"Dirga?"
Cowok yang duduk sendiri ditemani gelas karton berisi kopi itu mengangkat wajah. Rokok di antara jemarinya ia matikan dengan menekannya pada asbak. "Lo, Rad?" sapanya balik kasual.
"Sendirian lo?" Radinka mengedarkan pandangan, siapa tahu menemukan teman sesekolah mereka—atau, Aurell, mungkin.
Starbucks sedang sepi-sepinya. Radinka kebetulan berada di mal untuk bertemu teman masa kecil, lalu ketika urusan mereka usai, cewek itu memutuskan bersantai-santai di kedai kopi itu. Dirinya baru menginjakkan kaki pada beranda saat netranya menemukan Dirga. Seorang diri.
"Iya, nih. Lo juga sendirian?"
"Tadi gua bareng temen, cuma dianya pulang duluan." Radinka melirik sekilas rokok pada asbak; baru tahu Dirga bisa merokok.
"Ya udah, sini, join gua aja," ajak Dirga nyengir.
Radinka berpikir cepat. Terima nggak ya?
"Nggak usah takut ganggu, gua emang lagi pengin sendiri tadi, tapi begitu liat lo, jadi mau ditemenin."
Oke, apa maksudnya kalimat itu?
"Ya udah, gua pesen dulu."
Radinka memasuki ruang dalam kedai, langsung menuju kasir dan menyebutkan pesanannya. Selagi kasir memproses transaksi, Radinka tidak berhenti menebak-nebak. Ia baru tahu Dirga merokok setelah selama ini ia pikir cowok itu sangat jauh dari benda tersebut. Ah, iya juga, Radinka 'kan tidak begitu mengenal Dirga. Tapi, bisa saja Dirga hanya merokok di saat-saat tertentu, bukan? Seperti, ketika tengah ada masalah? Selain memang teradiksi, perokok kategori seperti itu juga banyak, tampaknya.
Kalau Dirga sedang ada masalah, kira-kira apa ya masalahnya? Radinka jadi kepo. Ah, masa ... Aurell? Mau tidak mau, Radinka mengingat Aurell yang menangis tempo hari.
Cewek itu menunggu pesanannya di meja dekat kasir. Menilik pelanggan yang tidak banyak, pesanannya pasti cepat jadi. Tak lama, ia pun keluar dari ruang berpendingin tersebut, menghampiri Dirga yang tengah menyibukkan diri dengan ponsel.
Mereka duduk berhadapan. Tidak ada yang berbicara. Radinka berkali-kali menyedot minumannya dan mengembalikannya ke meja. Kok diem-dieman, sih?!
Radinka tidak tahan dengan atmosfer yang hening, jadi dia memutuskan untuk memulai konversasi. "Lo ... lagi ada masalah, Ga?" tanyanya hati-hati.
Dirga mempertemukan mata mereka sejemang. Kemudian tersenyum miring. "Lo cukup peka, ya, Rad."
Radinka tertawa pendek. "Nggak juga. Gua nebak aja. Jadi, bener?"
"Hm, nggak salah, tapi nggak sepenuhnya bener juga. Bingungin, kan?" Dirga meraih gelas kopinya. Mencuri beberapa tegukan. "Frankly speaking, bukan gua yang lagi mengalami masalah tersebut. Tapi temen."
Radinka memperhatikan Dirga, dari raut sampai bagaimana cowok itu mengempit bibir saat menghela napas. "Dan dari yang gua liat, kalo lo aja sampe kepikiran begini, teman lo itu pasti berarti banget buat lo?"
"Bingo."
"Terus, kenapa? Lo nggak bisa bantu dia apa gimana?"
Dirga tahu-tahu terkekeh kecil. "Lo cenayang atau apa, sih? Pertanyaan lo tuh tepat banget daritadi, tau nggak?" Radinka melebarkan kedua mata sebelum ikut terkekeh. "Ya, lo bener. Gua nggak bisa bantu dia, karena masalah yang lagi dia hadapi itu sama sekali berada di luar kuasa gua."
Radinka menopang dagu, mengangguk kecil. Sedikitnya ia paham, karena dirinya juga setidaknya pernah mengalami situasi semacam itu.
Dirga menatap kosong udara. "It feels bad to not be able to help when she's slowly breaking down to pieces."
Radinka yang sedang menyedot frappuccino-nya menjadi kaku.
She?
.
──── ∗ ⋅◈⋅ ∗ ────
notes:
wow udah chapter 10, mau tau dong gimana menurut kalian sama cerita ini? penasaran ga? seru ga? komen yuk, gabut ni gara-gara sosyel distancing :(
mulai chap 11 updatenya dua hari sekali ya ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
imperfections are okay
Short StoryDi dunia ini, tidak ada yang sempurna, mereka hanya berusaha tidak memperlihatkan cela. © 2020 all rights reserved by fluoresens and radarneptunus.