“Rara?”
Gadis itu enggan menoleh. Dari suara berat yang lembut dan panggilan kesayangan itu, ia tahu itu Bang Theo. Pun ia tahu tujuannya kemari. Pasti perintah Buna untuk mengecek keadaannya setelah sehari semalam tidak keluar kamar.
“Maskerin gua dong,”
Atau tidak.
“Hah?” Nara menoleh, menatapnya sinis. Seolah berkata, please deh ga liat apa gua lagi ga mood.
“Apa ha ho ha ho, ayo cepetan bangun,” ujar Bang Theo sambil menarik selimut Nara.
“BANGGGG!”
“Ayo bangunnnnn,” ia menarik tangan adiknya sampai bangun. Nara terlalu malas untuk melawan.
“Yaudah, gua maskeran sendiri ya. Minta masker lu,”
Nara melotot, “Eh! Gak ya!”
Yah, mengingat sudah berapa kuas masker yang sudah dirusak abangnya, sepertinya harus Nara yang bertindak.
“Gua aja sini,” ujar Nara ketus sambil merebut kuas masker yang sudah berada di tangan Bang Theo.
Bang Theo tersenyum manja, “Gitu dong, hehe,”
Nara menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Masker bubuk, kuas masker, air mawar, dan mangkuk kecil.
“Pake yang itu dong, yang racun tiktok tuh yang warna ijo tai,” sahut Bang Theo, mengintip masker yang disiapkan Nara.
“Enak aja ijo tai! Mahal itu, gak bole,” Nara merengut.
“Lah lu liat aja dah warnanya kek muntah si Cio,”
Cio, kucing calico liar yang sering datang ke rumah mereka.
“Dahlah,”
Bang Theo terkekeh melihat Nara yang merengut, namun tetap menyiapkan masker dengan hati-hati. Gadis itu duduk di meja belajar dan abangnya duduk di pinggir ranjang. Ia mendorong kursi dengan kakinya, mendekati Bang Theo
“Rambut lo,” ucap Nara galak. Bang Theo menahan rambutnya dengan tangan, menyodorkan wajahnya, dan memejamkan mata.
Nara mengoles masker dengan hati-hati, “Tumben maskeran,”
“Mau ngapel dong sama Tara besok,”
Tara, pacar baru Bang Theo.
“Enak ya,” gumam Nara pelan.
Mampus bego banget gua, Bang Theo merutuki dirinya sendiri.
“Eh, ngga gitu, Ra—“
“Santai aja kali,” Nara terkekeh melihat tingkah abangnya. Ia menghela napas, “Lagian bener sih, belum tentu itu Mas Jefri,”
“Tapi tetep aja lu kepikiran,” potong Bang Theo. Nara menghela napas, “Bukannya aneh ya kalo gua ga kepikiran? Dengan situasi kaya gini? Ditinggal dua tahun tanpa kabar?”
Bang Theo diam. Sepertinya ia memperparah situasi.
“Bukan, Ra—“
“Gua paham kok, dari dulu kita emang susah ngerti satu sama lain,” Nara memotong, menyodorkan mangkuk dan kuas masker, “10 menit lagi dibilas, terus ini bekas lo cuci sendiri,”
Gadis itu melengos pergi, merapikan meja riasnya.
Bang Theo berdiri, “Ra, lo tuh…” Ia menggaruk kepalanya frustasi.
Nara berbalik, menghadap Bang Theo, “Kenapa? Lebay? Baperan? Ayo bilang,” ucapnya menantang.
“Gua tau tujuan lo ke sini bukan buat maskeran. Dan ya, makasih. Lo sukses bikin gua ke-distract. Sekarang gua tambah stres!”
Bang Theo mengangkat kedua tangannya, “Ra, gua gamau kita jadi berantem gara-gara masalah ini,”
“Yaudah!” Nara mengarahkan tangannya ke pintu, “Keluar,”
Pria itu mencengkram mangkuk kecil di tangannya. Ia berjalan menuju pintu.
“Cuma ngingetin,” ujarnya sebelum keluar, “Jangan sampe gara-gara stress lo jadi acting like shit. Coba deh ke bawah. Lo liat berapa orang yang diskusi sampe jam segini demi lo,”
Bang Theo keluar, sedikit membanting pintu.
Nara membenamkan wajahnya ke bantal, berteriak sekencang mungkin. Ia jengkel dengan abangnya. Dengan situasi ini, apakah tidak bisa ia meminta sedikit waktu untuk menjernihkan pikiran?
Gadis itu mencengkram selimut tebalnya kuat-kuat, merasa jengkel sekali dengan sikap abangnya barusan. Juga menyesal telah mengusirnya dengan kasar.
Ah, tenggorokannya kering. Ia melirik botol minum di meja belajarnya dan mengutuk dirinya sendiri. Mengapa ia menaruh botolnya jauh sekali?!
Ia memaksa tubuhnya untuk berdiri dan minum. Setengah botol habis. Tentu saja, ia belum meninggalkan ranjangnya sejak pagi. Terima kasih untuk Bang Theo telah berhasil membuatnya bergerak.
Nara melirik keluar jendela di sebelah meja belajarnya. Ada ojek online yang menghampiri pagar rumahnya. Itu membuatnya penasaran.
Buna gofut?
Ia melihat punggung gadis berambut pendek memakai helm yang diberikan ojek online tersebut. Gadis itu berbalik. Riana! Sedang apa ia di rumahnya?
Riana melambaikan tangan kepada seseorang di dalam rumahnya. Sayang, tidak terlihat.
Beberapa saat kemudian, ada tiga motor yang keluar dari rumahnya. Ketiga motor itu membonceng tiga gadis.Tunggu, motor vespa merah itu mirip dengan motor Juna. Dan gadis yang dibonceng, tidak ada teman Nara senyentrik Yeri dengan rambut yang dicat pirang terang.
Jika vespa itu milik Juna, berarti motor beat itu pasti motor Echan dengan Kak Wendy di belakangnya. Juga motor Ninja milik Lucas, membonceng pacarnya, Deysa.
Mereka kesini?
Setelah ketiga motor itu pergi, ia melihat Mark berjalan pulang.
Nara tertegun.
Bang Theo tidak main-main dengan ucapannya barusan.maapin ya Nara lagi mode maung😔😔😔😔😔
anyway, in case kalo kalian lupa :D
Juna : Xiaojun
Deysa : Doyeon
Echan : Haechan
Lucas : Lucas
Kak Wendy : Wendy
Yeri : Yerisengaja namanya ga beda beda amat biar aku ga lupa WKWKWKWKWK
maklum aku anaknya lupaan banget😔😔
enjoy❤
love y'all💓
KAMU SEDANG MEMBACA
Astronaut | JUNG JAEHYUN
Fanfictionmenunggu itu sulit. tetapi kamu harus tahu. kalau menunggu untuk mendapat kamu, saya rela menunggu 1000 tahun bahkan di angkasa yang dingin dan sepi. apa kamu mau menunggu saya untuk beberapa tahun?