Bagian 19

6.2K 432 23
                                    

Hari sudah petang, cahaya matahari mulai meredup terganti dengan cahaya sang rembulan. Lampu-lampu memantulkan cahayanya, menambahi keindahan kota. Sebagian orang telah kembali pada tempatnya, melepas lelah, menyiapkan tenaga untuk hari yang akan datang.

Sebuah mobil Lexus LC berwarna biru, melintasi jalanan ibu kota yang tidak cukup padat saat itu. Dalam mobil itu hanya ada keheningan yang tercipta.
Sang empu mobil enggan membuka suara, pikirannya melayang mengingat kejadian sesudah makan siang tadi.

Galang, pria itu mendesah panjang entah untuk yang keberapa kalinya, sesekali jari-jari tangannya menyisir surai hitamnya.

Lula yang duduk di sampingnya hanya bisa terdiam, enggan untuk bertanya, dia tau perasaan Galang sedang tidak baik-baik saja. Lula memilih memalingkan wajahnya, menikmati pemandangan kota.

Sampai akhirnya, Galang membuka suara. "Dia Kikan."

Lula menoleh pada Galang, begitu pun Galang, lalu pria itu kembali fokus pada jalanan. Lula langsung mengubah duduknya sedikit menyamping menghadap Galang. Menurutnya, Galang ingin bercerita dengannya, jadi sebagai Sekretaris yang baik, dia harus mendengarkan.

"Mantan Sekretarisku," sambung Galang, lalu menghela nafas. "Dia juga mantan kekasihku."

Lula cukup mendengarkan, dia hanya ingin menjadi pendengar setia, bukan sebagai penyelamat Galang maupun Kikan.

"Dia pergi saat bunda dan ayah memberikan uang banyak." Galang tersenyum getir. "Dia lebih memilih uang di banding aku, lelaki yang tulus mencintainya."

Galang menoleh pada Lula sekilas. "Dan dia kembali saat uang itu sudah habis. Dasar wanita matrealistis. Aku kira dia wanita yang baik, tapi nyatanya, dia sama dengan yang lain. Dia hanya mengincar hartaku saja."

"Pak, sebaiknya tepikan dulu mobilnya." Saran Lula.

Galang menoleh pada Lula, tanpa membuka suara, pria itu menuruti Lula. Galang segera menepikan mobil, mematikan mesin mobilnya. Membuka Dashboard dan mengambil sebungkus rokok di dalam sana. Galang turun sembari membuka rokoknya, menyalahkan pematik di dekat ujung rokok, menghisapnya, dan menghembuskan asapnya perlahan.

Menyandarkan tubuhnya pada bumper mobil. Tatapannya nyalang ke depan, namun pikirannya entah berkelana kemana.

Lula turun menghampiri Galang, gadis itu mengerutkan dahinya saat di nilai bosnya sangat acak-acakan, menggeleng pelan saat di lihat Galang kembali membuka rokoknya, menyambung rokok sebelumnya yang hampir habis.

Dengan keberanian, gadis itu merebut rokok itu dari himpitan jari Galang. Galang menatap Lula dengan sorot tidak suka. Kemudian dia kembali mengambil satu batang rokok dari dalam kardus rokok. Tapi lagi dan lagi, Lula merebutnya.

"Ada apa denganmu?!" Bentak Galang pada Lula.

"Rokok tidak sehat untuk kesehatan, Pak." Lula langsung merogoh saku celananya, mengambil kotak berisi permen karet. "Makan ini."

Galang melihat tanpa minat kotak permen itu. Tapi Lula langsung mengeluarkannya, dengan cepat, Lula menekan kedua pipi Galang dengan satu tangannya, sehingga saat mulut Galang terbuka, Lula langsung memasukan permen itu.

Galang tentu saja terkejut, dia melotot lebar pada Lula. Tapi gadis itu tetap menampilkan ekspresi yang tenang.
"Itu permen karet, Pak. Kalau Bapak mengunyahnya, Bapak pasti akan kembali tenang, bukan dengan merokok."

Akhirnya, Galang mengalah, dia malas untuk meladeni Lula saat ini. "Ibu Kikan cantik." Entah bagaimana kata-kata itu bisa keluar dari mulut Lula.

Galang menoleh pada Lula yang menatap lurus ke depan. Lalu dia kembali menoleh ke arah depan. "Dia pasti sangat pintar, sampai Bapak menyukai ibu Kikan."

"Dia matre," sahut Galang ketus.

Lula terkekeh kecil. "Setiap perempuan itu matre, Pak. Kami sangat suka uang." Galang menatap Lula.

"Termasuk kamu?" Lula mengangguk.

"Termasuk saya, hanya saja ada beberapa di antara kami yang serakah, merasa tidak puas dengan pendapatan yang kami peroleh."

"Salah satunya Kikan."

"Mungkin salah satunya bu Kikan. Hidup di jaman modern seperti ini sulit kalau tidak ada uang, Pak. Segala sesuatunya harus uang dan uang, tidak ada yang gratis."

"Tapi Kikan melepasku karena uang. Padahal dia tau aku sangat mencintai dia."

Lula tersenyum. "Cinta tidak bisa membuat perut kenyang, Pak, cinta juga tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup, cinta juga tidak cukup untuk menyekolahkan anak-anak kita di masa depan-"

"Anak kita bisa sekolah, karena aku yang kerja, dan kamu yang mengurus mereka di rumah."

"Hah?"

Galang tergelak melihat raut wajah Lula yang terkejut." Kamu seperti bunda, Lula," kata Galang. "Hhh ... Aku jadi kangen bunda, ayo pulang." Galang berlalu pergi masuk ke dalam mobil, Lula masih dengan keterkejutannya.

"Mau pulang atau mau bermalam di sini?" tanya Galang sarkas.

"Saya pulang, Pak." Lula segera masuk ke dalam mobil Galang.

***

Lula masih kepikiran dengan ucapan Galang tadi. Apa dia yang salah bicara? Atau Galang yang salah mengartikan ucapannya?

"Kenapa pak Galang jadi aneh begini? Sepertinya karena Kikan, kasihan pak Galang, dia pasti sangat menderita karena wanita itu, sampai ucapan orang pun tak di simak dengan baik."

Akhirnya, Lula memilih merebahkan tubuhnya. Oh iya, Lula melupakan satu kenyataan, di mana jantungnya berdetak cepat, saat Galang mengatakan hal yang menggelikan tadi.

Dan dia mengira kalau tubuhnya ke lelahan, sehingga jantungnya berdegup tidak normal. Lula dia belum mengerti apa arti degupan jantungnya yang tak normal.

***

Galang meraih ponselnya yag berdering nyaring dengan mata terpejam. Marcel menghubunginya saat matahari pun masih enggan menampakkan diri.

Galang berdecak, mengabaikan panggilan Marcel. Kembali melanjutkan tidurnya, karena waktu masih menunjukkan pukul lima pagi.

Tapi bagaikan lonceng yang tertiup angin topan, ponselnya terus berdering, sampai Galang sulit untuk kembali pergi ke pulau mimpinya.

Dengan kesal, Galang meraih ponselnya, dia mengubah posisinya menjadi duduk. "Ada apa?!"

"Galang, gawat! Ada yang menyabotase bahan produksi."

Galang mengernyit bingung, mencoba mencerna ucapan Marcel di sebrang sana.

"Apa maksud lo?"

"Sebaiknya, lo cepat kemari."

Galang mendesah, "Gue ke sana besok."

Panggilan terputus, dengan Galang yang mematikan secara sepihak. Pria itu mengurut keningnya pelan yang terasa berat dan mengikat.

Kemudian, dia mengetik sesuatu di ponselnya, mendekatkan pada telinga, samar-samar terdengar deringan tunggu, dan beberapa saat kemudian, deringan itu terganti dengan suara lembut nan tegas milik Lula.

"Selamat malam, Pak."

"Siapkan dirimu, besok kita pergi ke Kalimantan."

Lula The SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang