chapter eleven

525 166 11
                                    

"Ngapain foto-foto lama lo apusin?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ngapain foto-foto lama lo apusin?"

Radinka mengangkat kepalanya. Menatap Luna yang baru saja duduk di hadapannya.

"Mau ngerapihin aja," jawab Radinka cuek, lalu kembali menghapus foto-fotonya di Instagram.

Luna mengangguk, menyeruput es teh yang baru saja diantar oleh Bu Sri. "Mau ngerapihin itu sama dengan mau nge-feeds?"

Luna baru sadar. Kalau Radinka main feeds, kerjaannya sebagai tukang foto akan semakin sulit. Cewek itu memutar bola mata sebagai respons dari anggukan Radinka.

"Gua cocok nggak, ya, Lun, pake rambut panjang?" tanya Radinka sambil menyisir rambutnya dengan jemarinya.

Luna semakin mengernyitkan dahi. "Bukannya lo hobi potong rambut?"

Radinka mengibaskan tangannya. "Cocok nggak?"

"Ya... cocok aja sih."

Keramaian kantin membuat Radinka lega karena tak harus membangun percakapan. Dia masih memelototi foto-foto Instagram Aurell. Rambut panjang, outfit yang oke, senyum yang tampak benar-benar menawan. Ah. Radinka menutup aplikasi Instagram-nya secepat mungkin untuk menjaga kewarasannya.

Radinka tak bisa naif. Dia ingin menyamai, atau lebih baik—yang mana sepertinya tak mungkin—daripada Aurell. Dia ingin... Dirga melihatnya.

Oh, omong-omong soal Dirga, Radinka belum tahu siapa yang cowok itu maksud. Selain karena tiba-tiba telepon Dirga berdering dan memaksa cowok itu untuk pergi dengan cepat, Radinka juga belum siap mendengar siapa perempuan yang sebegitu istimewanya.

"Helloooo? Back to earth, babe."

Radinka menatap Luna yang sekarang menatapnya juga. Radinka tidak sadar kalau sedari tadi Luna memperhatikannya. Dari bermain ponsel, melamun, hingga membuat raut resah. "Apa?" sahut Radinka.

"Lo kenapa, sih?"

"Kenapa apanya?"

"Ini pasti tentang Dirga sama Aurell lagi, kan?" todong Luna. "Lo nggak bisa gini terus, Rad."

Radinka mengangkat alisnya. "Maksud lo?"

"Oh, ayolah, gua kira, lo nggak akan senaif ini. Radinka, just be yourself."

Radinka menelan ludah kasar. Kenapa, ya, dia bisa betah berteman dengan Luna? Atau justru, kenapa Luna yang bisa betah berteman dengan Radinka?

"Be yourself? Hah. Lo yang jangan naif, Lun."

Luna tertawa kering. "Gua naif di mananya, Rad? Kalau gua... yang kayak gini naif, lo apa?"

Radinka mengembuskan napas kasar. Cewek itu memainkan jarinya di atas meja, malas melihat Luna.

"Kalo misalnya dengan menjadi orang lain, lalu lo mendapatkan apa yang lo mau, terus apa lo bahagia? Apa lo bahagia di saat lo harus berusaha sekeras mungkin melakukan sesuatu yang nggak lo suka demi membahagiakan orang itu? Rad, gua tahu lo sebenarnya nggak suka bersikap yang bukan elo. Apa sih yang lo lihat dari mereka? Kesempurnaan? Lo kan nggak tahu apakah mereka faking atau nggak, so buat apa lo mempercayai itu semua?"

"Lo nggak ngerti apa yang lo omongin, Lun."

Luna memejamkan mata. "Rad, lo baru bisa mencintai orang lain, kalo lo udah mencintai diri lo sendiri. Start from yourself. Baru lo masuk ke hidup orang lain. Kalo emang Dirga tujuan lo, gue yakin dia nggak bakal melirik lo sama sekali kalo lo terus kayak gini."

Kalimat itu, entah mengapa, seperti menonjok Radinka telak.

.

──── ∗ ⋅◈⋅ ∗ ────

imperfections are okayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang