chapter eight

594 166 21
                                    

Radinka merasakan lelah yang luar biasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Radinka merasakan lelah yang luar biasa. Terang saja, tadi malam ia begadang demi tidak mengulang ulangan ekonomi yang dilaksanakan hari ini. Ia cukup kenyang dengan berbagai nilai yang sudah terpuruk. Guna melepas penat dan kesumpekan di kelas, Radinka menggiring diri ke kamar mandi. Istirahat sedang berlangsung. Beruntung kamar mandi perempuan tidak begitu ramai.

Cewek itu menunggu bilik kosong. Lalu tak lama, pintu paling ujung terbuka. Tungkainya mendekat. Kemudian terhenti.

Ini bukan pertama kalinya Radinka bertemu Aurell. Dalam momen itu, Radinka kaget sekaligus penasaran. Aurell, cewek yang biasanya tampak tak bercela, keluar dari bilik dengan mata memerah seperti habis menangis. Wajahnya basah, Radinka menebak Aurell barusan membasuhnya. Radinka berpikir cepat. Selama ini ia belum pernah mengajak Aurell berkenalan, apalagi mengobrol.

Membulatkan tekad, Radinka pun buka suara, "Lo oke?"

Aurell menatapnya sekilas, tampak terkejut, kemudian mengangguk.

"Muka lo basah, mau tisu?"

Aurell terlihat ragu.

Radinka merogoh sakunya. Menyerahkan sebungkus mini tisu.

"Makasih, lo baik banget," kata Aurell. Cewek itu mengusap wajahnya sejenak, kemudian, "Gua duluan, ya."

Radinka memberi jalan. Ia mengikuti arah perginya Aurell, sambil bertanya-tanya dalam hati. Baru saja Radinka hendak kembali mengurusi urusannya, sosok yang dia kenal muncul menghampiri Aurell. Dirga. Cowok itu bertukar beberapa kata dengan Aurell; rautnya sungguh terganggu. Radinka menonton dalam diam.

Tatkala Dirga mengangkat pandangannya kemudian tak sengaja menangkap basah Radinka, cewek itu buru-buru membalikkan badan dan memasuki bilik kamar mandi.

Jantungnya berdebar. Namun benaknya tak berhenti bertanya: ada apa?

.

.

"Lun, tadi gue liat Aurell nangis di kamar mandi masa. Terus kayak ... nggak tau sih mereka berantem apa nggak, tapi abis dia dari kamar mandi, dia omong-omongan sama Dirga. Mereka kenapa ya kira-kira?" Radinka mencondongkan tubuhnya mendekati Luna yang sibuk membuat jurnal.

"Ih, lo deket banget, sih! Mundur, mundur!" Radinka cemberut. "Nggak tau gua," jawab Luna tanpa repot-repot melihat ke arah Radinka lagi.

Radinka menghela napas panjang sambil bertopang dagu dan mendumal, "Duh, gue beneran penasaran. Soalnya dua-duanya mukanya pada nggak enak gitu."

"Rad, daripada lo menduga-duga, sebaiknya kubur dalem-dalem tuh kekepoan lo. Bukan urusan lo juga kali. Emang lo siapanya mereka, deh?"

Radinka terenyak. Luna memang sudah biasa berkata sinis dan menohok, tetapi kali ini rasanya Radinka sedih sekaligus jengkel dengan kalimat cewek itu.

"Pengen tau doang masa salah sih, Lun?"

Luna tersenyum lelah, akhirnya mengangkat kepala dari buku jurnalnya. "Gini ya, Nona Radinka, sebenernya lo mau denger apa dari gue? Kalo mereka berantem gitu? Biar lo seneng karena punya peluang buat deketin Dirga? Lagipula, gua bukan cenayang yang tau segala macem tentang mereka."

Meski Radinka menunjukkan sikap mengelak, sebenarnya ada bagian dari dirinya yang mengiakan perkataan Luna tersebut.

"Nah, kan," Luna menghela napas.

"Terus, emangnya gue salah kalo gue pengen deket sama Dirga? Tanpa harus ada Aurell di tengah-tengah? Sementara gue tahu gue nggak akan pernah selevel sama Aurell?" tanya Radinka, dengan nada menuntut yang terdengar jelas di telinga Luna, membuat cewek itu ikut merasa kesal.

"Duh, siapa sih yang bilang lo ga selevel sama dia?"

Radinka terdiam sejenak sambil berpikir cepat sebelum menjawab, "Orang-orang."

"Ya ampun, Rad. Gue kan udah pernah bilang, kalo naksir ya naksir aja, nggak usah deh lo membanding-bandingkan diri sama masa lalu," tandas Luna tegas, "Kalo ada yang belum selesai di antara mereka, kenapa salah satu harus pergi? Please, Rad, mereka udah gede buat tahu apa yang terjadi. Dan Dirga nggak akan sebodoh itu ngelepas Aurell kalau emang mereka masih saling sayang. Dirga emang nggak ngerti matriks ataupun integral, tapi cowok itu bener-bener tau kapan harus mertahanin seseorang. Dan, kalaupun sekarang Dirga suka sama lo, ya di matanya cuma lo, nggak ada bayang-bayang Aurell. Jadi yang perlu lo pikirin adalah, sebenarnya Dirga itu gimana sama lo, bukan gimana caranya lo jadi kayak Aurell supaya Dirga tertarik."

Radinka memberengut mendengar kalimat panjang Luna yang diucapkan terlalu cepat. "Nggak segampang itu juga, kali, Lun—"

Ucapan Radinka pun terpotong oleh guru yang baru saja masuk kelas. Keduanya berpandangan sebentar sebelum Radinka melengos.

Luna berlebihan banget, nggak, sih? Kan Radinka cuma mau tahu.

.

──── ∗ ⋅◈⋅ ∗ ────

imperfections are okayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang