22 ; Bicara

1.1K 197 13
                                    

Sudah seminggu lebih Nara dan Mark tidak bertatap muka. Bahkan tidak bicara lewat pesan atau telepon. Keduanya saling menghindar.

Tentu karena malam itu.

Nara mengira Mark akan lupa begitu ia bangun karena ia sangat mabuk, ternyata tidak. Sepertinya Mark sangat ingat.

Tentu ini menambah pikiran Nara. Ia takut kehilangan sahabat baiknya.

"Nara! Sini bentar, Nak!" teriak Buna dari bawah, membuat gadis itu segera melompat turun dari kasurnya.

"Kenapa, Bun?" ucapnya begitu sampai tangga.

"Ini, tolong kasihin ke mamanya Mark," ujar Buna sambil menyodorkan sekantung apel merah segar.

"Ke Mark?" Nara menuruni anak tangga, "Bang Theo ajaaa,"

"Theo kan lagi ada event," Buna merujuk ke event yang digelar EO milik putra sulungnya. Setelah Theo dipecat dari pekerjaan lamanya, ia mencoba membangun Event Organizer yang kini cukup sukses.

Nara menggigit bibir bawahnya gugup, "Yaudah, sini, Bun,"

Dengan sandal ungu favoritnya, ia berjalan menuju ke rumah Mark yang tak jauh dari rumahnya. Sepanjang jalan ia berdoa agar tidak bertemu Mark.

"Kalo ketemu, harus berani ngomong," gumam Nara meyakinkan diri sendiri.

Gadis itu memencet bel rumah Mark. Tak lama ada suara langkah kaki mendekat.

Plis, semoga tante yang bukain, semoga tante, semoga tante

"Oh... Nar,"

Pintu terbuka, menampakkan Mark dengan kaus putih dan celana pendek. Rambut cokelatnya juga acak-acakan, seperti singa.

"Eh, Mark, hehe," Nara menyodorkan kantung plastik, "Ini dari Buna buat tante,"

"Apa nih?"

"Apel,"

"Oiya. Mama lagi keluar, nanti gua kasihin. Bilangin ke Buna makasih banyak,"

Ketika Mark hendak menutup pintu,

"Mark,"

"Iya?" jawabnya cepat.

"Yok ngobrol,"

"Oh..." Mark tampak ragu, namun tetap membuka pintunya lebar, "Masuk aja,"

Seperti biasa (jika hubungan mereka tidak canggung) Nara duduk di meja makan. Mark sebagai tuan rumah meletakkan dua gelas di atas meja dan mengisinya dengan jus jambu.

"Santai aja gausah repot-repot," Nara makin merasa canggung.

"Sekalian, gua juga haus,"

Pria itu duduk di hadapan Nara, menyesap jus sedikit. Ah, bahkan matanya tak bisa menatap Nara.

"Mark,"

"Hm,"

"Lo gamau ngomong apa? Biar kita sama-sama lega,"

"Mau ngomong apa emang,"

"Ya, kaya confess gitu,"

Mark tertawa remeh.

Gadis itu menghela napas, "Yaudah, gua dulu."

"Jujur Mark gua udah tau lo suka sama gua dari kelas satu SMA. Gua udah sadar, sadar banget. Lo tuh anaknya nunjukin banget kalo suka sama orang jadi gua tau dan paham banget.

"Gua juga udah berusaha buat suka sama lo, Mark. Tapi gatau kenapa gabisa. Lo tuh udah kaya abang buat gua. Kaya contohnya, gua gabisa cinta sama bang Theo. Sama lo juga. Gua gabisa ngeliat lo lebih, pake perasaan gitu gua gabisa.

"Lo sama Mas Jefri tuh beda tempat, Mark. Gua sayang banget sama lo berdua, tapi spot kalian tuh beda buat gua. Dan gua ga yakin lo bisa gantiin Mas Jefri. Mas Jefri juga gabisa gantiin lo.

"Jujur, gua gabisa ngerelain lo pergi. Oke, gua egois, egois banget emang. Tapi gimana ya, lo tuh spesial, Mark. Lo spesial banget buat gua. Makanya gua gabisa bales perasaan lo,"

Mark mendengarkan sambil memainkan jarinya di atas meja. Ia tak berani menatap mata Nara yang sudah berair.

"Maaf ya, Nar. Gua pasti bikin lo kepikiran, ya?

"Gua juga pengennya kita temenan gini, tanpa ada rasa apa-apa. Tapi namanya hati, Nar. Lo juga gabisa kan suka sama gua. Gua juga, gabisa ilangin rasa suka gua ke lo.

"Gua udah mikirin ini dari dulu, dari lo pacaran sama Bang Jefri. Apa gua kuliah di luar kota aja ya? Apa gua cari kerja di luar kota aja ya? Ato sekalian luar negeri?

"Lo kira gua ga sakit hati liat lo sama Bang Jefri? Sakit, Nar. Bahkan waktu dia pergi aja lo ngebahas Jefri Jefri Jefri mulu. Lo sedih, bahas Jefri. Lo happy, bahas Jefri. Lo nugas, bahas Jefri lagi. Padahal gua yang ada di depan lo. Gua yang udah bareng sama lo 10 taun lebih.

"Seenggaknya kalo lo gabisa bales perasaan gua, let me go, Nar. Biarin gua lupa sama perasaan gua ke lo. Biar gua juga bisa seneng,"

"But I need you so bad, Mark. Gua udah ditinggal Mas Jefri, masa lo mau pergi juga? Lo kok tega banget?" potong Nara.

"Apa kita gabisa balik lagi kaya dulu? Temenan kaya biasanya? Kaya gaada apa-apa?" tanya Nara dengan suara bergetar.

"Buat lo emang gaada apa-apa, tapi buat gua beda, Nar. Beda."

Mark menghela napas," Maaf, Nar. Gua juga gamau sakit hati terus,"

"Lo jahat," Nara menangis, "Harus banget lo pergi di masa kaya gini?"

"Jadi buat lo gua cuma jadi penggantinya Bang Jefri? Kalo dia balik, lo bakal lupain gua lagi, kan?"

Gadis itu menangis sesenggukan. Ia merangkup wajahnya yang sudah basah dan merah. Mark hanya diam di depannya, dengan mata berkaca-kaca dan bibir yang terkatup rapat.

Ruangan itu lengang. Dua gelas jus jambu, detik jam yang berdetak, dan air mata Nara menjadi saksi bisu.

Hari itu menyedihkan. Tidak seperti ekspektasi Nara, hari itu sama sekali tidak melegakan hati.

Gadis itu makin merasa bersalah. Ia mengingat semua hal kecil yang ia lontarkan tanpa sengaja, namun sangat menyakiti hati sahabatnya.

Nara pulang, dengan wajah sembap dan perasaan bersalah di hatinya.


***



















:(((

hayoloh

ini yang egois mark ato nara hayo

ato dua duanya hayo

HAPPY READING ALL💓💓💓💓💓 SEMOGA SUKAAAAA

i lov ya so so so so much!♥

jefri lagi ngapain yaaa kira kira di roket

Astronaut | JUNG JAEHYUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang