chapter three

994 209 5
                                    

"Ini bagus sih, cuma kenapa kok pipi gua keliatan gendut, ya?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ini bagus sih, cuma kenapa kok pipi gua keliatan gendut, ya?"

Luna memutar bola mata. Dia sudah menjepret sekitar sepuluh atau lima belas foto. Ini sudah kesembilan kalinya Radinka bertanya dan memprotes soal pose atau pun ekspresinya.

Here's the thing, hampir seluruh perempuan, sekurus apapun dia, akan selalu merasa gendut, yang mana membuat orang yang memang overweight semakin merasa insecure dengan tubuhnya. Dan hal ini terjadi pada Radinka. Cewek itu mempunyai tinggi 167 senti, berat badan 53 kilogram, kulit sawo matang, rambut sebahu yang tampak jatuh. Ditambah sepatu converse hitam dan kaos oversized berwarna oranye yang dipadukan dengan boyfriend jeans-nya, Radinka merupakan cewek yang benar-benar tidak kalah cantik dengan Aurell, Kezia, dan cewek-cewek putih, berbadan ideal, dan lain-lain yang dilihat Radinka.

"Eh, eh, ini oke. Muka gua oke, background-nya juga oke sih. Cuma cahayanya jelek. Ah, bisa diedit," cerocos Radinka, lebih seperti berbicara sendiri sehingga Luna tak perlu repot-repot menyuarakan pendapatnya. Cewek itu akhirnya lebih fokus pada es krim dan video musik Mi Gente yang dipasang di televisi kafe itu.

"Udah! Jangan lupa lo like, ya!" ucap Radinka semangat sambil menunjukkan layar ponselnya.

Luna mengangguk sekilas. Lumayan cepat juga kali ini Radinka mengedit. Bagus, semoga kedepannya juga semakin cepat lagi. Kalau perlu, tidak perlu diedit sekalian.

Radinka memasang senyum lebar. Dia yakin kalau itu foto terbaik dari lusinan foto yang dijepret Luna. Tetapi, sudah lima belas menit berlalu. Tidak ada getaran-getaran berarti dari ponselnya. Sekali lagi, Radinka mengecek notifikasi. Memang benar-benar tidak ada notifikasi yang masuk. Kenapa malah sepi komentar begini?

Yah, jangan menatap Radinka seperti itu. Kalian pasti juga pernah merasakan apa yang dirasakan oleh Radinka.

Luna memperhatikan gerak-gerik Radinka yang semakin lama semakin aneh sejak memasuki SMA. Cewek itu mendadak memperhatikan penampilan, tinggi dan berat badan, media sosial, dan hal-hal yang sebenarnya wajar kalau hanya sekilas dilihat, tetapi semakin lama, semakin Luna menyadari kalau semua perubahan ini bukan karena Radinka ingin.

"Es krim lo leleh tuh," tegur Luna, mengembuskan napas perlahan. Semua orang pasti pernah ada di posisi Radinka, Luna hanya tidak mengerti bagaimana harus menghadapi situasi seperti ini, dan berapa lama kira-kira situasi seperti ini berlangsung.

Radinka mengerjap, menatap Luna yang sedang menikmati es krimnya sambil menonton video musik yang disuguhkan melalui layar televisi. Tampak santai dan tidak peduli sama sekali. Dibandingkan Radinka, Luna bahkan baru memiliki seratus—atau dua ratus?—pengikut di Instagram. Fotonya juga selalu sepi komentar. Luna tidak pernah kerepotan kalau ingin mengunggah sesuatu. Dan dari itu semua, Luna tetap bisa menjalani hidup sedemikian rupa.

"Lo bukannya udah selesai ngedit?" tanya Luna basa-basi ketika sekali lagi Radinka hanyut dalam ponselnya.

Radinka mengangguk, menyendok es krim vanila yang ia pesan tanpa antusias. Radinka merasa harus menjadikan segala imaji yang ia tampilkan tampak sempurna--sangat kontras dengan Luna.

Geregetan, akhirnya Luna langsung menuju ke poin pertanyaannya, "Nungguin apa sih dari hp?"

Radinka akhirnya menjejalkan ponselnya ke dalam tas, berharap nanti, saat ia mengeceknya lagi, sudah ada komentar yang muncul.

Yah, semoga saja.

.

──── ∗ ⋅◈⋅ ∗ ────

imperfections are okayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang