chapter seventeen

497 152 9
                                    

"Rad, Dirga, tuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Rad, Dirga, tuh."

Radinka mengikuti arah pandang Luna. Dirga memasuki kantin dan Radinka hanya bisa menatapnya sedih. Sudah lama mereka tidak bersua. Perihal rasa sukanya pada cowok itu, tentu saja masih ada, terlepas dari apa yang telah terjadi. Tapi bedanya, sekarang Radinka sangsi untuk mendekati Dirga karena ... Radinka rasa Dirga akan kecewa sekali apabila mengetahui seperti apa dirinya selama ini. Nihilnya interaksi mereka jujur membuat Radinka lega; dia tidak harus berlagak suci.

"Nggak lo samperin tuh?" tanya Luna setelah mereka melihat Dirga yang duduk di meja panjang kantin dengan gelas berisi teh dan mi instan yang ada di hadapannya.

"Ng ... nggak ah, ngapain?"

Sekarang Luna yang menatap Radinka heran. Setelah kenyataan bahwa Radinka sudah tersadar akan perilakunya yang membuat Luna pusing, Luna tahu ada sesuatu yang masih Radinka sembunyikan. Masa iya rasa sukanya hilang bersama pikiran yang toxic itu? Sejauh ini Luna cuma bisa menebak-nebak karena Radinka selalu mengelak ketika ditanya.

"Rad, gua capek nunggu, deh. Lo kapan mau cerita? Kenapa lo jadi tiba-tiba berhenti ngurusin Dirga? Gua kira lo bucin sama doi?"

Radinka mengamati penampilan Dirga yang sangat tidak oke. Cowok itu terlihat lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu, rambutnya sudah kelewat panjang untuk ukuran anak sekolahan. Ah, pokoknya, Dirga sama sekali tidak terlihat seperti anak SMA pada umumnya.

"Ngeliatinnya biasa aja, Mbak, nggak usah sampe mupeng juga kali. Udah nggak karuan juga si Dirga-nya," ujar Luna, membuyarkan observasi Radinka pada Dirga yang menyeruput habis es tehnya.

"Please, deh, Lun."

"Makanya jawab pertanyaan gue. Capek digantungin nih gua."

"Masa lo nggak ngerti sih, Lun? Setelah apa yang gua lakuin, semua itu berhubungan sama Dirga, lo kira ketika gua udah sadar gua bego, gua bisa ngadepin Dirga kayak biasanya?"

Luna diam sebentar. "Masuk akal, sih."

"Udah seburuk itu ya gua di otak lo."

"Terus, menurut lo, ini yang terbaik? Lo jauh-jauhan sama dia?"

Radinka mengangkat bahu. "Lagian, gua sama dia juga nggak deket-deket banget kan sebenernya? So nothing to lose."

"Rad."

Jantung Radinka mau copot saat suara berat itu masuk ke rungunya. Dirga. Ia kira, setelah sekian lama tidak berinteraksi, perasaan Radinka pada Dirga akan berubah seiring berjalannya waktu. Tetapi, kenapa sih, jantungnya masih saja berdegup kencang?

"Rad, lo dipanggil Dirga," bisik Luna sambil menyenggol lengan Radinka, membuat dia mengaduh.

"Iya, Ga?" tanya Radinka sambil menatap Dirga yang berdiri di depan mejanya.

"Nanti malem gua jemput di rumah lo, ya," ucap Dirga.

Tanpa menunggu persetujuan dari Radinka, punggung cowok itu langsung menghilang di balik pintu masuk kantin.

Radinka kehabisan kata-kata.

"Lun...."

"Apaan?"

"Yang barusan itu ... beneran Dirga, kan, ya?"

"Beneran lah anjir."

Mereka berpandangan sejenak. Kemudian Luna memundurkan badannya. "Stop natap gua kayak gitu. Gua bukan cenayang, oke? Mana gua tau kenapa dia bisa tiba-tiba kayak gitu!"

"Gua harus gimana!?"

"Hadapin, lah!"

"Tapi, Lun!"

.

──── ∗ ⋅◈⋅ ∗ ────

notes:

siap buat pisah sama mereka nggak?

imperfections are okayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang