Nino kaget setengah mati dan mencoba melepaskan anak kecil itu. Tetapi anak itu memeluknya erat-erat, kepalanya yang kecil dan berambut tebal terbenam di perut Nino.
"Ka-kamu siapa?"
Anak itu mendongak dan sumringah lebar-lebar, memamerkan deretan gigi yang bolong satu. "Chan!"
"Chan?"
Dia mengangguk kuat-kuat dan memeluk Nino lagi.
"Umm... Chan..." Macam-macam pertanyaan menyeruak dalam benak Nino sampai dia kebingungan yang mana yang mau dia tanyakan lebih dulu. "Dari mana? Kok bisa ada di balkon?"
"Chan naik roket!"
"Ro-roket?"
Dia mengangguk lagi. Meski tubuhnya kecil, tetapi pelukannya kuat dan hangat. Nino merasa seperti memeluk matahari mini.
Nino memutuskan untuk mengganti pertanyaannya. "Naik roket dari mana, Chan?"
Chan melonggarkan pelukannya sebentar, tapi jari-jarinya yang mungil masih meremas kaos Nino. Dia menunjuk langit yang masih menggelontorkan hujan tak tanggung-tanggung.
"Dari rumah sebelah?"
Chan menggeleng. Dia menaikkan tangannya lagi, menunjuk tepat ke awan hitam.
"Umm..." Yang ditunjuk Chan adalah langit. "Dari... Tiang listrik?"
Chan menggeleng, pipinya yang gembil bergetar menggemaskan. "Bukan. Papa salah! Chan naik roket. Chan dari langit!"
"Dari langit?"
Anak menarik kaos Nino, memintanya lebih mendekat. "Chan lapar, Pa!"
Karena takut tersiram tempias hujan, Nino mengajak Chan masuk. Anak kecil itu langsung nyelonong dan duduk di tepi kasur Nino. Dia menatap seisi kamar kos itu, matanya membesar seperti kelereng.
Nino mencubit pipinya sendiri untuk memastikan ini bukan kelanjutan mimpinya. Ada anak kecil yang entah bagaimana caranya memanjat naik ke balkonku! "Chan mau... umm... ngapain ke sini?"
Chan menatap Nino, kepalanya miring sedikit. "Chan mau ketemu Papa!"
Papa? Nino terbahak. "Tapi aku bukan papa kamu. Aku Nino..."
"Chan mau ketemu Papa Nino!"
Oke. Ini nggak lucu. Seketika Nino paham apa yang terjadi. "Siapa yang naikkin Chan ke balkon? Om Calvin apa Om Bambang? Hayo, mereka pasti ngumpet di bawah, kan?"
Alis Chan mengernyit. Tampaknya dia akan merengek sebentar lagi. "Chan nggak kenal mereka. Chan bilang Chan naik roket. Dari langit. Syuuuuuuuut... sampai deh di rumah Papa Nino."
Nino menutup wajahnya dengan tahan. "Jangan panggil aku Papa Nino."
"Kalau begitu papa aja!" Chan duduk di tepi kasur sambil menggoyang-goyangkan kakinya. "Chan lapar..."
"Oh, iya... Tunggu sebentar." Nino mengambil kaleng biskuit dari rak dan menyodorkannya pada Chan. Anak itu menerima kaleng itu dengan kegirangan. Dia membuka tutupnya dan meraup kue di dalamnya, dua sekaligus.
Nino mengamati Chan makan. Dia mencubit dirinya lagi. Sakit. Berarti ini nyata. Rasanya Calvin dan Bambang tidak akan membuat lelucon seperti ini. Menaikkan anak kecil ke balkon dan menyuruhnya memanggil Nino dengan sebutan 'Papa' bukan jenis lelucon yang akan dilakukan kedua teman kos Nino itu.
Sambil makan, Chan mulai bersenandung. Itu adalah irama yang dikenal Nino, tapi butuh beberapa detik sampai dia ingat judul lagunya.
Tik, tik, tik. Bunyi hujan di atas genting. Airnya turun, tidak terkira...
KAMU SEDANG MEMBACA
6 LIVES [TAMAT]
Fiksi UmumEnam orang manusia. Enam kehidupan yang berbeda. Satu kisah yang menyatukannya. Genre: Drama, Slice of Life, Magical Realism Novel kedelapan dari Kai Elian.