"Apa sih, yang ada di pikiran lo waktu nama Aurell muncul, Rad?" tanya Dirga.
Radinka panik. Sangat. Meski dia sudah mengira-ngira percakapan seperti ini akan terjadi, dia masih belum siap. Yang benar saja, tidak mungkin Radinka jujur kalau cewek itu ingin menandingi Aurell agar bisa mendapatkan perhatian dari Dirga, kan? Lagi pula Aurell sepertinya merupakan topik sensitif bagi Dirga dan gosipan yang menyenangkan bagi anak-anak lain. Dengan perasaan yang tak menentu dan suara yang terdengar sedikit serak, Randika menjawab, "Mm ... cewek idaman? Sempurna? Gue yakin banyak yang iri sama dia, Ga. Sesempurna itu loh. Cantik, supel, jago ngomong bahasa inggris. Ya, gitulah, sampe nggak bisa disebutin lah pokoknya."
"Lo kenal sama Aurell?" Radinka menggeleng, Dirga mengangguk maklum. "I guess, thats how it works. Orang-orang akan selalu melihat yang ditampilin aja, kan, tanpa mempertimbangkan apa yang ada di balik itu semua? Terus ketika mereka udah liat jeleknya, mereka langsung menyayangkan, seolah-olah dia hidup buat nyenengin mereka aja."
Radinka terdiam, tidak tahu harus membalas apa. Yang dia tahu, entah mengapa perkataan Dirga membuat Radinka merasa terpojokkan. Sumpah, Radinka tidak menyangka kalau Dirga bisa seserius ini dalam membahas sesuatu selain basket, dan sayangnya, sesuatu itu Aurell.
"Aurell punya banyak temen, tapi gua sendiri bingung, definisi temen itu kayak gimana karena kenyataan yang gua saksikan beda sama yang gua pikirkan. Apa temen itu kayak gua sama lo? Atau lo sama Luna?"
Radinka menelan ludah. "Eh ... bagi gua ... temen itu adalah mereka yang tau segalanya tentang gua, baik maupun buruk, dan memutuskan buat nggak ninggalin gua, mungkin itu yang bisa gua panggil temen," ucap Radinka akhirnya setelah keheningan menyembul di antara mereka berdua. "Dan Luna, of course yes. Dia tau banget gimana gua luar dalem."
"Apa buat dapet orang kayak Luna di hidup lo, lo perlu jadi kayak Aurell?"
Apa?
"Mak-maksudnya, Ga?"
"Gua yakin, Luna nggak perlu ngeliat lo yang harus ngehits lah, cantik lah, jago ini itu lah, buat berteman sama lo, ya kan? Gua tau Luna orangnya tulus. Dan orang kayak Luna itu mungkin cuma satu dibanding seribu, Rad."
Luna nggak mungkin kayak gitu karena dia ... bukan gua.
Ucapan Dirga barusan menyentilnya; bukankah Radinka bersikeras untuk menyamai Aurell demi mendapatkan Dirga? Lalu, apakah dengan begitu perasaan Radinka tidak tulus?
"Sori, gua malah cerita ke mana-mana," ujar Dirga pelan.
Mata Radinka sempat hilang fokus, dia kemudian tersenyum hambar. "Nggak papa, Ga."
Apa iya selama ini Radinka menyukai Dirga apa adanya?
"Gua cuma nggak tau lagi harus cerita ke siapa dan lo ... gua percaya sama lo, Rad. Luna nggak mungkin bertahan di sisi lo kalo lo bukan orang baik. Seperti gua ke Aurell; gua sayang dia. Banget. Sampe liat dia kayak gini, gua nggak bisa."
Rasa sakit itu ada. Kecewa, mungkin? Namun, Radinka lebih merasa malu daripada patah hati. Sebab nyatanya: bukankah selama ini Radinka sibuk menjadi orang lain untuk mendapatkan sesuatu? Padahal, Luna adalah bukti bahwa Radinka cukup saja menjadi dirinya sendiri untuk mendapatkan teman sebaik cewek itu. Dan Dirga ... pernyataan cowok itu yang mengatakan bahwa dia tidak sekadar melihat tampang orang saja ternyata memang benar adanya. Kehidupan Aurell tidak sempurna, tapi Dirga bertahan di sampingnya.
Astaga, Rad, lo bego banget, sih?
"Aurell udah kayak adek gua sendiri. Lo mungkin pernah denger gua pernah kehilangan adek gua? Gua nggak mau hal itu terjadi sama Aurell. Gua nggak mau kehilangan sosok seorang adek buat kedua kalinya. Liat Aurell sehancur ini, terutama karena perkataan orang-orang ke dia ... dia emang masih ada, but she's dead inside, Rad," ujar Dirga lagi saat mengetahui bahwa tidak ada respons dari Radinka. "I used to love her as a lover. Tapi ternyata, kedudukan gua bagi dia nggak lebih dari sosok saudara, tempat cerita, terserahlah dia menganggap gua apalagi. But, I'm glad. Ternyata, buat gua pun, dia cuma sebatas sosok orang yang dikirim Tuhan supaya gua lebih bisa jagain orang lain."
Dengan penjelasan yang tanpa Radinka tanya itu pun, rasa penasaran Radinka sebenarnya sudah hangus dari menit-menit yang lalu--semenjak Dirga tiada henti menamparnya dengan kata-kata.
Luna benar.
Radinka-lah yang selama ini naif dan membutakan diri dari realita: semua orang tidak ada yang sempurna, mereka cuma berusaha tidak memperlihatkan cela.
.
──── ∗ ⋅◈⋅ ∗ ────
KAMU SEDANG MEMBACA
imperfections are okay
Short StoryDi dunia ini, tidak ada yang sempurna, mereka hanya berusaha tidak memperlihatkan cela. © 2020 all rights reserved by fluoresens and radarneptunus.