BAB 5

272 35 0
                                    


Seminar public relation yang di adakan di Plaza Square itu dihadiri oleh perwakilan dari beberapa negara se-asia. Di antaranya India, Singapore, Vietnam, Thailand dan beberapa negara ASEAN.

Para pria mengenakan jas hitam dan wanitanya memakai dress putih. Tampak beberapa teman media yang ku kenal ada di sana. Mereka sedang meliput acara bergengsi ini.

Saat sedang coffe break, tak sengaja aku menubruk dada seseorang saat menghadap ke belakang. Sekilas tercium wangi parfum tere d'Hermes yang melewati indera penciumanku. Aroma yang sangat menenangkan, tetap maskulin dan tidak menusuk hidung Perpaduan unsur bumi seperti tanah, air dan udara. Begitu menyatu sehingga menghasilkan wangi yang begitu memikat. Aroma yang pernah ku cium dari tubuh seseorang. Tiba-tiba aku teringat.

"Maaf..." kataku sambil mendongak melihat pria bersetelan jas hitam dan kemeja putih itu. Aku langsung bisa mengenali dari postur dadanya yang lebar.

"Sedang apa kau di sini?" reaksiku spontan begitu melihat pria itu adalah orang yang sama saat aku menubruknya di toko buku. Anggar.

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu!" sahutnya dingin dan sedikit pelan agar tidak menarik perhatian banyak orang.

"Apakah Wiliam juga ada di tempat ini?" tanyanya dingin.

"Tidak, aku ke sini.." kalimatku terpotong begitu sadar aku sedang menyamar. "Maksudku, aku ke sini untuk menemani temanku," aku hampir saja bersyukur kalau ID persku menghilang, kalau tidak, aku mungkin sudah memakainya dan Anggar pasti melihatnya.

Tapi untuk apa dia di sini? Apa jangan-jangan, tiba-tiba mataku disadarkan oleh sesuatu. Anggar memakai ID yang bertuliskan Konseptor. aku teringat Lily pernah bilang kalau Anggar mendapatkan beasiswa magister dari perusahaannya bekerja sebagai Advertising.

"Aku heran, apakah kau mengikutiku? Kenapa kita sering sekali bertemu?" dia berkata asal sambil memasukkan satu tangannya ke kantung celana.

Aku? Mengikutinya? At...tas dasar apa, sekalipun dia anak dari Wiliam. Aku malas berurusan dengannya. Eit, tidak boleh begitu Olive, kau lupa kalau kau butuh data banyak. Batinku seperti menasehati diri sendiri. Baiklah, sepertinya kali ini aku harus rela mengalah untuk kepentingan investigasi.

Aku baru mengeretakkan gigi, tiba-tiba Gerdi datang membawa minuman. "Olive, kau sedang apa? acara sudah mau dimulai," katanya yang membuat mataku melotot. Aku bersyukur Gerdi datang untuk membawaku enyah dari hadapan Anggar. Tapi tadi Gerdi memanggilku dengan sebutan Olive. Oh Red, tolonglah aku.

Untung saja Anggar seperti tidak menghiraukan apapun. Dia juga cuek saja, lagi pula tipe pria seperti Anggar tidak suka mempermasalahkan urusan kecil seperti itu. Dia bisa saja berfikir kalau Olive adalah nama belakangku.

"Aku senang kau mau ikut bersamaku," ucap Gerdi begitu acara sudah selesai. Dan aku pun pulang bersamanya. Kalau saja aku tidak bertemu dengan pria aneh itu, mungkin aku akan pulang sendiri.

"Aku harap aku bisa langsung istirahat," aku memukul-mukul pundakku, pura-pura pegal. Padahal jelas di sana aku tidak angkat beban.

"Everything you want," mata Gerdi melihatku sekilas, lalu kembali fokus menyetir. Aku geli sendiri mendengarnya.

"Omong-omong siapa pria tadi?" mata Gerdi melihat ke arahku.

"Bukan urusanmu," nadaku pelan tapi tajam.

"Tapi kita kan satu team," katanya membela. Ah, alasan macam apa itu. Memang apa urusannya kalau kita satu team.

"Dia anak dari Wiliam," aku tidak tahu apakah penting atau tidak memberitahunya, tapi setidaknya agar dia berhenti mengoceh.

"Kalian dekat?" pertanyaan lagi.

"Bisakah kau fokus menyetir Gerdi, tidak baik menyetir sambil mengobrol," aku memijat-mijat pelipisku. Sikuku ku sandarkan pada kaca mobil.

"Sejak kapan seorang Olive mempunyai aturan seperti itu?" tanyanya yang menambahku kesal. Aku memang terkenal arogan, bebas, dan bisa melakukan apa saja yang ku mau. Tapi aku tidak mau mati konyol, apalagi bersama Gerdi.

"Gerdi, aku bukan narasumbermu yang sedang kau tanya-tanya, kedua hati-hati saat kau menyebutkan nama Olive, saat ini aku sedang menyamar menjadi Dania. Dan ketiga terimakasih atas tumpangannya," aku menutup mobil Gerdi yang berhenti persis di depan gang rumahku.

"Terserah apa yang kau katakan Olive, kau selalu tampak menarik, bilang aku kalau kau butuh bantuan ya," katanya dengan percaya diri sambil mengedipkan satu matanya padaku. Aku langsung bergidik ngeri. Tentu saja tidak tepat di depan wajahnya.

***

Aroma khas latte menusuk indra penciumanku saat aku sedang merebahkan tubuhku di atas hammock. Hembusan angin bisa langsung menerpa tubuhku yang memakai baju pantai gedombrang. Kenapa aku namakan baju gedombrang, karena ukurannya sangat besar. Dan tidak pas badan seperti kemeja kerja. Ini adalah salah satu bentuk kebabasanku.

Mataku terfokus pada tumpukan kertas di sampingku. Sebagian besar bukti kasus Wiliam ada di dokumen ini. Termasuk aliran dana dari PT. Miles, sebuah perusahaan pertambangan.

Sambil membaca dokumen milik William, aku menyesap cappucinoku yang masih panas. Aroma kopi bisa membuatku tenang. Jadi aku bisa lebih mudah mengerti jalan cerita kasus ini.

Trrrtt! Getar smartphoneku berbunyi. Aku langsung membukanya. Sebuah pesan dari nomer tak dikenal yang membuatku memicingkan mata

Selain PT.Miles, William mempunyai banyak kasus di beberapa perusahaan lainnya, lebih teliti lagi mengamatinya.

Apa maksud isi pesan ini. Dia tidak menyebutkan dia siapa tapi seperti tahu betul kasus William. Apa ini Red?

***

Jurnalis InvestigacintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang