Ruth dan Ella menjadi sahabat karib.
Setelah mengobrol dan saling mengenal selama beberapa bulan, Ruth tahu kalau Ella juga punya mimpi-mimpi besar. Seperti Ruth, Ella juga tidak setuju tentang norma dan aturan tentang perempuan dalam masyarakat. Untuk pertama kalinya, Ruth merasa dia tidak seorang diri. Dia punya seorang teman yang seperasaan dan sepemikiran dengannya.
Untuk mengajar Ella, Ruth harus berbohong pada kedua orangtuanya. Dia berpura-pura menjadi gadis pendiam seperti yang diinginkan ibunya, yang tidak memusingkan urusan-urusan dunia dan segera pergi tidur menjelang malam. Nyatanya Ruth malah menyelinap pergi ke penginapan pelayan di belakang kedai, dan mengajari Ella.
Hal ini dilakukan Ruth karena jika ketahuan wanita pemilik kedai, Ella bisa diusir. Ella juga paham akan risiko ini. Bahkan Ruth yang berasal dari keluarga terhormat saja dikucilkan karena ingin berpendidikan, apalagi Ella.
Soal pelajaran, Ella juga ternyata sangat cemerlang. Dia cepat menangkap pelajaran dan sangat mahir berbahasa – tak perlu waktu lama bagi Ella untuk berbahasa Belanda dengan lancar. Ruth senang sekali karena ada gadis muda lain yang secerdas dirinya. Mereka sering mengobrol sampai berjam-jam, mengelilingi dunia dengan imajinasi mereka, bermodalkan peta dan kisah-kisah perjalanan para pelancong yang mampir di kedai. Bagi Ruth, mengobrol dengan Ella adalah kesempatan untuk mencurahkan pemikiran dan ide-idenya, sementara bagi Ella, Ruth adalah tempat pelarian yang aman dari kehidupannya yang keras sebagai pelayan.
Kehidupan sebagai pelayan sangat menyedihkan. Pada masa itu pelayan hanya punya satu fungsi – kalau tidak mau disebut tujuan hidup – yaitu melayani tuannya. Bahasa kasarnya adalah budak, tetapi perbudakan sudah lama dihapuskan, jadi para majikan hanya menyebut dengan istilah pelayan saja. Ruth termasuk beruntung karena ayahnya seorang guru. Pengajar seperti guru cukup dihormati di kampung itu. Sementara Ella berbeda, dia tidak mengenal orangtuanya dan dipungut oleh wanita pemilik kedai untuk bekerja sebagai pelayan. Dari warna kulit Ella yang cokelat gelap seperti kopi dan rambutnya yang ikal, Ruth menduga orangtua Ella berasal dari bagian Timur Hindia Belanda.
Malam itu, Ruth menyelinap keluar dari rumahnya dan pergi ke kedai. Dia ingin memberitahu Ella soal hasil ujian naik tingkatnya yang memuaskan. Ya, tak terasa bulan depan Ruth akan memasuki tahun ketiganya di MULO dan gadis itu tidak sabar ingin cepat-cepat lulus demi mewujudkan mimpinya.
Hari itu jalan di depan kedai sepi. Ruth melongok mencari-cari Ella, biasanya sahabatnya itu sudah setia menunggu Ruth sambil memegang lentera.
Ruth merapat ke dinding teras depan kedai. Cahaya lentera dari dalam kedai jatuh menyinari jalan di depannya, tetapi tidak cukup terang. Ruth khawatir ada yang akan memergokinya di situ jadi dia berusaha berdiri di bawah bayang-bayang.
Tiba-tiba hujan turun.
Celaka! Ruth tidak mengira hari ini akan hujan. Dia membawa payung, tetapi jalan akan berubah menjadi lumpur jika hujan deras. Kalau gaun dan sepatunya terciprat lumpur, ibu Ruth akan tahu kalau dia menyelinap keluar rumah malam-malam.
Hujan tambah deras. Ella belum muncul juga. Ruth ingin memanggil ke dalam, tetapi takut suaranya didengar oleh wanita pemilik kedai.
Dari kejauhan, terdengar suara derap kuda. Ruth mengecek jalan. Ada sebuah kereta yang akan melintas, kusirnya yang duduk di dek depan sudah basah kuyup terkena hujan.
Ketika kereta itu mendekat, mendadak salah satu kudanya meringkik dan mengangkat kakinya. Kereta itu oleng, rodanya terjerembab di kubangan lumpur dan menciprati Ruth yang berdiri di dekat jalan.
"Aduh!"
Jendela kereta terbuka dan suara seorang pria yang sangat dikenal Ruth terdengar dari dalam. "Ada apa ini, Mang Dadang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
6 LIVES [TAMAT]
General FictionEnam orang manusia. Enam kehidupan yang berbeda. Satu kisah yang menyatukannya. Genre: Drama, Slice of Life, Magical Realism Novel kedelapan dari Kai Elian.