Rasanya seperti terbangun di Firdaus.
Dunia telah berubah. Larangan keluar rumah itu telah resmi dicabut. Hal pertama yang orang-orang rasakan saat mereka melangkah keluar setelah setahun mengurung diri adalah udara yang segar. Langit menjadi sangat biru, seakan-akan Tuhan mengecat ulang warnanya saat kami semua mengurung diri. Pohon-pohon, tanaman rambat dan tumbuh-tumbuhan lain tumbuh subur menutupi sudut-sudut kota. Dua kali aku melihat rusa liar melintas di depan rumah. Sungai dan lautan kembali jernih, air-airnya berkilau seperti kaca. Laporan-laporan tentang alam yang direstorasi ini berdatangan dari seluruh dunia. Lubang di lapisan ozon berkurang. Hutan rimba Amazon tumbuh dengan subur. Es di kedua kutub sudah terbentuk lagi.
Sungguh ajaib melihat bagaimana Bumi memperbaiki dirinya sendiri.
Manusiapun sadar apa yang telah kami lakukan. Kamilah hama terburuk untuk Bumi, bukan virus mematikan itu. Kesadaran untuk menjaga alam meningkat drastis seiring pemahaman akan pentingnya kesehatan. Beberapa hal yang dulu kami anggap penting, kini terasa remeh. Bukan hanya dunia yang telah berubah, tetapi kami manusia juga.
Memang lebih baik seperti ini.
Aku sudah diizinkan pulang dari rumah sakit. Luka-lukaku tidak parah dan aku bisa pulih dengan cepat. Apalagi sekarang ada Radi. Atas permintaan Dokter Irfan yang merawatku dan Ruth di UGD, Radi selalu memantau keadaanku untuk memastikan aku baik-baik saja.
Kami menyemayamkan jenazah Ruth di rumahnya sebelum dimakamkan. Dua anak perempuan Ruth datang. Yang sulung adalah ibu Nino, sementara yang bungsu tidak punya anak. Barisan pekabung yang datang sangat banyak, tenda-tenda tambahan sampai harus didirikan hingga ke depan rumahku dan rumah Radi. Nino bilang dia tidak kenal sebagian besar orang-orang yang datang itu, mereka seperti tumpah entah dari mana. Melihat orang-orang itu, akhirnya aku benar-benar paham mengapa Ruth menginginkan kematian. Pada siklus yang terakhir itu, dia telah hidup selama sembilan puluh tahun. Dia bertemu banyak orang, mengenal banyak sahabat-sahabat baru, dan menerima begitu banyak cinta. Tentu sangat menyakitkan jika dia harus memulai kehidupan baru sebagai gadis delapan belas tahun, tanpa orang-orang yang menyayanginya ini.
Syukurlah sekarang Ruth sudah bebas.
Setelah urusan pemakaman Ruth selesai, anak-anaknya kembali ke rumah masing-masing, tetapi Nino tetap tinggal di rumah itu. Dalam surat wasiat Ruth, dia mewariskan rumah itu pada Nino, cucu satu-satunya. Jadi sekarang kami bertetangga.
Ratih jadi lebih sering mampir ke rumah sebelah, sementara Arumi jadi dekat dengan Radi. Beberapa kali mereka mengobrol sambil berkebun di halaman belakang. Kakakku bilang sekarang dia dan Radi bersahabat. Dia jadi lebih percaya diri setelah mengenal pria seperti Radi yang tidak menghakiminya. Aku senang karena kakakku berani membuka diri. Sekarang mungkin dia hanya bersahabat dengan Radi, tapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi nanti?
Karena Ruth tidak ada, bukan berarti kunjunganku ke rumahnya terhenti. Nino sama seperti neneknya, dia teman diskusi yang mengasyikkan. Dari cerita Ruth, awalnya aku menduga dia pemuda yang introvert, tetapi sepertinya Nino sudah berubah. Kami jadi cepat akrab, apalagi setelah aku membantunya membereskan rumah Ruth. Selain itu, ternyata Nino hanya dua tahun lebih tua dariku. Dan kami berdua sama-sama maniak buku. Kami menghabiskan dua minggu bersama-sama mengepak barang-barang yang tidak dibutuhkan untuk disumbangkan.
Sore itu aku mampir lagi ke rumah Nino. Aku melongok ke dalam. Rumah itu terasa lebih lengang setelah dibereskan. Namun beberapa barang Ruth tidak diusik, seperti cermin antik itu dan foto-fotonya tua miliknya.
"Kai!" Nino muncul dari dalam. "Kamu mau nulis lagi?"
"Iya. Boleh numpang, ya?" tanyaku. "Radi sedang menanam mawar bersama Arumi, jadi aku nggak mau menganggu mereka."
"Silakan. Anggap saja rumah sendiri."
Aku meletakkan laptop di atas meja teras dan duduk di kursi yang biasa diduduki Ruth. Nino juga bergabung denganku. Dia membawa sekotak kardus berisi barang kecil-kecil yang masih harus disortirnya. Rumah Ruth menyimpan banyak kenangan, jadi Nino hati-hati sekali menyeleksi barang mana yang harus disimpan dan mana yang layak disumbangkan.
Aku menatap layar Microsoft Word yang putih, menunggu inspirasi datang.
"Kenapa?" Nino nyengir sambil memandangiku. "Kok bengong begitu?"
"Masih belum dapat ide, nih..."
"Setelah semua cerita yang kamu dengar dari nenekku itu?" Nino memutar matanya, seakan mengatai aku payah. "Masa kamu masih bingung mau menulis apa?"
"Sebetulnya aku bukan benar-benar kehabisan ide..." Dalam hati aku menyayangkan kepergian Ruth. Sahabatku itu punya banyak kisah-kisah ajaib. "Cuma aku masih belum yakin."
Terdengar suara anak kecil yang sedang menyanyi. "Tik, tik, tik. Bunyi hujan di atas genting..."
Nino berdiri dari kursinya dan mendekati pagar. Tak berapa lama, seorang anak laki-laki lewat di depan rumah bersama ibunya. Meski sekarang cuaca cerah, anak itu memakai jas hujan warna kuning terang. Usianya mungkin sekitar tujuh tahun.
Anak itu menoleh pada Nino dan tersenyum padanya.
Nino membalas senyuman anak itu.
Tidak ada kesedihan atau rasa bersalah dalam raut wajah Nino. Yang ada hanyalah kedamaian yang utuh dan kebahagiaan yang mendalam. Saat itu aku tahu bahwa Nino juga telah menemukan akhir bahagia dari kisahnya sendiri.
Aku menarik napas panjang, membiarkan udara segar mengaliri saraf-sarafku yang tegang. Melihat Nino yang tersenyum sendiri saat anak kecil itu lewat memberiku ide. Aku teringat momen perpisahanku dengan Ruth di rumah sakit. Aku belum menceritakan soal itu pada siapapun, bahkan kakakku. Suatu hari aku akan memberitahu mereka, tetapi untuk sekarang ini biarlah hanya aku yang mengenangnya.
Kata-kata Ruth waktu itu terngiang-ngiang di kepalaku.
'Kisahmu baru dimulai dan kau masih harus menuntaskannya...'
Ya, Ruth benar. Kisah Kencana, Dalu, Ruth, Nino, dan Arumi memang sudah berakhir, tapi kisahku sendiri baru akan dimulai. Kisah tentang Kai.
Dari Kencana aku belajar bahwa cinta harus diperjuangkan, meski banyak tantangan. Dalu menyadarkanku bahwa selama aku punya keluarga yang mencintaiku, itu sudah lebih cukup untuk terus melangkah maju. Ruth mengajarkanku bahwa keabadian hanyalah ilusi, yang terpenting adalah hidup di masa kini bersama mereka yang kita cintai. Melalui pengalaman Nino aku jadi tahu bahwa cinta yang tulus tidak selalu mulus, seringkali kita harus membiarkan bebas apa yang sesungguhnya tak ingin dilepas. Dan kakakku Arumi memberi contoh bahwa tidak mungkin kita mendapatkan cinta, jika kita belum bisa menerima diri kita apa adanya.
Ya, ini akan jadi kisah yang panjang dan belum tentu berakhir bahagia. Namun aku harus tetap mencoba. Kata-kata mulai terangkai dalam kepalaku, tiba-tiba aku tahu apa yang akan kutulis.
Aku kembali menghadap layar monitor, dan membiarkan jari-jariku menari di papan ketik.
Baiklah. Mari kita tulis kisah selanjutnya...
- TAMAT-
30 April 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
6 LIVES [TAMAT]
General FictionEnam orang manusia. Enam kehidupan yang berbeda. Satu kisah yang menyatukannya. Genre: Drama, Slice of Life, Magical Realism Novel kedelapan dari Kai Elian.