BAB 11

203 28 0
                                    


Aku melihat alamat yang diberikan Lily ketika aku sudah sampai di depan sebuah butik berukuran cukup besar. Kaca tranparan memperlihatkan gaun pernikahan yang sangat indah.

Tanpa ragu aku membuka pintu yang bertuliskan 'open'. High heelsku menapaki lantai yang sangat mengkilat ini.

"Sayang..." suara Lily pecah begitu ia melihatku di ujung pintu. Aku tersenyum lebar dan selalu menyambut pelukan hangatnya.

"Kau dengan siapa?" tanya Lily sambil melihat ke luar. Aku menggeleng.

"Aku sendirian Ma," jawabku.

"Ayo kita naik ke atas.. Mama punya sesuatu untukmu," Lily menarik tanganku pelan untuk mengikuti langkahnya.

Aku yang masih heran hanya bisa mengekori Lily naik ke atas tangga. Ruangan bernuansa serba putih ini adalah ruangan make up dengan wardrobe di mana-mana.

"Hai Dania," suara seseorang memanggilku dari depan kaca rias. Seorang pria bermodel wanita. Gerakannya lemah gemulai, namun tak akan mengubah jakunnya yang terlihat sangat besar. Aku menelan ludah. Oh Tuhan, siapa lagi ini.

Aku tersenyum seramah mungkin. Lily pernah bilang kalau dia mempunyai styles handal. Mungkin ini yang dimaksud.

"Dania, kenalkan ini Windy, dia styles yang akan membantumu," Lily memperkenalkan kami. Membantu? Membantu apa? Memangnya aku akan diapakan.

Windy? Penyamaran yang bagus. Mungkin nama aslinya Waluyo. Sama sepertiku. Olive jadi Dania. Tapi aku tetap wanita.

"Kau bersama Windy dulu ya sayang, mama mau menyiapkan model bajunya untukmu," Lily mengelus pundakku lalu turun ke lantai dasar. Sedangkan Windy dari tadi mengelus rambutku, menyisirnya lalu mengheadrayer rambutku.

Dengan tangan lentiknya itu, wajahku dimake up. Diberi poundation, bedak, blush on, lipstik, eyeliner, maskara. Mataku merem melek seperti orang kelilipan. Windy lincah sekali melakukannya.

"Duh, cantiknya, eyke jadi iri cint," katanya yang terdengar sangat menggelikan. "Nyonya Li tak pernah bilang kalau dia mempunyai anak cantik sepertimu," katanya sambil menyisir rambutku. Aku hanya bisa tersenyum simpul melihat Windy yang terpantul di kaca yang ada di hadapanku. Aku takut salah bicara.

"Apa wedding organizer ini sudah lama berdiri?" kataku mendelik melihat Windy. "Tentu saja sudah lama, Lily kan merintis wedding organizer ini dari dia masih sangat muda, sebelum menikah," jawabnya santai.

"Ohya?" aku antusias mendengar ceritanya. Berarti aset ini bukan pemberian dari Wiliam. Maksudku, bukan uang yang mengalir dari kantong Wiliam. Diam-diam aku merekam ucapannya.

"Bagaimana Windy, apakah sudah selesai?" tiba-tiba suara muncul dari belakang. Tentunya suara Lily. Windy memutar kursi beroda yang ku duduki. Dengan sangat cepat aku berada di hadapan Lily dan seseorang yang sedang melihatku takjub. Dika.

"Waaah, kau seperti bidadari Dania," Lily menutup mulutnya, melihat kagum ke arahku.

"Lebih dari itu ma," sahut Dika dan berniat menghampiriku. Namun tertahan karena Lily menarik telinga kanannya.

"Mau kemana kau?" tanya Lily galak.

Aku terkekeh melihat ibu dan anak itu. Dika melepas paksa telinganya yang dijewer oleh Lily. "Aku hanya ingin berselfie dengan Dania, Ma," Dika mengusap-usap telinganya, kemudian berlanjut mendekatiku. Terkadang aku benci terlihat seperti 'boneka' di depan mereka.

Dika mengeluarkan smartphonenya dan mendekatkan dirinya padaku. "Kalau gitu Mama juga ikutan," katanya kemudian bergabung bersama kami.

"Bagaimana kalau aku saja yang mengambil gambarnya?" tawar Windy.

"Ide yang bagus," Dika memberikan smartphonenya pada Windy. Tawa renyah begitu nyaring terdengar saat kami berpose sangat banyak. Seandainya dia juga ada di sini. Batinku.

"Kemarin kau kemana Dania, kenapa kau tega meninggalkanku padahal aku belum selesai sampai di garis finish," keluhnya saat kami berada di dalam mobil menuju rumah Wiliam. Hatiku berdenyit tiba-tiba. Mengingat kejadian kemarin saat aku meninggalkan Dika karena menjenguk Anggar.

"Dikaaa.. Mama kan sudah bilang kemarin Dania ada urusan dengan temannya," Lily menjawab pertanyaan Dika. Aku bernafas lega. Setidaknya Anggar tidak cerita pada mereka kalau aku habis menjenguknya.

"Baiklah, tapi lain kali kau harus melihat pertandingan renangku sampai selesai Dania," ucap Dika berlagak memerintahku. Siapa dia. Sinisku dalam hati.

Kami tiba di rumah jam 7 malam. Saat Wiliam juga baru saja pulang. Kami menikmati makan malam bersama. Wiliam, Lily, Dika dan Aku. Semuanya terasa khidmat. Kata Lily ini untuk merayakan kemenangan Dika. Dika tak minta apa-apa. Dia hanya menginginkanku ikut makan malam bersama keluarganya. Dasar bocah.

"Ma, Pa, terimakasih.. dan juga Dania kau cantik sekali malam ini, terimakasih kau mau datang makan malam bersama kami," ocehannya membuatku menginjak kakinya. Tapi ternyata bukan kakinya yang sengaja kuinjak. Melainkan kaki Wiliam.

"Oh maaf Pak," kataku seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Malu sangat. Awas saja Dika. Lain kali aku akan menolak ajakanmu.

"Oia Dania, nanti minggu depan ada acara keluarga besar, kau ikut ya," aku langsung menahan suapanku. Aku heran kenapa keluarga ini begitu ingin aku dekat dengan mereka. Padahal aku bukan siapa-siapa mereka. Saudara bukan. Anak juga bukan.

Mamang bagus, aku jadi lebih mudah mendalami penyelidikanku. Tapi apa tidak aneh kalau terlalu dekat seperti ini. Aku jadi curiga apa salah satu dari mereka ada yang tau kalau aku sedang memata-matai keluarga ini.

"Iya ma," kataku akhirnya. Lily tersenyum senang kemudian melanjutkan makannya. Aku selalu ingat kata-kata Red kalau aku harus profesional. Tapi sekali lagi dengan keluarga Wiliam itu membuatku merasakan berada di tengah-tengah keluarga sebenarnya.

"Anggar, kau tidak ikut makan bersama kami nak?" tanya Lily lembut ketika melihat Anggar keluar dari kamar.

Semua mata tertuju pada Anggar yang membawa helm merahnya. Anggar terlihat sangat rapih dengan celana cino panjang dan sweater hitamnya yang dia tarik sampai siku. Di punggungnya ada sebuah tabung gambar dengan ukuran yang lumayan besar.

"Tidak ma, aku sudah kenyang," suaranya ditekankan. Kemudian Anggar berlalu meninggalkan ruangan. Padahal aku sangat berharap sekali Anggar duduk di sebelahku.

                                                                                                   ***

Jurnalis InvestigacintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang