Bagian 9

7.1K 458 13
                                    

Pagi telah tiba, matahari menyambut ramah. Tapi sepertinya tidak ramah untuk Lula, kejadian semalam membuatnya tak bersemangat menyambut hari ini. Lula merasa tak punya muka untuk berhadapan dengan Galang, bosnya.

Deringan singkat menguapkan lamunan Lula, dia segera meraih ponselnya. Satu pesan singkat dari Galang membuat Lula ragu untuk membaca lengkap isi pesan itu. Tapi lagi, lagi, dia tidak bisa menghindar terus menerus dari Galang.
Dengan berat hati Lula membuka isi pesan itu.

Pak Galang.
Kamu lupa dengan tugasmu?
06.00

3 menit tidak juga datang, kamu saya pecat.
06.03

Lula menghela nafas panjang, Dia melirik pakaian Rena dan pakaiannya yang diletakan pada atas ranjang. Pakaian malaikat maut nya yang kemarin dia gunakan terlihat kotor, pasti Galang keberatan dengan hal itu. Tapi pakaian Rena terlalu terbuka baginya.

Matanya teralihkan pada jam dinding, satu menit telah berlalu, dengan cepat Lula mengambil pakaiannya. Dia akan terima resiko apa pun nantinya.

Dua menit berlalu, Lula keluar dari kamar ganti. Penampilannya kembali seperti semula, dengan percaya dirinya, Lula segera keluar dari kamarnya, dan melangkah menuju kamar Galang, mengetuk pintu singkat, dan tak lama pintu terbuka. Menampakan Galang dengan setelan casualnya.

"Selamat pagi, Pak." sapa Lula.

Galang memperhatikan Lula dari atas sampai bawah. Kerutan kecil terlihat jelas di dahinya. "Pagi," jawab Galang. singkat.

"Jam penerbangan ke Jakarta jam 10 ini, Pak. Kita masih ada waktu untuk menyapa pak Rudi dan sarapan." jelas Lula.

"Oke," jawab Galang.

Galang segera keluar dari kamarnya dengan di ekori Lula. Mereka memasuki lift untuk menuju lantai dasar. Keluar dari lift, mereka sudah di sambut dengan kedua teman Galang yang semalam telah bercengkrama dengannya.

Kedua pria itu tampak mencari-cari seseorang di belakang Galang. Galang yang memperhatikannya memutar kedua bola matanya. Dia tahu siapa yang kedua pria itu cari, siapa lagi kalau bukan Lula. Tapi sayangnya Lula kembali menjadi Rakyat jelata setelah semalam Lula menjadi Tuan Putri yang paling cantik di pesta semalam.

"Kenapa?" tanya Galang akhirnya. Lula yang berada di belakang Galang pun hanya bisa menunduk canggung.

"Perempuan yang semalam mana?" tanya salah satu dari mereka yang bernama Fajar.

Galang berdecak sembari berlalu dengan menarik tangan Lula. Setidaknya mereka tidak boleh tahu kalau Lula adalah Cinderella pada pesta semalam. Sedangkan Lula merasa terkejut.

Galang membawa Lula duduk di meja resto hotel. "Abaikan mereka, tetap fokus dengan pekerjaanmu."

"Iya, Pak."

Tapi lagi-lagi, Galang harus di buat kesal karena Fajar dan Reza juga ikut duduk di mejanya. Meja bundar itu berisi 4 kursi makan dengan posisi mengitari meja itu yang saling berhadapan satu sama lain.

Lula yang duduk di hadapan Galang langsung menatap Galang saat kedua teman pria itu duduk di meja yang sama dengan mereka.

"Nama perempuan yang semalam tuh siapa, Lang?" tanya Reza sangat penasaran.

Galang melirik Lula yang menunduk kaku. "Lula," jawab Galang. Lula segera mendongak menatap Galang.

Sedangkan kedua temannya tersenyum, seakan baru saja menemukan kunci jawaban dari soal Fisika. "Lula? dia pacar lo?" kali ini gantian Fajar yang bertanya.

Lula kembali menunduk, dia ingin sekali pergi dari sini, tapi Lula berusaha profesional. "Sekretaris gue," jawab Galang singkat.

Alhasil kedu teman Galang terkejut. "Sekretaris lo bukannya-" Fajar menggantung ucapannya, mata mereka tertuju pada Lula yang saat ini sedang menunduk.

"Lula?" tanya Reza ragu pada Lula.

Lula mendongak, dia mengangguk seraya tersenyum. "Iya," sahutnya.

Reza dan Fajar saling menatap. Galang tersenyum miring.

Pasti kali ini mereka gak akan dekati Lula lagi. Batin Galang.

Tapi...

"Halo, Lula saya Reza."

"Saya Fajar, boleh minta nomor kamu?"

Galang tercengang, kedua temannya semakin gencar mendekati Lula meski pun penampilan Lula kuno seperti itu.

"I-itu..." Lula menatap Galang, dia berharap Galang bisa membantunya.

Tapi yang terjadi, Galang hanya menyedikan dagunya, acuh tak acuh.

***

Saat ini mereka sudah berada di Bandara, tentunya ada Fajar dan Reza yang ikut mengantar mereka. Padahal Galang tak memintanya, tapi dengan senang hatinya mereka rela meluangkan waktunya untuk mengantar Galang dan Lula, intinya hanya Lula.

"Nanti kalau kami ke Jakarta, kamu mau ya ajak kami berjalan-jalan keliling Jakarta," kata Reza.

Ketiga orang itu mengabaikan Galang yang berjalan di depan mereka. "Itu, saya tidak janji, Pak."

"Pak? kok panggil Bapak. Usia kita kayaknya beda sedikit, jangan panggil Bapak. Saya seumur kok sama Galang."

Galang berhenti mendadak. Dia menoleh ke belakang. "Dia panggil gue Bapak." serunya. Fajar dan Reza menatap Galang singkat.

"Iya, kamu panggil Galang Bapak, kan karena dia atasan kamu, tapi kalau sama saya kamu kan bukan atasan atau bawahan, kamu bisa panggil aku nama aja." tutur Reza.

"Kalau aku, kamu bisa panggil Mas atau Sayang juga gak apa-apa." celetuk Fajar. Lula tersenyum kaku.

Galang memutar kedua bola matanya, merasa jengah kepada kedua teman masa kecilnya yang lama tidak bertemu ini.

"Lula, ayo, udah waktunya pergi," kata Galang, Lula mengangguk.

"Kalau gitu saya permisi, terima kasih sudah mau mengantar kami," ucap Lula sopan.

"Sama-sama, Lula," jawab serempak keduanya.

Galang berjalan cepat meninggalkan Lula, Lula yang di tinggalkan segera menyusul Galang.

Di dalam pesawat, tidak ada perbincangan yang terjadi, seperti biasanya, Galang lebih memilih menatap pemandangan awan yang terbentang luas, sedangkan Lula memandang lurus dengan tatapan kosong.

"Jadi siapa yang kamu pilih?" tanya Galang pada akhirnya tanpa mengalihkan tatapannya.

Lula mengerjap, dia menoleh pada Galang. "Maaf, gimana maksudnya, Pak?"

"Jadi siapa yang kamu pilih, Reza, Fajar atau..." Galang menjeda ucapannya, dia menoleh pada Lula. "Marcel?"

Lula mengerutkan dahinya. "Maksudnya, Pak?"

"Kamu, memilih siapa dia antara ketiganya?"

"Saya memilih siapa? Memangnya apa yang harus dipilih?" tanya Lula, sungguh dia tidak mengerti dengan maksud ucapan Galang.

Galang berdecak. "Lupakan saja." Galang kembali menoleh pada jendela, mengabaikan Lula yang masih bingung dengan pertanyaannya.

***

*Bersambung*


Mungkinkah ada benih-benih cinta yang tumbuh di hati Galang?

Lula The SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang