Bagian 14

6.2K 458 24
                                        

Lula baru saja menyelesaikan pekerjaannya, jari-jari tangannya terasa kebas, karena seharian ini dia harus mengetik laporan yang Galang suruh. Entahlah tiba-tiba saja Galang menyuruh ini itu dan memastikan Lula tidak meninggalkan kursinya sebentar saja, walau pun hanya untuk membuat kopi Galang.

Galang lebih memilih memesan kopi di cafe dekat kantor, dan meminta OB untuk mengantarnya dari pada Lula yang membuatkannya. Padahal Lula tau betul, Galang suka mengkritik kopi dari cafe itu karena terlalu manis atau cair.

Pintu ruangan Galang terbuka, Lula masuk dengan membawa berkas-berkas yang baru saja di kerjakan.

"Permisi, Pak, ini laporan yang Bapak minta, sudah selesai di kerjakan, silakan di periksa, kalau ada kesalahan bisa saya benarkan," kata Lula sembari meletakan berkas-berkas itu di meja Galang.

"Kamu sudah makan?" Alih-alih menanggapi ucapan Lula, Galang malah bertanya.

Lula termangu sesaat. "Belum, Pak."

"Kenapa bisa belum makan? Ini udah jam 5. Kalau gitu ayo kita makan." Galang bangkit dari kursinya, kemudian memakai jasnya, lalu melangkah ke arah pintu, tanpa menunggu lagi, Lula pun segera menyusul.

Ting!

Mereka keluar dari lift, semua mata menatap mereka dengan kagum, terutama para pria yang menatap Lula penuh minat, mata mereka tak ada yang mengedip sedikit pun.

Galang yang sadar akan hal itu berdecak kesal. "Dasar bajingan-bajingan ini, mau pada di pecat apa?" Gumamnya.

"Iya, Pak, ada apa?" tanya Lula menoleh pada Galang yang kini berjalan sejajar dengannya.

Galang menggeleng cepat. "Tidak ada, kita makan di cafe depan saja," kata Galang. Lula hanya mengangguk.

Sampailah mereka di trotoar jalan, penuhnya jalan raya membuat mereka kesulitan menyebrang. Dan Galang merasa risi karena lagi-lagi harus menjadi pusat perhatian orang banyak. Bukan, bukan dia, tapi Lula. Bukan hanya pejalan kaki atau yang di motor, bahkan pengendara mobil pun rela membuka kaca mobilnya hanya untuk memandang Lula.

Di tambah rambut Lula yang tertiup angin sore, membuat rambutnya melambai-lambai nakal menambah kecantikan yang alami.

"Ikat rambutmu!" Perintah Galang.

"Iya? Baik, Pak." Lula segera mengikat rambutnya.

Tapi sepertinya, itu adalah keputusan yang salah.  Karena saat Lula mengikat rambutnya, leher jenjangnya langsung terlihat. Kini sampai ada yang rela menghentikan motornya hanya untuk melihat Lula.

"Aish

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aish ... Besok pakai baju berkerah tinggi, sampai menutupi lehermu."

"Baik, Pak."

Galang langsung menyebrang jalan bersama Lula. Sampainya di cafe, tampak penuh dengan pengunjung, mereka sampai kesulitan mencari tempat duduk.

Seorang pria menghampiri mereka. Tidak, lebih tepatnya Lula. "Halo, di meja saya ada bangku kosong, kalau kamu mau, saya bisa berbagi meja denganmu," kata pria itu.

Galang langsung memperhatikan pria itu dari atas sampai bawah. Pria berperawakan tinggi itu bernama Dika, dia adalah seorang dokter. Itulah yang bisa Galang tau karena dari jas dokter bername tag yang pria itu pakai.

Lula menoleh pada Galang sesaat. "Maaf, saya ke sini berdua dengan atasan saya," kata Lula.

"Oh, maaf, saya kira kalian tidak kenal."

Gimana gak kenal, gue sama Lula jalannya barengan. - batin Galang menggerutu.

"Kalau gitu saya Dika, kamu Lula?" Sambungnya.

Lula tersenyum seraya mengangguk. "Iya," jawabnya.

"Salam kenal, Lula, saya harap kita bisa berteman."

"Baik, salam kenal kembali." Dika melihat jam tangannya.

"Saya sedang buru-buru, karena ada jadwal oprasi." Dika mengeluarkan kartu nama dari dompetnya. "Ini kartu nama saya, hubungi saya kalau kamu sedang senggang. Senang berkenalan denganmu."

"Baik, nanti saya akan hubungi, saya juga." Setelah berbasa basi sebentar, Dika pun pergi. Lula segera mengisi meja Dika dan di ikuti Galang.

"Kenapa kamu memakai name tag di luar kantor?" tanya Galang marah.

Lula mengerutkan dahinya. "Maaf, Pak, saya belum sempat melepasnya."

"Lepas itu!" Perintah Galang. Lula pun merasa bingung, namun dia hanya bisa menurut. Galang langsung mengambil name tag milik Lula saat sudah di lepas oleh gadis itu.

"Saya akan kembalikan saat kamu sudah di kantor," ujar Galang sembari memasukan name tag Lula ke saku jasnya.

"Baik, Pak."
 
Tidak berapa lama, seorang pelayan datang, mereka pun langsung memesan.

***

Tidak terasa, mereka keluar dari cafe saat hari mulai petang. Mereka kembali lagi ke kantor, untuk mengambil barang-barang mereka.

"Kamu pulang sama siapa?" tanya Galang saat mereka baru masuk ke dalam lift.

"Seperti biasa, Pak, saya akan memastikan anda sampai rumah dulu, setelah itu baru pulang."

"Kalau gitu jangan pulang, menginap saja di rumah saya."

"Hah? Kenapa?" tanya Lula.

"Biar kamu tidak terlambat."

Percayalah, bukan itu maksudnya. Sebenarnya Galang hanya khawatir kalau Lula pulang selarut ini sendirian. Sejak kapan Galang peduli? Entahlah, hanya Tuhan dan Galang yang tau.

"Baik, Pak, kalau begitu. Terima kasih, dan maaf kalau saya selalu terlambat."

Ting!

Tanpa mengatakan sepatah kata pun Galang keluar, dan di susul Lula. Galang sangat tenang dan bisa tidur nyenyak malam ini.

***

*Bersambung*

Galang, galang.. Ada-ada aja😂😂😂

Minal aidin wal fa idzin sayang-sayang aku.

Mohon maaf lahir dan batin 😊

Lula The SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang