BAB 2

498 38 0
                                    


"PIMRED GILAA!!!" Aku melempar lipstik yang ku pegang ke muka kaca hingga lipstik itu patah. Tidak ada cara lain apa selain menjadi asisten direktur. Bukan karena pekerjaannya, tapi karena penyamaranku berubah ke aspek penampilan, yang benar saja seorang Olive, dengan celana lepis belel dan sepatu ketsnya harus diganti dengan pakaian formal ala staff pejabat. Astaga mimpi aku semalam.

Kau tahu kasus korupsi terduga Wiliam, presiden direktur PT. Nine One Group? Kasus yang ku berikan padamu. Ku dengar dari seorang teman, Wiliam membutuhkan seorang sekretaris karena sekretaris aslinya sedang berduka pasca suaminya meninggal dunia.

Maksudku, kau harus membuat penyamaran menjadi sekretarisnya agar kau lebih mudah untuk mengusut kasus ini. Of The Record, Oke!

Terngiang ucapan Red kemarin. Aku akui Red memang cerdas, dia bisa mengambil celah dari manapun untuk mengusut setiap kasus yang dihadapinya. Selain itu networknya juga luas. Tapi masalahnya adalah saat dia menyuruhku untuk menjadi seorang sekretaris.

Ingat, kau sedang melakukan penyamaran, jadi kau harus hati-hati. Jangan beritahu identitas aslimu. Aku akan membereskan masalah untuk penyamaranmu dan cara kau masuk menjadi asistennya. Hanya saja... ubah penampilanmu!

Sepersekian detik aku sempat melongo, sebelum akhirnya mengiyahkan ucapan Red. Tentu saja aku setuju, aku baru melek di desk politik. Biasanya aku ada di desk metropolitan. Dan yang ku hadapi bukan hanya orang-orang berdasi tapi beragam profesi dari menengah atas sampai menengah ke bawah. Tapi karena rolling, semua berubah.

Trrtt.. smartphoneku bergetar, satu pesan dari Red. Aku menaruh maskaraku di atas meja.

Kau di mana Olive. Ingat, kau harus tepat waktu, usahakan tampil sebaik mungkin di depan Wiliam dan jangan sampai ketahuan. Satu lagi. Jika kau kesulitan bermake-up. Kau bisa lihat tutorial di Internet. Mengerti?

"Kau seperti alarm berjalan Red," dengusku kesal walau ku tahu pasti Red tak mungkin mendengarnya. Aku melempar gedget ke atas kasur dan melanjutkan mengganti pakaian.

Aku memutar tubuh di depan kaca, memperlihatkan seluruh tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Celana belelku kuganti dengan rok span hitam selutut, kemeja kusutku sudah menjadi kemeja siphon berwarna cream, make up yang kulihat di tutorial, serta rambut yang biasa ikat kuda kini ku gerai. Tak lupa tas yang awalnya tas gendong menjadi tas jinjing layaknya ibu sosialita. Sungguh, buatku ini menjijikan.

Tapi satu lagi yang belum sempat ku ganti ... sepatu kets ku dengan sepatu higheels. Oh my god. Segala kostum ini sengaja ku beli kemarin hanya untuk melakukan sebuah penyamaran.

Aku memegang liontin kalung berbentuk huruf F, pemberian ayah saat aku ulang tahun yang ke-4, dan masih ku pakai sampai sekarang. Dalam hati ku tegaskan kata-kata untuk menguatkan diriku sendiri. "Aku bisa, aku pasti bisa, aku adalah anak ayah dan ibu, karena aku Olive Ferdinan"

***

"Jadi, namamu Dania Cahaya Pelita?" tanya seorang pria yang duduk hadapanku. Usianya seperti menginjak 55 tahun. Badannya tegap berisi. Dibalut oleh kemeja putih dan jas hitamnya, juga dasi yang biru tua bergaris horizontal. Wajahnya nampak sangat berwibawa. Dia adalah Wiliam Sammar. Presiden direktur yang dibicarakan oleh Red kemarin.

"Benar Pak," aku mengangguk mantap. Dihadapkan seperti ini aku merasa sedang wawancara kerja sungguhan. Aku berusaha selues dan setenang mungkin.

"Aku tahu dari temanku bahwa kau adalah orang yang dia rekomendasikan untuk menjadi sekretarisku," kali ini Wiliam menautkan kedua tangannya untuk menyanggah dagunya.

Jurnalis InvestigacintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang