#2

119 26 4
                                    

Hingga waktu pulang tiba aku masih berjalan sendiri menikmati suasana hari pertama sekolah di sekolah yang baru dengan lingkungan yang baru. Teman kelasku lebih dominan perempuan, dari 35 siswa, ada 25 orang perempuan, selebihnya laki-laki.

Mereka tidak ramah, cetusku dalam hati. Teman-teman dari kelasku tidak ada yang menyapaku sama sekali, satu pun cewek tidak ada. Orang pertama yang menyapaku hanya Diat. Dan hari ini, hari pertama sekolah, aku baru berbicara dengan dua orang teman baruku. Mereka baik dan ramah, tidak seperti yang lain.

Hari ini ayah berjanji untuk menjemputku sepulang sekolah, karena kantor tempat ayah bekerja juga sangat dekat dengan sekolah. Aku tidak pernah membawa handphone ke sekolah, jadi aku hanya bisa duduk di dekat kantor pos satpam sekolah sambil menunggu kedatangan ayah.

Sudah 15 menit berlalu, ayah belum juga datang menjemputku. Apa ayah tidak tahu kapan aku pulang. Tetapi, mana mungkin. Pikiran itu lalu kubuang jauh-jauh. Ayah pasti bisa melihat dari kantornya banyak anak-anak yang saling berlomba-lomba keluar dari sekolah.

“Heii bocahhhhh, belum pulang?”
Dua orang laki-laki yang sudah tidak asing dimataku tiba-tiba menghampiri lalu menyapaku.

“Iya, belum. Gue lagi nungguin ayah gue.” Jawabku.

“Hahaha, masih diantar jemput sama ayah, dasar bocah. Lo mau gak pulang bareng?” kata Diat mengajakku.

“Gak deh, bentar ayah datang terus gak liat gue, kan kasihan ayah jadi nunggu.” Jawabku menolak ajakan Diat.

“Oh, ayah lo kerja di perusahaan depan sekolah kita kan?”

“I,iya, lo tau dari mana?”

“Ayah dan ibu gue juga kerja di sana, dan baru saja ayah gue menelepon, dia nyuruh gue cepat pulang karena adek gue sendiri di rumah. Katanya, semua karyawan ada rapat penting tanpa terkecuali. Otomatis, ayah lo juga ikut rapat kan? Jadi ayah lo gak bisa menjemput lo.” Ucapnya menjelaskan dengan rinci.

“Yahhh, coba aja gue tau daritadi, gue bakalan naik angkot. Tapi, sekarang gue takut naik angkot sendiri.”

“Rumah lo di jalan Pengayoman 9, kan?” tanya Diat.

“Lah, kok lo banyak tau tentang gue sih, jangan-jangan lo sering stalker gue yah?” tanyaku kebingungan.

“Ya, enggaklah, feeling gue aja yang bilang.”

Aneh. Tidak mungkin hanya sebuah perasaan sampai tahu, di mana sekolahku, ayahku bekerja di mana, dan dia sampai tahu alamat rumahku. Aku tak lagi menggubrisnya setelah menjawab pertanyaanku.

“Lo mau gak, pulang sama Mungga, rumahnya deket sama rumah lo.” Ajak Diat mewakili Mungga.

“Woi, enak aja lu, lu kira gue tukang ojek, nganterin dia pulang.” Jawab Mungga

Sepertinya, hanya Diat yang memaksa agar Mungga mau pulang dan mengantarku. Munggaran itu pun kalau dia mau, mungkin dia terpaksa. Tak berpikir panjang, aku pun mengiyakan ajakan Diat, daripada harus menunggu ayah pulang kerja, yang bisa saja ayah pulang tengah malam.

“Rumah lo di mana, Mung?”

“Di Pengayoman 8, belakang rumah lo.” Jawabnya singkat.

Aku sebenarnya tidak terlalu banyak tahu mengenai tempat-tempat di sini. Aku baru pindah seminggu yang lalu. Untuk beradaptasi saja sangat sulit.

Tak lama setelah Mungga memasang helm, dan memberikanku helm yang satunya lagi, Mungga pun melesatkan perjalanannya menuju rumah ku untuk mengantarku terlebih dahulu. Sepanjang perjalanan, aku dan Mungga sama sekali tidak pernah membuka percakapan. Untuk batuk saja, aku masih bisa menahannya.

No One Knows (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang