Sampai hari ini, hujan telah turun tanpa henti selama enam bulan di daerah Jabodetabek.
Dampaknya luar biasa. Dalam seminggu pertama, sungai-sungai mulai meluap. Kawasan-kawasan yang berada di daerah yang lebih rendah langsung tergenang. Setelah dua minggu berlalu dan hujan tidak menunjukkan tanda-tanda mereda, masyarakat kian was-was karena mereka tidak pernah melihat keanehan seperti itu. Rumah-rumah tenggelam, aktivitas perkantoran terganggu, dan longsor-longsor dadakan bermunculan. Awalnya pemerintah mengira ini hanyalah peristiwa alam biasa. Mereka mencoba mengatasinya dengan cara-cara standar, seperti membersihkan gorong-gorong, mengangkut tumpukan sampah, dan memompa air kembali ke laut.
Namun ketika hujan tak juga berhenti selewat satu bulan, semua orang tahu ini bukan sekedar kejadian alam biasa. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) tidak bisa menjelaskan anomali itu. Para ahli cuaca dari dalam dan luar negeri beradu mengajukan teori-teori dan solusi, tetapi tidak ada satupun yang berhasil.
Berbagai cara-cara ekstrem pun ditempuh, mulai dari yang masuk akal hingga mistis. Modifikasi cuaca besar-besaran diinisiasi dengan menaburkan seribu ton garam di atas langit selama dua minggu tanpa henti. Tidak ada perubahan, hujan masih terus mengguyur tiada henti. Selusin pawang hujan tersakti se-Indonesia dikumpulkan, paduan kekuatan spiritual mereka diharapkan dapat mengenyahkan hujan. Gagal total. Doa-doa bersama lintas agama dan kepercayaan dilakukan di Monas, meminta Sang Penguasa Langit mengistirahatkan hujan. Itupun tidak berhasil.
Awan-awan Cumulonimbus yang hitam itu betah menggantung di langit, telaten mencurahkan air. Intensitasnya tidak selalu sama, kadang hanya gerimis saja, tapi tak jarang juga hujan badai disertai halilintar. Namun tidak pernah sedetikpun hujan berhenti, seakan-akan langit sedang berduka karena ditinggal seseorang yang disayang.
Akhirnya pemerintah menetapkan anomali cuaca itu sebagai bencana regional.
Para warga diungsikan, karena rumah-rumah mereka tak bisa lagi ditinggali. Jalan-jalan harus ditutup karena mustahil dilewati. Ratusan kendaraan hanyut tersapu pergi. Sedangkan mereka yang memilih untuk bertahan hanya bisa berhati-hati.
...
Awan gelap yang menaungi hidup Nino juga belum menghilang. Namun dia sudah mulai membiasakan diri menghadapinya.
Prediksinya benar, orangtuanya tidak hanya memutuskan kontak dengannya, tapi juga menyetop uang jajan Nino seluruhnya. Karena tabungannya tidak banyak, Nino terpaksa mencari pekerjaan. Untuk mengimbangi kuliahnya, Nino hanya bisa mengambil kerjaan paruh-waktu.
Hanya ada satu pekerjaan yang berhasil didapatkannya, yaitu sebagai barista di gerai kopi Starbucks dekat kampus. Nino sebetulnya enggan menjadi barista, karena itu artinya dia akan berhadapan dengan banyak orang. Untuk seorang introvert seperti Nino, melayani puluhan orang setiap hari kedengaran seperti mimpi buruk. Nino tetap mengambil pekerjaan itu karena dia butuh. Di Starbucks, Nino bisa mengumpulkan sekitar dua juta rupiah sebulan kalau slot kerjanya tidak bolong. Uang segitu sebetulnya cukup untuk biaya hidup Nino sendiri saja termasuk bayar kos. Namun karena sekarang ada Chan, Nino harus betul-betul berhemat.
Ternyata mengurus seorang anak kecil tidak murah ataupun mudah. Awalnya Nino mengira Chan akan baik-baik saja selama diberi makan tiga kali sehari dan sesekali dibujuk dengan cokelat atau es krim. Tapi Bertha menegur Nino dan memintanya lebih perhatian lagi. Nino mencari-cari di internet tentang tahap tumbuh kembang anak. Dia jadi tahu kalau usia nol sampai lima atau enam tahun adalah periode emas pertumbuhan anak, di mana perlu asupan nutrisi yang cukup agar anak bisa berkembang maksimal. Jadi Nino mulai membeli susu anak-anak, daging, ikan telur, dan macam-macam vitamin untuk Chan. Sekarang mustahil bagi Nino untuk mempertahankan gaya hidup ala anak kos. Kalau dulu sudah cukup dengan makan menu warteg atau mi instan setiap hari, sekarang berbeda. Nino tidak mau terjadi apa-apa pada Chan selama orangtuanya belum muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
6 LIVES [TAMAT]
General FictionEnam orang manusia. Enam kehidupan yang berbeda. Satu kisah yang menyatukannya. Genre: Drama, Slice of Life, Magical Realism Novel kedelapan dari Kai Elian.