Bab 22

176 21 1
                                    


"Apa? Rapat?" mataku melotot mendengar ucapan Gerdi.

"Iya, Cross menunggu kita di dalam,"

"Ah, apa tidak ada waktu lain? Ini kan sudah jam pulang kerja,"

"Sejak kapan kita punya jam kerja teratur nona cantik?" goda Gerdi. Aku langsung terdiam. Lalu bagaimana aku bisa ke taman bermain.

"Kalau begitu, izinkan aku!" kemudian aku membalikkan badan.

"Kau mau kemana Olive?" Red sudah ada di depanku. Mencegah untuk pergi. Dagunya terangkat meminta penjelasan sambil melipat tangannya di depan dada.

"Aku ada urusan dengan narasumber Red," aku bersiap-siap melangkah namun Red menghalangiku.

"Narasumbermu yang mana Olive," cecarnya. Kemudian Red mengayunkan tangannya. Menyuruhku untuk masuk ruang rapat. Oh tidak.

"Masuk, masuk," Red mendorong punggungku pelan agar masuk dalam ruang rapat.

"Tapi Red," aku memelas. Namun tetap saja tidak diizinkan. Aku terpaksa duduk sambil mendengus sebal. Sedangkan waktu saja berputar. Memangkas habis sisa waktuku untuk bertemu dengan Anggar.

Red memimpin rapat. Dia menjelaskan tim yang akan bertugas menyelesaikan kasus kematian Direktur Hadiotomo.

Mataku melihat ke arah Red, tapi pikiranku jauh melayang ke taman bermain. Apa Anggar sudah sampai di sana. Apa dia akan marah padaku karena aku tidak datang. Astaga.

"Ada pertanyaan?" tanya Red membuyarkan lamunanku. Aku langsung mengacungkan tangan kananku.

"Ya Olive?"

"Bisakah aku ke toilet sebentar,"

"Hah, kau ini, cepat sana!" perintah Red. Teman-teman yang ikut rapat tertawa. Aku beranjak berdiri sambil menggendong tas ranselku.

"Letakkan tasmu di situ," Red sudah tau akal bulusku. Aku menaruh tas di atas meja. Dan meninggalkan ruang rapat dengan perasaan yang tak menentu. Tidak ada waktu lagi. Aku harus ke taman bermain sekarang juga.

Napasku mulai memburu. Derap langkahku menerjang orang-orang yang menghalangiku. Aku melirik sekilas jam di pergelangan tanganku. Pukul 04.55 menit. Dalam lima menit aku harus sampai di taman bermain.

Aku naik bus antar kota yang dipenuhi penumpang karyawan yang pulang bekerja. Aku baru sadar ini adalah jam pulang. Pantas saja jalanan macet. Ini semakin menghabiskan waktuku.

Lima belas menit berlalu. Langit sudah berangsur gelap. Aku baru sampai di tempat tujuan. Pandanganku menyapu sekeliling. Tak ada siapapun di sini. Hanya ada ayunan berjaring. Namun setibanya aku di tempat tujuan. Aku tidak menemukan siapapun di sana. Aku menghembuskan nafas kecewa.

Aku duduk di ayunan sambil menunggu Anggar. Siapa tahu dia yang terlambat datang. Tiba-tiba bayangan ibu dan Ayah berkelabatan hadir di otakku. Rasa sesak hadir saat aku meningat Ayah mengajakku ke tempat bermain. Hari terakhir sebelum mereka pergi.

"Ibu, ayah, aku merindukan kalian," lirihku pelan dengan mata terpejam. Tak terasa bulir air mata jatuh di pipiku. Aku cepat menghapusnya. Aku takut Ayah dan Ibu marah kalau aku menangisi mereka.

Aku membuka mata. Mulutku langsung menganga. Taman bermain yang awalnya gelap tiba-tiba menyala oleh lampu-lampu kecil warna warni. Melingkari setiap permainan. Bagaimana bisa?

Ku toleh kepala ke segala arah. Tapi benar-benar tak ada orang. Hanya satu yang menarik perhatianku dari Ayunan sebelah. Sebuah bingkisan kado berwarna biru laut. Ah dia benar-benar ke sini. Maafkan aku Anggar.

***

Aku menghempaskan bokongku ke atas kasur. Pelan-pelan ku buka bingkisan kado tersebut. Mataku melotot melihat sebuah tulisan di dalamnya

. Hey, setelah ku pikir-pikir, kau memang pantas dipanggil sayuran.

Happy birthday, Sayuran!

Aku langsung mengepalkan tanganku. Awas kau Anggar. Habis kau besok. Mataku sekarang fokus pada isi kado. Buku yang sempat ku rebutkan dengannya sekarang ada di tanganku. Aku tertawa dalam hati. Kalau bukan karena buku ini aku mungkin jalan ceritanya tak seperti ini.

***

Jurnalis InvestigacintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang