Apa yang sedang dialaminya terasa tidak nyata, tapi Kencana berharap dia salah. Ini terlalu berkesan untuk sekedar terlewat begitu saja.
'Coba berdiri,' kata Senja. Pemuda itu menjulurkan tangannya.
Kencana menyambut uluran tangan itu. Jari-jarinya yang utuh menyentuh telapak tangan Senja yang agak kasar khas lelaki, tetapi kuat. Jari-jariku lengkap... Kencana terperangah. Dia melongok dan menemukan kedua kakinya sudah muncul kembali, masing-masing dengan lima jari.
'Ayo...' Senja menyemangati. 'Kamu nggak akan jatuh...'
Suara Senja terdengar bening dan jelas. Kencana menyelipkan poninya yang tertiup angin ke belakang telinga dan disadarinya bahwa kedua telinganya telah kembali. Optimisme yang kuat bercampur dengan rasa syukur memenuhi setiap pembuluh darah Kencana. Dia menjejak tanah. Lututnya terasa mantap, tidak goyah. Didorongnya tubuhnya untuk berdiri – tubuhnya yang lengkap dan sempurna, lalu melangkah mendekati Senja.
'Aku...' Lidah Kencana memeriksa gigi-giginya. Tidak ada yang hilang. 'Sudah sembuh!'
Senja tersenyum. Senyumnya yang jenaka itu. 'Iya. Kamu sudah sembuh!'
Senja membuka tangannya dan Kencana memeluk pemuda itu. Kau nyata, bukan sekedar khayalanku. Kau sudah membantuku. Kau membelaku saat orang-orang menyakitiku... Tubuh Senja berbeda dengan tubuhnya sendiri – torso pemuda itu seperti dipahat dari kayu; tegap, kokoh, namun nyaman. Mirip seperti dada Radi yang mendekap Kencana saat menaikkannya ke kursi roda, tetapi lebih hangat. Kehangatan itu menyebar dari dada Senja dan menjalari tubuh Kencana, seperti air hangat. Kencana tertawa dalam pelukan Senja, dan pemuda itu juga tertawa. Rasanya dia mau memberikan apa saja saat ini untuk tetap bersama Senja.
'Omong-omong...' Senja melepaskan pelukan itu sejenak. 'Aku belum tahu namamu.'
'Namaku Kencana...' Kehangatan itu mengisi diri Kencana penuh-penuh hingga dia merasa meluap. Sebutir air mata bahagia jatuh dari mata kirinya. 'Namamu... siapa?'
'Namaku...' Senja mendekatkan wajahnya. Iris matanya yang cokelat muda melebar. 'Namaku...'
Dunia berpusar cepat dan berubah menjadi kegelapan yang temaram.
Senja.
Kencana mengerjapkan mata. Perlahan-lahan, dia menangkap pemandangan langit-langit kamar tidur yang sudah sangat dikenalinya.
Dia duduk. Tidak ada Senja. Kencana hanya sendirian di kamarnya.
Mimpi...
Kencana mengangkat selimut yang menutupi pahanya. Dari lutut ke bawah, tak terlihat apa-apa. Dia mengangkat tangannya. Hanya ada enam jari, bukan sepuluh.
Ternyata cuma mimpi...
Kencana mengerjap-ngerjap. Lampu tidur menyala dan menyinari kamar itu dengan cahaya kekuningan seperti madu, tetapi Kencana merasa matanya berat sekali. Dia memutar tubuh untuk menghadap cermin yang sudah didekatkan Radi di samping tempat tidurnya.
Jantungnya seperti meluncur jatuh ke dasar perutnya.
Baru kali ini Kencana betul-betul merasa ketakutan. Selama ini dia tidak merasa kesakitan, tetapi kali ini berbeda. Kesadaran bahwa dirinya sedang menderita penyakit aneh ini, menghantam benaknya seperti kereta api.
Salah satu alatnya untuk mengindra dunia sudah dilenyapkan, dan itu sama saja dengan menumpas habis hidup Kencana sendiri. Bayangannya yang terpantul di dalam cermin itu terlihat mengerikan. Tubuhnya bolong-bolong, lengannya tampak putus, jari-jarinya tidak lengkap, telinganya tinggal setengah. Tetapi yang paling menakutkan adalah tempat di mana mata kirinya seharusnya berada. Kencana meraba-raba mata kirinya, tapi yang bisa dirasakan jarinya hanyalah sebuah lubang yang tembus ke dalam tengkorak kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
6 LIVES [TAMAT]
General FictionEnam orang manusia. Enam kehidupan yang berbeda. Satu kisah yang menyatukannya. Genre: Drama, Slice of Life, Magical Realism Novel kedelapan dari Kai Elian.