Bab 8

223 29 0
                                    


"Permisi," badanku menyempil di antara orang-orang yang bejubel menonton perlombaan renang. Aku mencari Dika di segala penjuru tempat renang. Tapi tak ada tanda-tanda dia ada di sini.

Sebenarnya aku bukan benar-benar ingin bertemu dengan Dika. Tapi aku ingin bertemu dengan kakaknya. Entah kenapa, hatiku gelisah sekali. Harap-harap cemas akan bertemu dengannya lagi.

"Dania.." sahut seseorang dari belakangku. Spontan aku menoleh, seseorang melambaikan tangannya padaku dengan para wanita cantik di sampingnya. Siapa lagi kalau bukan Dika. Kami hanya berjarak oleh lalu lalang orang yang berdiri.

"Hai," sahutku pada Dika. Dua orang wanita yang berada di samping Dika tersenyum sinis padaku. Aku baru tahu kalau bocah ini memiliki banyak selir.

"Aku senang kau bisa datang," katanya tersenyum mengembang.

"Mana Mama dan Pak Wiliam?" tanyaku tanpa basa-basi sambil mengedarkan pandangan di sekitarku. Satu orang yang ingin sekali ku temui malah tak ku sebutkan namanya.

"Mereka belum datang, mungkin sebentar lagi," pungkasnya yang nampak cemas. "Duduk dulu," Dika menyuruhku duduk di tenda payung yang masih kosong. Terlihat beberapa kaleng minuman di meja, bekas orang yang singgah di tenda ini.

"Baiklah," aku menyandarkan tubuhku di kursi kayu, begitu juga Dika yang duduk tepat di sampingku.

"Oia, kenalkan," Dika melihat dua wanita tersebut lalu melihatku. "Ini Dania, calon.." Dika menggantungkan kalimatnya sambil merangkul pundakku. Aku langsung melirik Dika dengan pandangan yang mematikan.

"Lepaskan Dika, atau akan ku tendang kau seperti sebelumnya," geramku pelan di telinganya. Namun aku sudah menginjak kakinya terlebih dahulu. Dika langsung melepaskan tangannya. Mungkin menyakitkan baginya mengingat kejadian tempo hari saat aku menendang selangkangannya.

Aku memperhatikan suasana. Jujur, aku bukannya geer, tapi apakah Dika menyuruhku ke sini karena untuk tameng pada teman-temannya. Oh Tuhan. Cobaan apa lagi ini.

"Hai sayang," tiba-tiba suara itu muncul di antara kami. Lily memeluk hangat anak kesayangannya itu. Ia tampak tampil sederhana dengan t-shirt lengan panjang berwarna kuning dan celana training.

"Dania kau ada di sini juga," Wiliam terlebih dahulu sadar akan keberadaanku. Aku lantas berdiri untuk berjabat tangan dan berusaha tersenyum ramah.

"Sayang, anak Mama, ah senangnya melihat kau di sini," Lily terkejut melihatku kemudian langsung memberikan cipika-cipiki. Aku melihat "selir" Dika pergi begitu melihat pemandangan ini. Ah sebenarnya aku tak mau melihat orang patah hati gara-gara aku. Karena jelas aku tak ada apa-apa dengan bocah manjanya Wiliam dan Lily.

"Aku yang mengajak Dania ke sini Pa, Ma?" Dika mewakiliku untuk menjawab pertanyaan Wiliam. Ini juga semua karena anakmu yang manja ini Wiliam.

Aku mengedarkan pandangan sekali lagi. Apakah dia benar-benar tidak datang. Ada rasa kecewa begitu melihat hanya Wiliam dan Lily yang datang.

"Mama kenapa lama sekali baru datang?" tanya Dika dengan nada yang dibuat-buat.

"Maaf sayang, tadi tiba-tiba Anggar demam tinggi, Mama panggilkan dokter untuk kakakmu, baru Mama kemari, habisnya Bi Mirna tak bisa ke rumah katanya sedang mengambilkan rapot anaknya," jelasnya yang membuatku tiba-tiba kehilangan oksigen beberapa detik.

Anggar demam? Gumamku dalam hati. Apa karena kehujanan kemarin? Ahh kenapa aku jadi merasa bersalah. Hatiku gusar. Otakku sudah tidak konsentrasi. Pikiranku terus menuju pada Anggar. Bagaimana keadaannya sekarang. Apakah dia sudah baikan. Tak mungkin juga kalau aku langsung menanyakannya pada Lily.

Perlombaan akan segera dimulai. Dika bersiap-siap di garis start bersama rivalnya. Lily bertepuk tangan sangat semangat, menyoraki nama anaknya. Tak peduli sekeliling yang melihatnya aneh. Sedangkan Wiliam terus merekam pertandingan renang walaupun pluit belum dibunyikan.

Aku terpaku. Hatiku mendorong untuk segera pergi. Tapi tidak tahu bagaimana caranya. Akhirnya aku mengeluarkan handphoneku, berpura-pura seperti ada yang menelpon kemudian menjauh dari Wiliam dan Lily. Tak lama aku menghampiri mereka kembali.

"Maaf ma, aku tak bisa lama-lama, temanku ada yang mau ke rumah, dia baru pulang dari Australi," akhirnya alasan itu yang menguatkanku.

"Ohya? Sayang sekali Dania, kau tak bisa melihat Dika sampai di garis finish," Wiliam menoleh ke arahku. Lily menatapku dengan raut wajah kasihan.

"Iya, aku juga sangat ingin melihat Dika," kataku dengan raut wajah sesal. Pura-pura sesal sepertinya. Tidak sungguhan.

"Kau bisa lihat rekamannya nanti," ucap William. Aku melihat kamera yang dipegang Wiliam.

"Salamkan ke Dika, maaf aku tak bisa menontonnya sampai akhir," pungkasku.

"Iya, pergilah nak, nanti akan ku sampaikan salammu," jawab Lily dengan lembutnya. Entah sudah berapa kali aku membohonginya. Tapi lagi-lagi dia percaya

"Terima kasih," kataku singkat kemudian beranjak pergi seperti orang yang sedang punya janji penting.

"Hati-hati di jalan," kata mereka hampir berbarengan.


Jurnalis InvestigacintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang