Mulut Emilie tidak berhenti terbuka saat melewati setiap jalan yang dilalui oleh mobil yang ditumpanginya. Emilie sungguh tidak bisa mengalihkan pandangannya dari negara yang dikenal sangat damai dan aman itu.
Kaca mobil di tempat Emilie duduk tiba-tiba terbuka. Emilie menoleh pada Dansel yang mengendarai mobil Xavier, kemudian menatap Xavier dengan senyum yang lebih lebar. Dansel dan Xavier sama-sama membalas senyum Emilie, sedangkan Emilie kembali mengalihkan pandangannya ke luar mobil. Tangannya terulur ke luar, merasakan angin kencang di negara Islandia itu. Lebih dingin dari dugaannya. Dan lebih sejuk dari dugaannya.
"Kampungan sekali."
Komentar itu membuat senyum Emilie luntur seketika. Matanya beralih menatap manusia yang duduk di depannya, lalu beralih pada Xavier. "Kenapa Dugong ini harus dibawa, Xavier?" Tanyanya, mengejek orang yang duduk di depannya.
"Apa?! Dugong?!"
"Ya! Lalu apa kau lebih suka kupanggil Jalang?!" Kesal Emilie. Dan ya, orang itu adalah Albert. Entah apa hubungan orang di depannya ini dengan Xavier, tapi Albert terlalu mengikuti Xavier terus. "Apakah dia benar-benar istrimu, Xavier?" Tanya Emilie kemudian.
Xavier menggeleng cepat. "Tidak. Hanya dia yang kurang waras. Aku masih normal."
Mendengar jawaban Xavier, Albert mengeluarkan ekspresi terkejut buatannya. "Xavier, tega-teganya kau berkata begitu sesudah tubuh kita bersatu—AW! SAKIT!"
Tentu saja, pekikan itu bukan disebabkan oleh Xavier, melainkan Emilie yang menjitak kepala Albert dengan kuat. "Kau ini!! Enak saja berkata kotor di depan anak di bawah umur!"
Albert yang sedang menggerutu lantas terkekeh sinis. "Di bawah umur? Siapa? Kau?! Tidak lihat keriputmu di mana-mana?" Ejeknya.
"Bukan aku!" Delik Emilie, kemudian menunjuk ke kursi di belakangnya. "Tapi dia!" Katanya.
Matthew yang sedang bermain game tidak peduli dengan obrolan Emilie dan Albert, dia hanya terus menatap ponsel di tangannya. Bermain game yang direkomendasikan oleh Emilie sendiri sedangkan Emilie tidak memiliki ponsel satupun. Di dunia ini, mungkin hanya Emilie yang bisa betah hidup tanpa ponsel selama lebih dari seminggu.
Kembali pada Albert, pria itu kini tertawa terbahak-bahak dengan tangan yang memukuli dashboard mobil. "Dia? Hey, anak di bawah umur itu bukan berarti dia masih polos seperti pantat bayi! Walaupun umurnya baru mencapai 18 tahun, dia sudah membun—AW!! SAKIT!"
Kali ini bukan Emilie yang bertindak, tapi Xavier yang menendang kursi dengan kuat hingga Albert tersentak di kursinya.
Emilie mengerjap melihatnya. "Membun? Membun apa?" Tanyanya pada Xavier dengan wajah polos.
Xavier hanya tersenyum dan menggeleng. "Jangan dengarkan. Dia berbicara tidak sopan lagi. Lebih baik, kau lihat pemandangan saja. Tuh." Katanya sambil menangkup wajah Emilie dan menggerakkannya agar menatap keluar jendela.
Mata Emilie membulat dan mulutnya pun ikut terbuka lebar. "Woah..." Ucapnya takjub, melihat pantai yang tersaji di depannya. Pantai yang terlihat seperti lukisan yang dibuat dengan sangat kreatif karena memiliki pasir berwarna hitam dan tebing yang juga berwarna hitam pekat. Belum lagi, air yang berwarna jernih itu membuat perpaduan antara hitam putih yang sangat sempurna di mata Emilie.
"Tidak menyesal ikut denganku, bukan?" Tanya Xavier pada Emilie, membuat wanita itu mengangguk dan menatap Xavier dengan senyum lebarnya.
"Ya! Xavier, apa rumahmu di desa sekitar sini?" Tanya Emilie dengan antusias.
Xavier hanya tersenyum misterius tanpa menjawab Emilie.
"Kau tidak menjawabku?" Kesal Emilie dan dibalas Xavier dengan kekehan kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh My Xavier
RomanceSELURUH KARYA MADE IN EARTH DILINDUNGI OLEH PROFESIONAL HUKUM PURE PUBLISHING!! PLAGIAT AKAN DIKENAKAN DENDA MINIMAL 500 JUTA DAN PENJARA MINIMAL 2 TAHUN [Konten dewasa 21+] Emilie tidak menyangka bahwa kedatangannya ke LA akan membawa malapetaka ba...