semaki(N) salah

104 15 3
                                    

Hari ini satu Universitas berkabung. Mereka baru saja kehilangan salah satu dosen senior terbaik yang pernah mereka miliki.

Alita bersalaman dengan keluarga yang masih menangis saat bercerita tentang ayah mereka sambil terus menyisipkan kata "Maafin Bapak kalau ada salahnya." Di setiap akhir cerita yang mereka katakan.

"Ngga nyangka, saya kaget waktu denger beritanya." Kata Pak Roy, sesama dosen di Universitas.

"Semalam masih WhatsApp saya minta dibelikan jeruk di dekat stasiun." Lanjutnya.

Alita masih berusaha mendengar semua cerita-cerita tentang Almarhum tapi kepalanya tidak mendukung.

Setelah kedatangan Natasha, Arka, dan Naraya, dia harus menyelesaikan soal-soal untuk quiz hingga pukul 2 pagi. Dan saat baru saja tertidur beberapa jam dan ponsel Alita berbunyi tanpa henti, 5 panggilan tak terjawab dari Ibu Chintya, dan satu pesan yang mengabarkan soal berita duka. Dan Alita segera bergegas menuju rumah duka dibilangan Senayan.

Dan seperti inilah kondisinya sekarang, sakit kepala yang tidak tertahan, dan perut terasa perih karna dia memiliki riwayat sakit maag akut yang tak boleh melewatkan waktu makan sedikit pun.

"Bu, punya obat sakit kepala?" Tanya Alita pelan pada Bu Chintya.

"Astaga, Ibu pucet banget. Sakit?"

"Cuma sakit kepala aja."

"Aduh saya ngga bawa obat-obatan. Minum aja dulu, bu." Bu Chintya menyodorkan air mineral kemasan dan langsung saja Alita terima. Mungkin saja bisa menahan rasa perih pada perutnya.

"Bu Alita ngga enak badan? Aduh nanti Ibu bisa pulang ke Bogor sendirian?" Kini Pak Roy ikut berkomentar. Alita tidak suka menjadi pusat perhatian.

"Cuma sakit kepala aja, bukan sakit yang..." Sebelum ucapannya selesai, rasa sakit kepala dan sakit pada perutnya semakin hebat. Lalu kemudian semuanya gelap.

******

Alita membuka matanya perlahan lalu kemudian mengernyit, sorot lampu ruangan menusuk tepat dimanik matanya.

Setelah memeriksa lengan kirinya yang terasa nyeri, tebakan Alita benar. Selang infus sudah terpasang dipunggung tangannya. Sudah bukan hal yang mengejutkan.

"Punya riwayat maag akut tapi nekad ngga makan itu luar biasa loh." Suaranya tidak asing. Setelah menoleh, Alita mendapati Naraya dengan jas dokternya sedang tersenyum.

"Mas Naraya?"

"Pain tolerance kamu tinggi juga ya."

"Itu pujian? Makasih." Kata Alita dengan suara seraknya.

"Temen-temen kamu baru aja pamit, mereka harus ke kampus katanya. Kamu dosen ya? Keren banget loh."

Alita sudah mendengar dia dipuji karna pekerjaannya ini, tapi entah mengapa rasa bangga setiap mendengar pujian itu tidak pernah berkurang walau dia selalu mendengarnya.

"Ini dimana ya?"

Alita berusaha menarik tasnya yang tergeletak diatas nakas, tapi kemudian infusnya ikut tertarik dan darah mencuat dari tangannya.

"Ta. Ya ampun, minta tolong aja kalo mau ngambil sesuatu." Naraya dengan sigap memeriksa jarum infusnya dan memanggil suster untuk membersihkan darah yang masuk kedalam selang.

"Sorry." Alita menunduk tak mau melihat lengannya yang bersimbah darah. Dia benci warna merah dan bau darah.

Suster lainnya menyibak tirai tempat Alita dirawat dan berkata, "Dok, ada yang baru masuk."

AgrapanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang