Nino jadi tahu kalau ternyata Chan takut hujan.
Semula Nino mengira Chan takut petir – banyak anak kecil lain yang memang takut pada petir. Namun ternyata Chan takut pada hujan, apalagi yang berpetir dan disertai angin kencang. Anak itu tidak menjelaskan alasannya.
Walau sudah dibujuk-bujuk, Chan tetap tidak mau keluar. Akhirnya Bertha memotret Chan lewat ponsel dan melapor ke kantor polisi ditemani Sakti. Nino menunggu di tempas kos bersama Chan.
Menjelang makan siang, Bertha dan Sakti kembali.
"Nggak ada laporan anak hilang," kata Bertha.
"Kita udah ngecek di tiga polsek di sekitar sini," timpal Sakti. "Polisi juga udah menghubungi polsek-polsek terdekat. Belum ada yang melaporkan kehilangan anak."
"Tapi kita udah kasih foto Chan," kata Bertha. "Jadi untuk sekarang kita tunggu aja."
"Oke, terus si Chan gimana?" tanya Nino. "Seharusnya dia bisa tinggal dulu di tempat lain sampai ada yang mencari dia, kan? Di semacam tempat penampungan anak, begitu?"
Sakti mengusap-usap lehernya. Bertha mencebik sedih. "Sebenarnya gini, Nin... kita juga tunjukkin video Chan yang lo kirim lewat chat WhatsApp tadi malam."
"Terus?"
"Nah, para polisi itu agak skeptis karena di video itu si Chan memanggil lo dengan sebutan 'Papa'," kata Sakti. "Selain itu, dia juga kelihatan nggak takut kayak layaknya anak hilang."
"Para polisi itu mengira kita nggak serius," kata Bertha. "Apalagi Channya nggak dibawa."
"Kalian nggak bilang kalau anak itu takut hujan?"
"Udah, kok..." kata Sakti membela diri. "Tapi..."
Sakti dan Bertha tidak mengatakan apa-apa lagi. Mereka hanya menghembuskan napas dengan pasrah. Mendengar itu, harapan Nino pupus.
Mereka bertiga melirik Chan. Anak itu sedang menonton televisi di ruang makan sambil minum jus kotak. Mbak Ina sedang ke pasar jadi aman bagi Chan untuk berkeliaran di luar kamar.
"Dia jelas-jelas nggak bisa tinggal di sini," kata Nino setelah mereka terdiam beberapa saat. "Gue bisa diusir. Lagipula, gue nggak tahu bagaimana caranya merawat anak kecil..."
"Soal itu, lo tenang aja!" Bertha mengangkat sebuah kantong kain yang menggembung. "Ini, sebelum kemari, gue mampir ke rumah dan mengambil beberapa baju bekas milik keponakan gue. Untuk sementara, Chan bisa pakai ini..."
Ada beberapa potong baju anak perempuan yang lucu-lucu di dalam kantong itu. Sakti dan Nino kenal pada Amel, keponakan perempuan Bertha yang menggemaskan.
"Tapi..." Sakti memungut sepotong celana panjang warna merah muda. "Chan itu cewek apa cowok?"
Nino sendiri sampai tidak kepikiran. "Umm... gue nggak tahu."
"Ya udah. Begini aja, Nin..." Bertha memotong dengan nada menyimpulkan. "Sekarang lo mandiin Chan. Habis itu kita pergi makan siang di luar sambil memikirkan tindakan selanjutnya. Gimana?"
Nino menelan ludah dan mengangguk.
...
Ternyata Chan seorang anak laki-laki. Nino langsung lega, karena kalau Chan ternyata anak perempuan, Nino khawatir dia bisa dituduh yang aneh-aneh. Pedofil dan sejenisnya.
Sehabis mandi, Bertha memilihkan baju yang paling netral – sebuah kaos biru langit dan celana pendek dan memakaikannya pada Chan. Setelah semuanya selesai, Bertha mengusulkan untuk pergi ke swalayan dekat tempat kos Nino. Kebetulan Sakti bawa mobil, jadi Nino bisa sekalian pergi belanja mingguan.
KAMU SEDANG MEMBACA
6 LIVES [TAMAT]
General FictionEnam orang manusia. Enam kehidupan yang berbeda. Satu kisah yang menyatukannya. Genre: Drama, Slice of Life, Magical Realism Novel kedelapan dari Kai Elian.