Cerita Tentang Luka dan Perban

1.2K 124 42
                                    

Pasal luka yang menganga, menjadi sebab perih berkepanjangan dan perban yang membalut, menjaga cidera menemui warasnya.

Sehun sebagai Bintang
Irene sebagai Bulan
Joy sebagai Jingga
Wooseok sebagai Wibisana

🍋🍋🍋


Bincang-bincang dengan tawa yang menyelingi memenuhi sebuah ruangan. Para dewasa dengan setelan formal tampak begitu asyik bergelung dalam pembahasan soal kerjasama pada masing-masing perusahaan. Berbagai kudapan ringan dan minuman telah tertata rapi di meja. Perkumpulan para kaya, begitu yang terlihat.

"Pak, katanya Jingga kemaren menang lomba sebagai gadis sampul di salah satu majalah, ya?"

Pria paruh baya dengan postur tegap itu tersenyum bangga. "Haha ya begitulah. Dari kecil Jingga tuh emang suka foto-foto!"

"Hmm ya, Jeng! Jingga tuh kalo udah liat Mama atau Papanya bawa-bawa kamera gitu nggak bisa diem, selalu minta difotoin!" sahut seorang wanita yang mana adalah isteri dari pria tersebut. Mama Jingga.

"Aduh, udah bakat dari kecil dong ya kalo gitu? Pasti bangga jadi orang tuanya!"

Sepasang suami isteri itu memasang wajah sumringahnya. Memang pada kenyataannya mereka sangat merasa bangga akan apa yang telah puterinya raih.

Yang mana seluruh aktivitas disana tak lepas dari pandangan seseorang. Tak ikut bergumul secara langsung, hanya menatap dari jauh. Hal seperti ini sudah biasa terjadi. Dirinya yang seperti diasingkan. Tak memiliki peran penting dalam keluarga itu.

"Den Bintang, mau kue?"

Tawaran itu hanya dibalas dengan sepasang kurva melengkung yang terlukis apik pada figur tampan itu. Lantas kepala menggeleng pelan. Ia, Bintang mundur secara teratur dan meninggalkan tempat.

Si asisten rumah tangga hanya menatap anak dari majikannya itu iba. Merasa dunia seperti tak ada berpihaknya sama sekali pada raga pemuda itu.
"Yang sabar ya, Den..."

🍋🍋🍋

"Dari mana aja kamu? Ngelayap lagi?"

Tuduhan itu melayang begitu mudahnya bahkan disaat sepasang sepatu belum terlepas dari tungkai, tas gendong yang masih setia menempel pada punggung. Lama-lama telinga itu mulai terbiasa, seakan mati rasa kala kalimat tanpa fakta itu lolos dari mulut sang Mama.

"Bulan, jawab Mama! Kamu dari mana?"

"Dari tempat penerbit, Ma," jawab gadis kuncir kuda itu seadanya. Dayanya sudah tak ada jika ia diharuskan untuk berdebat dengan sang Mama.

Majalah yang semula berada diatas pangkuan itu dihempaskan keatas meja. "Penerbit lagi, penerbit lagi! Kamu tuh sebetulnya mau jadi apa? Emang apa untungnya jadi penulis? Kamu tuh lama-lama kalau dibiarin jadi nggak terarah gini, ya! Kamu lihat tuh Sela, contoh dia, lulus SMA mau jadi polwan! Masa depannya jelas, berpangkat lagi! Daripada ngetik-ngetik nggak jelasㅡ"

Bulan memejamkan matanya rapat. Merasa lelah dan muak secara bersamaan. "Ma, Bulan capek. Mau istirahat, ada pr juga," selanya atas segala cecaran milik Mamaㅡyang tak pernah absen membanding-bandingkan dirinya dengan puteri dari Tantenya.

𝙇𝙚𝙢𝙤𝙣 𝙏𝙚𝙖Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang