Bagian 17

5.8K 446 34
                                    

Galang terlihat marah dengan Lula, sedangkan Lula hanya bisa terdiam dengan kepala menunduk. Saat ini mereka sedang berada di ruangan Galang, dan sudah hampir 15 menit, Lula berdiri di hadapan Galang, namun belum ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Galang setelah Lula meminta maaf padanya atas kemeja putih ketatnya.

Sebenarnya tidak begitu ketat, baju itu pas pada tubuh langsing nya, hanya saja Galang yang berlebihan dan ... Over protective.

"Kenapa kamu mengenakan baju itu dan melepas balzer-mu, untuk apa?"

Lula menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Sepertinya bosnya ini memiliki kognitif ringan, penyakit mudah lupa pada usia muda.

"Maaf, Pak, tapi tadi Bapak sendiri yang menyuruh saya untuk melepas blazer saya karena basah tertumpah air minum yang Bapak beli di mini market sebelum kita sampai di kantor," ujar Lula panjang kali lebar kali tinggi.

Lula sudah kelewat kesal pada bosnya yang akhir-akhir ini sangat keterlaluan. Tidak boleh ini, tidak boleh itu, tidak boleh memakai ini, tidak boleh memakai itu. Bahkan pakaian yang pas di tubuhnya Lula pun masih di larang, padahal bisa Lula lihat sendiri, banyak pegawai wanita di kantor ini yang memakai setelan seragam ketat dengan panjang rok jauh di atas dengkul.

Galang terdiam sesaat seolah mengingat-ingat. Dan, ya, tidak ia pungkiri ucapan Lula memang benar adanya. Galang yang menyuruh gadis itu untuk melepas blazermya agar Lula tidak sakit karena masuk angin, tapi Galang juga tidak tau kalau Lula memakai kemeja putih ketat.

Setelah itu Galang membuka jasnya, dan melemparkannya pada Lula, Lula segera menangkapnya. Raut wajahnya menampakkan kebingungan dan keterkejutan yang begitu kentara.

"Ini-"

"Pakai itu, jangan di lepas walau sedetik saja." Perintah Galang terdengar mutlak di telinga Lula.

"Ba-baik, Pak." Lula masih dengan keterkejutannya.

"Kamu boleh keluar." Galang langsung membuka laptopnya, dan Lula menunduk hormat dan berlalu pergi dari hadapan Galang.

Setelah menutup pintu ruangan Galang, Lula memandangi jas milik Galang yang dia pegangnya. Tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang, Lula sampai memegang dadanya mencoba menormalkan detak jantungnya.

"Tidak ada apa-apa, Lula," gumamnya. Lula segera memakai jas milik Galang dan segera melangkah ke meja kerjanya, mencoba konsentrasi pada pekerjaannya hari ini.

💐💐💐

Jam istirahat sudah tiba, Lula segera melangkah menuju ruangan Galang, ternyata pria itu masih fokus dengan pekerjaannya.

"Permisi, Pak, ini sudah memasuki jam istirahat. Apa ada yang ingin Bapak makan? Biar saya pesankan."

Galang menoleh sesaat pada Lula, lalu kembali fokus pada laptopnya. "Tidak, saya belum ingin makan."

"Baik, kalau begitu saya izin untuk makan siang duluan."

"Hm."

Lula hendak berbalik badan, dia ingin segera menyantap mie ayam yang sudah lama di idam-idamkannya. Namun langkahnya terhenti dengan panggilan Galang.

"Kamu akan makan di mana?" tanya Galang.

"Oh, saya akan makan di kedai mie ayam depan kantor, Pak."

Galang menautkan alisnya. "Kedai depan kantor?" tanyanya.
Lula mengangguk pasti.

"Iya, Pak, kata teman-teman di sini, mie ayam di depan kantor enak, saya pernah makan di sana sekali," jawab Lula antusias.

"Dengan siapa kamu akan makan?"

"Sendiri, Pak." Galang langsung berdiri saat mendengar jawaban Lula.

"Ayo, saya temani!" seru Galang. Seketika Lula merasa tubuhnya kaku.

"Bapak yakin?" tanya Lula menatap Galang ragu.

Secara Galang itu orang nomor satu di kantor ini, dan dia makan di kedai mie ayam, apa dia bisa? Sungguh, Lula tidak mau jadi tersangka pertama di saat Galang merasakan sakit perut nanti.

"Kenapa wajah kamu seperti ragu begitu?" Galang memicingkan matanya. "Jangan-jangan kamu gak mau saya temani?"

"Bu-bukan, Pak. Em .. Kalau begitu saya mau ke toilet dulu."

Lula langsung keluar dari ruangan Galang. Di luar dia menghela nafas lega, manik Galang yang memicing padanya membawa efek kurang baik untuk jantungnya.

"Astaga, tatapan apa tadi."

***

Lula baru kembali dari toilet, langkahnya terhenti saat melihat Galang sudah duduk di meja kerjanya. Mungkinkah Galang menunggu Lula? Segitu inginnya Galang makan mie ayam, sampai dia rela menunggu Lula. Atau ... Jangan-jangan, Galang memang sengaja mau makan bersama Lula.

Lula menepis pikiran itu, tidak mungkin rasanya kalau Galang sengja mau makan bersama Lula. Lula tau betul bagaimana Galang. Pria itu masih susah move on dengan mantan sekretaris-nya yang juga mantan kekasihnya. Atau masih kekasihnya.

"Kenapa lama sekali? Ayo, saya sudah lapar."

Galang berdiri dari duduknya, entah sadar atau tidak, tangannya terulur menuntun tangan Lula. Tentu saja hal itu membuat Lula terkesiap, padahal jantungnya baru saja kembali normal, dan kini harus berdegup cepat lagi.

"Pak, sebaiknya tidak perlu tuntunan, kita bukan sedang menyebrang jalan." Kata-kata itu langsung keluar dari mulut Lula saat lift hampir turun ke lantai dasar.

Sontak saja Galang melepas genggaman tangannya itu, wajahnya berubah merah akibat malu. "Maaf, saya lupa."

Lula langsung mengeluarkan memo kecil dan pulpen dari sakunya, menulis sesuatu di sana, Galang menatap Lula dengan kerutan kecil di dahinya.

"Sedang apa?"

"Mencatatnya. Mulai sekarang saya akan mengingatkannya," kata Lula sungguh-sungguh.

Galang menghela nafas panjang. "Bagus," kata Galang. Lalu keluar saat pintu lift terbuka.

***

*Bersambung*

Lula terlalu polos 😂😂

Eh, iya.. Aku niatnya mau ganti judul  cerita ini.

Gimana menurut kalian?

Lula The SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang