Sejak kejadian di perpustakaan itu, Radinka sama sekali tidak bisa menyingkirkan Dirga dari pikirannya. Radinka tidak bisa fokus pada kegiatan yang ia lakukan tanpa memikirkan Dirga. Seperti, apakah Radinka sudah lebih baik apabila dibandingkan dengan Aurell with her perfect life? She doesn't think so.
Sudah seminggu berlalu, dan Radinka bahkan tidak mengerti dari sisi manakah yang boleh jadi ia lebih unggul daripada Aurell. Aurell is way too perfect, dan tidak ada yang bisa menyangkalnya. Dengan badan yang tinggi semampai, kulit putih bersih tanpa bekas jerawat ataupun masalah anak muda lainnya, menorehkan berbagai prestasi di bidang Bahasa Inggris, dan... memiliki harga diri yang sangat amat tinggi. Semua itu membuat Aurell terlihat sangat... classy.
"Gua liat akhir-akhir ini kayaknya lo suka banget ke drugstore?"
"Hah?"
Luna bungkam, tidak mengulang pertanyaannya. Radinka pun menarik tangan Luna untuk berpindah ke toko lainnya.
"Woy!"
Radinka terkejut, menyetop langkahnya mendadak. Dari arah yang berlawanan, berjalanlah Dirga bersama ibu-ibu paruh baya, yang Radinka pikir sepertinya adalah ibunya. Radinka sempat berpikir dia berhalusinasi, tapi nyatanya tidak.
"Yo," sahut Luna pada Dirga, lalu berpindah salim pada ibu Dirga seolah mereka pernah kenal.
Luna dan ibunya Dirga larut dalam pembicaraan, meninggalkan Radinka yang masih mengutuki dirinya yang tetap saja terkejut dan berlebihan ketika bertemu dan berdekatan dengan Dirga seperti ini. Maksud Radinka, kenapa mereka bisa kebetulan bertemu begini, sih?
"Bengong aja." Dirga memecah keheningan.
Radinka mengerjap. "Apa sih."
"Elo, bengong terus. Bengong karena gua ganteng, ya?"
Bak mesin scanner, mata Radinka sekilas menyisir penampilan Dirga dari atas sampai bawah: kaos polos berwarna putih tulang, dipadukan dengan celana selutut bermotif garis-garis dan sneakers putih. Bagus lo sadar kalo lo ganteng, tapi plis berhenti buat jantung gua mau copot!?
"Ya ampun, GR banget lah anjir." Radinka tertawa kecil, berusaha menghilangkan sesuatu yang membuatnya sedikit tergila-gila pada Dirga.
Radinka mengembuskan napasnya perlahan. Duh, bagaimana ini? Kalau rasa sukanya pada Dirga semakin membesar ... Radinka tidak bisa menyingkirkan bagaimana cara membuat dirinya menjadi seperti Aurell dari pikirannya. Bukankah setidaknya mereka harus setara untuk Radinka dapat berdampingan dengan Dirga?
.
.
"Lun."
"Paan?"
"Lo dulu se-SMP sama Dirga, kan?"
"Iya. Napa?"
"Dirga sama Aurell sempet jadian nggak, sih?" tanya Radinka, akhirnya, setelah semalaman berpikir hendak menanyakan ini kepada Luna atau tidak. Setelah pertemuan entah keberapa, dan obrolan yang semakin tidak jelas yang entah keberapa dengan Dirga, cewek itu harus tahu bagaimana hubungan mereka. Radinka tidak mau tampak bodoh.
Luna urung melahap suapan pertama ayam geprek favorit di kantin sekolahnya dan menyahut, "Nggak ada yang tahu."
"Kok gitu?"
Luna mengangkat bahu. "Dua-duanya tutup mulut. Emang sih, mereka keliatan deket. Tapi nggak pernah ada pernyataan secara terang-terangan kalo mereka jadian atau semacamnya. Apalagi itu masih SMP. Sekarang ini aja, mereka masih keliatan deket, meskipun emang nggak sedeket waktu dulu sih."
"Tapi semua orang tau 'kan, Dirga naksir Aurell?"
"Yah, sekentara itu, sih."
Radinka menghela napas. Duh, bagaimana ini? Cewek itu sudah menekankan dalam hati supaya tidak usah memikirkan soal Dirga lagi, namun rasa penasarannya jauh lebih ganas. Apalagi menyangkut Aurell; cewek yang di mata Radinka seolah sudah mempunyai segalanya. Termasuk Dirga.
"Kalo lo naksir, naksir aja, nggak perlu lihat hubungan mereka dulu kayak gimana. Nggak semua hal harus lo ketahui, Rad."
"Gua pengin tau aja apa yang Dirga suka dari Aurell."
Di luar dugaan, Luna tertawa. "Lucu deh lo. Logikanya, dengan melihat foto-foto Aurell aja, banyak cowok di luar sana yang bakal langsung suka. Apalagi Dirga yang tiap hari ketemu."
Astaga, Luna. Radinka menahan umpatan dalam hati.
"Ngeselin lo, Lun."
Luna makin ngakak. Ketika tawanya pudar, ia berkata, "Selain dari apa yang udah keliatan, gua nggak bisa komentar apa-apa. Soalnya gua nggak deket sama si Aurell, jadi nggak bisa ngomong sembarangan."
"Tapi Dirga bukan tipe cowok yang liat fisiknya aja kan, ya?"
Luna bergumam samar, kemudian tatapan cewek itu mengikuti sebuah sosok yang baru memasuki kantin. "Tanya aja sama orangnya sendiri. Tuh." Radinka pun mengikuti arah pandang Luna. Dan sumpah, Radinka mau-mau saja menawarkan diri buat membotaki Luna ketika cewek itu berseru, "Dirga! Sini, sini! Radinka mau nanya sesuatu!"
.
──── ∗ ⋅◈⋅ ∗ ────
KAMU SEDANG MEMBACA
imperfections are okay
Short StoryDi dunia ini, tidak ada yang sempurna, mereka hanya berusaha tidak memperlihatkan cela. © 2020 all rights reserved by fluoresens and radarneptunus.