Bab 25

154 22 0
                                    


Mataku melotot begitu melihat judul berita dari layar smartphoneku. 'Terungkap Siapa Anak Tiri Wiliam'. Ku geser ke bawah layar smartphoneku dan ku temukan wajah Anggar terpampang jelas. Aku menutup mulutku. Siapa yang melakukan ini?

Aku segera bergegas menuju kantor redaksi. Emosiku tersulut. Bisa-bisanya mereka naikkan berita tanpa memberitahuku. Tanpa menunggu aba-aba aku mendobrak pintu Pemred dan mendapati Red sedang duduk di depan laptop.

"Apa yang kau lakukan Red?" tanyaku tanpa basa-basi. Red menaikkan alisnya. "Ada apa Olive?"

"Kenapa kau menaikkan berita tentang Anggar?!" pertanyaan itu bernada menghakimi.

"Apa maksudmu Olive? Bukankah kau sendiri yang memintaku untuk menaikkan beritanya?!" Red balik bertanya.

"Aku?" aku menunjuk diri sendiri.

"Iya, kau sendiri yang bilang lewat pesan,"

"Pesan?" aku langsung merogoh saku celanaku kemudian mengeluarkan smartphone. Red pun juga mengeluarkan smartphonenya lalu memberikannya padaku. Aku membelalakan mata ketika melihat pesan di smartphone Red yang mengalir dari nomerku. Padahal aku tak pernah merasa mengirim pesan bernada seperti ini.

"Siapa yang melakukannya? Apa smartphonemu bisa mengetik sendiri?" tanya Red tak masuk akal.

"Smartphoneku tak secanggih itu Red!" kataku dengan nada sinis.

"Lalu harus diapakan? Beritanya sudah naik," Red berkata pasrah. "Tapi peminat bacanya tinggi juga," lanjut Red lagi.

"Sungguh aku tak perduli dengan retting, Red, karena ini menyangkut nama baik seseorang," kataku tajam. Aku hanya bisa berdoa semoga berita ini tak sampai terdengar oleh Anggar. Tapi itu mustahil.

***

"Nyonya sedang tidak ada di rumah Non," tutur Bi Mirna ketika aku sampai di rumah Wiliam.

"Kalau boleh tau ke mana ya Bi?" tanyaku sesopan mungkin.

"Nyonya sedang di rumah sakit,"

"Di rumah sakit, nyonya Li sakit?"

"Bukan, tapi den Dika," aku mengerutkan kening. Ada apa dengan bocah itu.

Berbekal alamat yang diberikan Bi Mirna, aku pun melaju menuju rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit aku melihat Lily yang sedang duduk di depan ruang rawat. Aku menghampirinya dengan tatapan cemas.

"Mama.." sahutku. Wajah Lily terlihat sangat sedih dan lelah. Lily langsung menubruk tubuhku. Memeluk dengan sangat erat. Hal yang biasa terjadi tapi yang tak biasa adalah Lily memelukku sambil menangis sesegukan. Seolah ada beban yang di keluarkan dari pundaknya.

Aku mengelus punggungnya pelan. Apa yang sebenarnya terjadi pada bocah itu. Aku tahu Lily sangat menyayangi anak-anaknya. Apalagi perhatian sekali dengan Dika. Tapi apa harus sesegukan seperti ini kalau Dika hanya sakit biasa. Untuk melepas rasa penasaranku, ku tanya Lily pelan.

"Ada apa Ma?" tanyaku sambil melepas pelukannya.

"Dika kambuh," lirih Lily.

"Memangnya Dika sakit apa Ma?" tanyaku lagi.

"Dika sakit jantung," jawab Lily singkat tapi mampu membuat aliran darahku seperti berhenti.

"Jantung?" gumamku seperti memperjelas perkataan Lily. Aku membantu Lily untuk duduk di kursi.

"Dika mengidapnya sejak kecil," ucapan Lily tak sepenuhnya ku dengar, aku mengingat kejadian di mana aku bertemu dengan Dika beberapa waktu lalu. Dia sedang meminum obat yang disebutnya sebagai vitamin.

"Itulah sebabnya aku lebih protektif pada Dika, Dika sendiri tidak ingin terlihat lemah, dia ikut renang atas kemauannya sendiri, dan keuntungan dari renang itu sebagai terapi untuk penyakitnya," jelas Lily sambil menyeka ujung matanya yang berlinang air mata. Aku bisa merasakan perasaan Lily, berat buatnya melihat anaknya sendiri sakit. Ternyata banyak yang tidak ku sangka terjadi di keluarga ini.

"Aku berusaha untuk selalu membuatnya senang, dengan apapun itu, dan maaf walau bagaimanapun aku pernah mengorbankanmu untuk membahagiakannya," terang Lily, aku mengerutkan dahi, tak mengerti.

"Mungkin kau sadar aku berusaha mendekatkanmu dengan Dika, itu hanya untuk membuatnya senang," ucap Lily dalam. "Maaf Dania, aku tak memperhatikan perasaanmu," ujarnya jujur.

Aku mengelus pundaknya sekali lagi. "Tapi aku bersyukur kau hadir Dania, kau bisa meluluhkan dan mencairkan keluarga ini, bahkan kau juga bisa mencairkan hati Anggar," Lily tersenyum padaku. Mendengar nama Anggar tiba-tiba dadaku terasa sesak.

"Aku tahu Anggar masih sama seperti yang dulu. Dia hanya mengubah tampilan luarnya saja. Tapi tidak dengan hatinya. Anak itu lembut. aku tahu itu. Dia tak pernah membenci Dika, walaupun Dika bukan saudara kandungnya. Dia juga merelakan kebahagiaannya untuk Dika." Ucap Lily.

"Maksud Mama?" lirihku pelan.

"Aku pernah memergoki mereka berbicara serius." Lily seperti mengingat sesuatu. Aku semakin tidak mengerti.

"Tentang dirimu, Dania," Lanjut lily. "Apa kau tidak sadar, Dika menyukaimu?" Lily menatapku peluh.

Ya aku memang sadar sejak awal kalau Dika menyukaiku, tapi apa hubungannya dengan Anggar.

"Sedangkan Anggar, dia mencintaimu," ujar Lily gamblang

Ucapan Lily membuatku tersentak. Tiba-tiba aku susah menelan ludah. Tubuhku seperti es. Dingin. Jantungku berpacu sangat cepat.

"Aku tidak tahu sejak kapan Anggar mencintaimu, tapi percakapannya dengan Dika waktu itu, seperti menjelaskan semuanya yang membuatku yakin," Lily seperti membayangkan kejadian di mana dia melihat kedua anaknya beberapa waktu lalu. Dan mamaksaku ikut membayangkannya.

"Ka, apa kau menyukainya? Maksudku apa kau menyukai Dania?" tanya Dika saat mereka sedang bermain PS di depan televisi. Hal yang sangat jarang sekali terjadi setelah mereka beranjak dewasa.

"Apa yang kau bicarakan," Anggar yang mendengarnya lansung berkata sinis.

"Aku bisa melihat dari matamu, kau benar mencintainya," Dika seperti membeberkan perasaan kakaknya.

"Sekali saja ka, di sisa umurku aku memilikinya," pinta Dika yang membuat raut wajah Anggar berubah menegang.

Awalnya Anggar tak bicara apa-apa, "Wanita sepertinya banyak di pasaran," dan tak lama aku muncul yang membuat mereka semua terkejut.

Tiba-tiba aku ingat kejadian menyakitkan itu.

"Aku tahu Anggar berusaha agar kau membencinya dengan membawa wanita di acara ulang tahunku,"

"Aku tahu Anggar berbohong, aku tahu Anggar menyayangi Dika, aku tahu sejak kalian dekat, aku tahu karena aku ibunya, Dania," Lily menyentuh tanganku. Berusaha meyakinkanku. Sedangkan aku masih merasa tidak menyangka dengan semua pengakuan ini.

"Kau tahu apa yang terjadi malam itu," Lily bersuara lagi. Lebih tenang, "Sebelum Anggar tiba-tiba pergi ke Belanda," kata-kata Lily berhasil mengingatkanku pada malam itu. Saat aku berlarian mengejar waktu agar tak telat datang ke taman bermain. Tapi nyatanya Anggar tidak ada.

"Aku akan mengantarnya ke Airport, sesaat Anggar memintaku untuk berhenti di taman bermain, dia membawa sebungkus kado, dan beberapa lampu yang sudah dipersiapkan, dia datang hari itu," jelas Lily. "Anak itu, walaupun Anggar tak pernah banyak bicara, tapi dia menunjukkan dengan tingkahnya," Lily tersenyum. Aku hanya bisa bergeming mendengar setiap ucapan Lily.

"Percayalah nak, dia hanya ingin membuatmu senang, dia hanya ingin membuat semuanya baik-baik saja," ujar Lily. Aku tidak tahu apakah Lily mengetahuinya atau tidak. Apakah Lily mengetahui kalau suaminya adalah koruptor, sekaligus mafia, sekaligus pembunuh keluargaku. Aku menjerit dalam hati.

Kenapa masalah ini sekarang malah semakin rumit. Setelah aku menemukan bukti di brangkas William, kabar Anggar anak tiri William naik ke media, Dika yang sakit, dan juga tentang perasaan Anggar.

***

Jurnalis InvestigacintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang