Saat terbangun aku langsung melihat jam yang tertempel di dinding kamarku. Jam sekarang masih menunjukkan pukul 4.30. Aku beranjak dari tempat tidurku menuju kamar kecil di sudut kamarku. Setelah itu, aku melaksanakan kewajibanku terlebih dahulu, lalu mandi dan siap-siap ke sekolah.
Oh iya, kalau kalian bertanya kenapa aku bangun pagi sekali, sebenarnya setiap hari aku seperti ini dan mungkin sudah terbiasa bangun secepat ini.
Tepat pukul 6 aku baru selesai bersiap-siap. Dan waktuku tinggal 30 menit agar tiba di sekolah tepat waktu. Tetapi, sebelum itu aku dipanggil ibu untuk sarapan pagi.
Selesai sarapan aku kembali naik ke kamarku untuk mengambil tasku. Dan mama sudah berteriak di bawah. Di dalam hatiku aku berkata pasti ayah sudah selesai, karena mama sudah memanggilku.
Seperti biasa. Saat aku menuruni tangga, aku melihat ada anak laki-laki yang sangat tinggi, rambut tidak terlalu rapi, memakai jaket kulit berwarna hitam. Aku yang merasa penasaran, langsung menanyakan kepada mama.“Mama, dia siapa?” tanyaku.
“Loh, bukannya dia temen kamu yang nganterin kamu kemarin pulang?” jawab mama.
Astaga, aku baru sadar, dia Munggaran. Kenapa? Tanyaku. Hari ini aku dibuat penasaran dan merasa sangat aneh.
“Ohh, jadi sekarang papa udah ada yang ganti yah, hmm. Cepet banget.” Tiba-tiba ayah datang dan langsung mengejekku.
“Ih, apaan sih papa. Dia itu temanku. Dan kebetulan rumahnya di belakang rumah kita.” Jawabku menyangkal perkataan papa.
Papa hanya tersenyum tetap mengejekku dan menyuruhku menghampiri dan bergegas ke sekolah dengan Munggaran.
“Hei, kok lo ngejemput sih, kan gue gak ada bilang.” Ucapku ke Mungga
“Ya, gapapa, malas aja ke sekolah sendiri. Yuk, ke sekolah udah jam 6 lewat 15.” Jawab Munggaran
Dalam pikiranku, kenapa orang ini tiba-tiba sangat ramah. Terlebih lagi warna suara yang ia keluarkan itu membuatnya jujur. Warna hijau muda. Sangat lembut.
Dalam perjalanan ia kadang membuka percakapan namun selalu kujawab singkat, karena suara kota terlalu ribut.
“Pulang sekolah, kamu gak usah nyuruh papa kamu lagi. Kita barengan aja terus sampai tamat.” Ajak Mungga.
Mendengar hal tersebut aku tentu saja sangat kaget. Lalu, apa yang harus aku katakan ke papa. Itu yang lebih dahulu terngiang dipikiranku.
“Iya, tapi gapapa?” jawabku.
“Gapapa gimana? Aku serius.” Tambah Mungga meyakinkanku.
Aku kemudian mengiyakan perkataan Mungga. Dan sekolah sudah di depan mata. Mungga menyuruhku turun dari motor di dekat pos satpam, kemudian ia memarkir motornya.
“Tunggu di sini.”
Sebenarnya, tadi aku berniat untuk ke kelas lebih dahulu. Tapi, sebelum ia pergi ia meninggalkan kalimat yang membuatku tak bisa bergegas menuju kelas.
“Ayoo.” Ajak Mungga.
Dia tiba-tiba menyenggol tasku dan mengajakku menuju kelas. Aneh. Masih dengan kata itu.
Sesampai di kelas, kursi yang berada tepat di depanku sudah terisi. Iya, Diat sudah datang.
“Ciee, yang berangkatnya bareng.” Kata Diat mengejekku.
Tapi, aku dan Mungga tetap menghiraukan perkataan Diat tersebut. Dan kami langsung menuju kursi masing-masing. Kalau melihat ekspresi teman-teman yang lain, mereka juga merasa bingung ketika melihatku dengan Mungga berangkat ke sekolah bersamaan.
“Mung, lo kenapa ngejemput gue sih?” aku masih mencoba bertanya kepada Mungga. Karena sebenarnya otakku sedari tadi masih tidak tahu perihal kenapa Mungga mau menjemputku.
“Kenapa? Lo gak suka? Yaudah kalo ga suka, besok gue gak bakalan jemput lo lagi.” Jawab Mungga senonoh.
“Yeh, bukan gitu, kan aneh kalo lo ngejemput gue tiba-tiba. Secara yah, lo kemarin judes banget sama gue.” Tambahku.
“Intinya disini, lo masih mau gak dijemput sama gue besok dan seterusnya?” jawab Mungga yang masih tidak mau jujur.
“Yaudah deh, kalo lo gak mau jawab gue, kenapa lo ngejemput gue, gapapa. Besok-besok jemput gue. Titik.” Jawabku menyerah.
5 menit kemudian guru pun masuk ke dalam kelas.
“Selamat pagi anak-anak, hari ini kita akan belajar Bhs. Indonesia.”
Yah, hari ini Pak Fadly lagi. Sebenarnya aku sih suka dengan sastra, tetapi aku lebih suka kegiatan menghitung.
Aku yang duduk paling belakang tidak terlalu menikmati pelajaran hingga pelajaran paling terakhir. Sampai waktu bel pulang berbunyi.
“Yok, pulang.” Kata Mungga kepadaku.
Sebenarnya hari ini aku mau ke suatu tempat. Tapi, aku merasa tidak enak kepada Mungga.
“Mung, hari ini lo sibuk, ngga?” aku mencoba bertanya kepada Mungga.
“Mm, ngga sih. Kenapa? Lo mau ngajak gue jalan?”
“Ngarep lo. Tapi, sebenarnya gue mau ke rumah sakit Mung, lo bisa nganterin gue ga? Sebentar doang kok. Ada yang mau gue pastiin.”
“Ya udah, ayo.”
Aku pun berjalan menuju parkiran bersama Mungga dan menuju rumah sakit.
____________
Sorry stuck sangadd dikit:(
Kira-kira apa siapa yang sakit yaa? 🙈😂
Bantu di vote yaaa, maaciii💓
KAMU SEDANG MEMBACA
No One Knows (COMPLETE)
Teen FictionFarah Tania Putri yang kerap disapa Rara, gadis pindahan dari Cibubur ke Bandung dan bertemu dua cowok aneh yang menjadi sahabatnya. Tetapi, satu hal yang mereka tak ketahui ada pada diri masing-masing. "Kita bertiga ini sahabat, kenapa masih menyim...