Bagian 21

5K 443 30
                                    

Mendesah panjang, Lula keluar dari ruangan meeting. Di dalam ruangan terasa sesak, ditambah Galang yang sedang marah. Udaranya semakin terasa panas.

Tak lama dari itu, pintu kembali terbuka, Marcel tersenyum lebar saat dilihat Lula masih ada di sana. Dengan cepat pria itu menghampiri Lula.

"Lula." Lula menoleh, dan senyuman formal seketika terukir di wajah cantiknya.

"Iya, Pak?"

"Marcel saja, jangan pakai Bapak, ini kan di luar kantor." Lula mengernyitkan dahinya kecil.

"Kita masih di kawasan kantor, Pak." Marcel menoleh sekeliling.

"Ah, Iya, maksudnya kalau hanya kita berdua, panggil Marcel saja. Tenang, gajimu tidak akan di potong dengan Galang, kok." Lula tertawa kecil mendengar leluconan Marcel yang sebenarnya tidak lucu. "Marcel aja, ya."

Lula mengangguk tanda mengiyakan. "Ada apa, Pak- eh Marcel."

"Kamu sudah makan?" Lula menggeleng.

"Belum," jawabnya.

"Kalau begitu kita cari makan saja, ya. Pasti kamu lapar. Mau makan makanan ciri khas di sini?"

"Apa boleh?"

"Kenapa tidak. Ayo, sebelum walimu keluar."

"Wali?"

"Iya, Galang," jawab Marcel sembari tergelak. Lula hanya tersenyum simpul.

Marcel menuntun tangan Lula untuk segera mengikutinya, tapi kalah cepat dengan Galang yang sudah lebih dulu membuka pintu.

"Lula mau gue bawa temu paman Ando."

Langkah Marcel dan Lula seketika terhenti, Marcel mendesah panjang. Lagi, lagi dia kalah cepat dengan Galang.

"Harus sama Lula?" Galang mengangguk tanpa beban. "Enggak sendiri aja?" Galang menggeleng. Marcel berdecak kesal. "Dia belum makan, kasian kalau perutnya kosong, nanti masuk angin."

"Lula, kita makan di rumah paman Ando saja, ya. Kebetulan beliau sudah menyiapkan makanan untuk kita." Marcel menoleh pada Lula, tatapannya penuh harap. Berharap agar Lula bisa menolak ajakan Galang.

"Baik, Pak." Galang tersenyum puas. Tubuh Marcel seketika lunglai.

Galang berjalan mendekat pada Marcel, dan berbisik, "makanya cari sekretaris sendiri, jangan sekretaris orang di bawa kabur."

"Sial!" umpat Marcel.

Setelah itu, Galang membawa Lula pergi dari pandangan Marcel.

***

Lula begitu antusias dengan bangunan rumah yang ada di hadapannya. Galang yang memperhatikan Lula pun ikut tersenyum.

"Rumahnya unik."

"Ini rumah tradisional Kalimantan Timur."

"Oh... Apa namanya?"

"Em, rumah Baanjung. Iya, kalau tidak salah itu namanya."

"Kenapa di namakan rumah Baanjung?"

"Em, karena-"

"Karena rumah ini dibangun dengan beranjung, kalau bahasa Banjar itu Ba'anjung, yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama. Maka dari itu namanya rumah Baanjung."

Galang dan Lula menoleh ke sumber suara, seorang pria paruhbaya berdiri di muka pintu sembari tersenyum menawan pada mereka. Itu adalah paman Ando.

"Paman."

Galang segera menghampiri paman Ando, begitu pun dengan Lula.

"Kenapa baru datang?" tanya paman Ando.

"Maaf, Paman. Tadi ada pekerjaan yang harus di urus."

"Kamu itu, terlalu sibuk mengurusi pekerjaan, sampai menikah pun lupa. Padahal menikah adalah ibadah." Paman Ando melirik pada Lula. "Untung saja sudah punya calonnya, kalau belum, Paman akan mengira kamu itu tidak normal." Lula menunduk malu.

"Paman, ini bukan calon Galang, tapi sekretaris Galang."

"Oh iya? Paman kira calonmu, sayang sekali, padahal dia sangat cantik. Hei, Nak, sudah punya pasangan?" tanya paman Ando pada Lula.

Lula mengerjap sesaat, lalu menggeleng kecil dengan tersenyum malu.

"Kalau begitu, mau di jodohkan dengan anak Paman yang bungsu? Dia seorang tentara, saat ini sedang tugas di perbatasan Indonesia-Malaysia."

"Hah?" Lula tampak bingung, sedangkan Galang terlihat tidak suka dengan saran dari paman Ando.

"Paman, kami ke sini mau bertemu Paman dan Bibi, bukan untuk lamaran." Protes Galang.

"Tidak ada salahnya, sekalian mencari jodoh. Benar tidak?" Lula mengangguk dengan tersenyum sopan. Galang berdecak kesal.

"Loh, Galang, sudah datang? Ayah ini bagaimana, ada ponakan datang, bukannya disuruh masuk, malah di biarkan berdiri di sini. Ayo, Nak, masuk."

Seorang wanita paruhbaya tersenyum pada Galang dan Lula, wajahnya mirip dengan wajah Ranti, Bunda Galang. Masih terlihat cantik meskipun sudah sedikit berkeriput. Dia adalah bibi Tanti. Adik dari Bunda Galang.

"Iya, Bi, Paman malah mau menjodohkan Aldi dengan sekretaris Galang." Adu Galang pada bibi Tanti.

Bibi Tanti menoleh pada Lula, Lula kembali tersenyum sopan pada bibi Tanti.

"Wah.. Cantik banget, Ibu setuju, Yah." Galang mengerutkan dahinya. Lalu berdecak untuk kesekian kalinya.

"Bibi sama aja seperti Paman." Bibi Tanti dan Paman Ando tergelak.

"Ya sudah, ayo masuk, Bibi sudah masak untuk kalian."

***

"Ini hidangan khas dari kota Banjar. Ada Hampap, ikan asin gangan asam, dan..  oh iya, Lula wajib coba ini, sate tulang. Rasanya enak. Ayo, coba makan." Bibi Tanti menaruh tiga tusuk sate di piring Lula.

"Terima kasih, Bi, maaf jadi merepotkan," ujar Lula.

"Tidak masalah, kalau jodoh, kamu akan jadi mantu Bibi." Lula meringis kecil.

Prang!

Lula dan bibi Tanti menoleh pada Galang yang baru saja menjatuhkan piring tanpa sengaja.

"Bibi benar setuju Aldi dengan Lula?"

"Iya, setuju." Galang tercengang.

***

"Bersambung*

Halo, hola... Hiza kembali lagi, ada yang rindu? Kalau Hiza rindu banget sama kalian.

Btw...

Galang kagetnya sampe korbanin piring satu ya 🤣🤣

Catatan: Untuk bangunan rumah Tradisional yang aku tulis di atas, aku cari infonya di mbah Google ya. Jadi kalau ada kesalahan apa pun, Hiza minta maaf, dan silakan kritik dan sarannya ya. Makasih 😊😘

Lula The SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang