12 ; Malang

1.3K 222 15
                                    

"Kalo daerah sini emang banyak yang jual cat dinding, Na. Murah-murah banget," ujar Jefri semangat sambil menunjuk ke luar jendela mobil.

"Kalo luruuuuusss nanti bisa ke SMP-ku dulu, Na. SMP-ku panjang terus rindang banget. Kantinnya gede, kaya food court!

"Tapi kita belok, soalnya rumah bapak ga lewat situ.

"Di deket rumah bapak ada Starbucks, Na."

"Bentar-bentar," Nara akhirnya membuka bibir setelah Jefri yang terus berbicara, "Mas dulu SMP di Malang?"

"Iya. Terus bapak pindah lagi ke Jakarta. Tapi bapak sama ibu betah di Malang, jadi balik lagi ke sini. Aku gabisa ikut gara gara pekerjaanku."

"Akhirnya bisa ke sini juga," Jefri menghela napas lega, "Nanti kita ke SMP-ku ya, Na!"

Nara terkekeh, "Iya, iya. Kok ini aku jadi kayak ngurus anak, sih,"

Jefri tersenyum lebar, "Kalo itu bengkel omku, Na. Luarnya emang keliatan jelek, tapi rame banget!"

"Terus itu nanti ke kiri masuk ke perumahannya,"

Nara menatap papan iklan besar tepat di depan jalan menuju perumahan yang dimaksud.

"Araya?" gumamnya.

"Iya. Ini termasuk perumahan elit, sih. Tapi sayang banget, banyak rumah gede yang ditinggal kosong gitu aja. Soalnya yang punya rumah sibuk. Atau punya rumah lain kali,"

Nara mengangguk paham, sesekali melihat rumah-rumah mewah yang senyap.

"Tapi rumah bapak ga segede itu. Jangan kecewa ya, hehe,"

***

Katanya rumahnya ga segede itu. Padahal mah lebih gede

Nara menatap rumah Jefri kagum. Bibirnya sampai terbuka.

"Ngapain, Na? Ayo masuk," tanya Jefri sambil memasukkan koper.

"Oh? Eh, iya!"

Nara mengikuti langkah Jefri, memberi senyum ramah pada (sepertinya) asisten rumah tangga yang membukakan pagar super tinggi milik keluarga Jefri.

"Gimana sih, Mas katanya ga segede yang tadi!" bisik Nara.

"Kan emang ga segede rumah emas yang tadi, kan?"

"Ya ngebandingin jangan ama rumah yang ituuu. Itu mah istana!"

"Coba masuk dulu, deh. Ga gede banget, kok,"

"Duh sukanya merendah untuk meroket," gadis itu memutar bola matanya sebal.

"Kan nanti aku emang naik roket, Na,"

Nara mendecih, "Kok malah bahas itu, sih?!"

"Eh? Bercanda, Na," Jefri tertawa.

Suara langkah kaki dari dalam menginterupsi. Wanita cantik yang terlihat sudah berumur datang menghampiri.

"Mas!" ucapnya lalu memeluk Jefri. Entah apa yang dibicarakan, Nara tidak mengerti. Keduanya memakai bahasa jawa. Yang Nara paham, wanita itu menangis terharu. Ia pasti ibunya.

Dari dalam, pria berumur datang menghampiri dengan pemuda yang terlihat sedikit lebih muda dari Jefri. Sepertinya itu ayah dan adik Jefri, Cakra.

Jefri menyalimi ayahnya, lalu berganti adiknya menyalimi Jefri.

"Buk, Pak, Cak, ini Nara, pacarku,"

"Cah ayu kok berdiri aja di sana, ayo masuk, nduk," ucapnya dengan logat jawa yang kental. Nara menunduk sopan dan masuk ke dalam rumahnya.

"Dek, tulungono iki kopere mbakmu," sahut ibu Jefri bersemangat.

(Dek, ini tolongin kopernya mbakmu)

Cakra mengangguk lalu mengambil alih koper Nara.

"Eh, gausah gapapa,"

"Gapapa, Mbak. Kapan lagi Mbak ke Malang,"

Nara tersenyum lalu berterima kasih.

"Istirahat, Le. Iku pacare diajak," ayah Jefri memersilahkan Nara ke kamarnya.

"Na, kamu tidur di kamar tamu di situ, aku di atas," Jefri mengelus kepala Nara.

"Eh! Ada orang tuamu, loh!"

"Gapapa, mereka udah tau,"

"Ehm," ibu Jefri tersenyum menggoda, "Ibuk sing kangen tapi pacare sing dimanja,"

(Ibu yang kangen tapi pacarnya yang dimanja)

Jefri tertawa, "Niki, Buk, gawe Ibuk," ia mengusap kepala ibunya dengan lembut.

(Ini, Bu, buat Ibu)

Nara tersenyum. Sepertinya keluarga Jefri hangat sekali.























HAAAAAI

maaf ya aku telat update banget:( udah berapa bulan ini hufttttt:(

maaf banget yaa:( insyaallah setelah ini bakal lebih sering update lagi. stay tune guys!

Astronaut | JUNG JAEHYUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang