemari," katanya sambil menunjuk sekitar.

"Dua orang yang memakai jaket hitam, nah itu yang dekat pintu sedang wawancara, dan kalau yang pakai kemeja putih itu adalah konseptor teaternya," aku yang semula tidak memperhatikan ocehan Red, beralih pandang saat Red mengucapkan kata terakhir.

"Konseptor?" kataku tergugu melihat Red ternyata menunjuk Anggar.

"Ya, asal kau tahu, dia adalah seorang konseptor handal, berbagai proyek iklan sudah ditanganinya. Dia juga memiliki saham di mana-mana," ujar Red berdecak kagum.

"Dan kau tahu Red, dia adalah anak dari Wiliam, kasus yang sedang aku tangani," kataku sambil melihat perubahan ekspresi Red.

"Apa kau bilang?" Red menaikkan alisnya. Tidak percaya.

"Sudahlah Red, aku akan ke sana dulu, sampai jumpa di kantor," kataku santai kemudian berlalu meninggalkan Red yang masih dalam kebingunan mendengar pernyataanku.

Bertepatan dengan usainya Anggar mengobrol, aku menghampiri Anggar yang melambaikan tangan pada temannya yang bernama Roni itu.

"Mana temanmu?" tanya Anggar terdengar lebih santai.

"Sudah pulang," kataku, kemudian kita berjalan keluar teater.

***

Aku dan Anggar tak langsung pulang ke rumah. Anggar mengajakku makan malam di luar. Anggar tak sedingin yang ku kira. Dia bisa tertawa, bercengkrama, bahkan mengeluarkan celetukan-celutukan yang membuatku terkekeh. Andai Lily bisa melihatnya seperti ini. Anaknya ini tak berubah, hanya saja dia berubah di depan keluarga Wiliam.

Anggar mengajakku ke cafe outdor di pinggir jalan. Aku memesan cokelat panas, dan Anggar memesan cappucino. Sudah lama sekali rasanya aku tidak hidup seperti ini. Dari kemarin otakku dipenuhi Wiliam dan Lily. Hari ini aku sedikit terhibur dengan makhluk es ini.

"Kau suka operanya?" tanya Anggar sambil menyeruput capucinonya.

"Sangat," kataku. "Dari mana kau mendapatkan ide?" tanyaku. Anggar yang awalnya duduk bersandar, mencodongkan wajahnya.

"Interaksi," sahutnya pelan. "Berinteraksi dengan siapa saja, manusia, buku, pemandangan, pengalaman, bahkan berinteraksi dengan diriku sendiri," katanya yakin. Aku mendengarkannya dengan seksama. Dengan gaya bahasa yang seperti itu, aku mendapati Anggar yang lain. Anggar yang cerdas dan Anggar yang .. menarik.

"Dan, Kenapa banyak sekali yang bilang kita mirip?" tanyanya polos.

"Aku juga tidak tahu," aku mengangkat bahu.

"Apa kita berjodoh? Aku sih tidak mau,"

"Siapa juga yang ingin berjodoh denganmu Anggar!" sahutku dengan wajah memanas. Anggar tertawa melihat perubahan ekspresiku.

Malam itu, tak hanya sekedar malam, bukan malam-malam biasa yang aku lewati sendiri. Malam itu menjadi malam yang tidak akan terlupakan olehku. Bahwa aku benar-benar ingin selalu ada di dekatnya.

***

Jurnalis InvestigacintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang