Chapter 22

3.9K 103 1
                                    

[ cerita versi Andri ]

Ya, baru saja gue membuat kesalahan terbesar. Kejadian gue ngebentak Tania adalah sebuah spontanitas. Setelah dia pergi gue baru nyesel. Sorry, guys. Gue bener-bener lagi kalut dan kusut.

Revan masuk ke kamar Tia dengan penuh amarah.

Tenang, kita gak berantem.

"Ndri, gue udah liat bukti-buktinya." Kata Revan tiba-tiba.

Ternyata waktu dia keluar ngejar Tania, dia dikirimin foto bukti Tia sama pacarnya beserta orang suruhannya yang merupakan staff kantor gue.

"Sialan!" Kata gue emosi. "Maksud lo apa sih, Ti?"

"Gu..gu...e." Tia terbata-bata.

"Gue pikir lo udah berubah. Ternyata masih aja busuknya. Lo tuh gak lebih dari yang namanya sampah ya. Busuk." Gila sih gue emosi parah.

"Ndri, gue bisa jelasin." Kata Tia. "Gue iri liat lo sama Tania. Gue masih sayang sama lo."

"Bullshit. Tarik omongan lo. Ngapain lo pilih Iqbal daripada gue?!"

"Waktu itu gu-"

"Matre lo! Pacaran sama Andri karena uangnya kan?!" Timpa Revan. Kadang ada benernya juga.

"Gue bukan matre!" Teriak Tia.

Sampe-sampe ada suster masuk.

"Ada apa ini ribut-ribut?!" Kata suster. Gue panik sih awalnya.

Tapi langsung gue bilang gini aja, "Pasien gak tenang, sus."

"Bapak silahkan tunggu di luar ya." Kata susternya nyuruh gue sama Revan keluar. Btw gue setua itukah, sus???????!!!

Setelah keluar dari kamar Tia, gue bahkan gak nunggu di depan kamarnya. Melainkan gue kabur sama Revan. Gak mau lagi gue kenal sama yang namanya Tia. Gak. Beneran. Gak mau.

Dan sekarang gue merasa menjadi seorang laki-laki yang bego. Sangat bego. Gue mencoba menenangkan pikiran gue. Tapi penyesalan itu kadang muncul disaat pikiran gue udah mulai tenang.

Coffeeshop, 9 PM.

Dari rumah sakit tadi, gue mencoba menenangkan pikiran gue sama Revan. Dia sekalian ngerjain rekapan keuangan kantor. Mana ini hujan. Kan mendukung banget cuacanya.

"Coy, minta sebatang." Kata gue yang gak pernah nyentuh yang namanya rokok. Demi Tuhan gue gak pernah. Seriusan.

"Udah gila lo. Kagak ah." Revan nepis tangan gue. "Lo galau sih galau. Tapi gak gitu juga kali. Inget. Lo harus jaga kesehatan."

"H-10, dan begini." Kata gue pasrah.

"Lo gak coba hubungin Tania?"

Gue hanya diem memandang ke arah depan nanar.

"Bro, cobalah. Ajak ketemuan kek. Masa lo gini sih?!" Revan mulai kesel kayaknya.

"Gue gak mau pernikahan gue ba-"

"Gak akan." Potong Revan. "Tania tuh sayang banget sama lo. Keliatan. Dan yang terpenting ya, dia tulus dan setia. Lo harus bersyukur bisa jatuh hati sejatuh-jatuhnya kepada Tania."

Gue terdiam sejenak tidak menghiraukan omongan Revan yang sangat amat benar itu. Wkwkwk.

"Gue balik dulu, Van." Kata gue tiba-tiba pengen pulang.

...

Rumah gue, 9 AM.

Tidak seperti biasanya, gue masih di rumah jam segini. Mengingat perasaan lagi kacau, jadi gue pengen santai aja hari ini. Lebih tepatnya mau menenangkan pikiran. Jyakh. Kayak abg.

"ANDRIIIIII" Teriak mama dari luar kamar gue.

Gue langsung keluar kamar dan menuju sumber mama teriak.

"Kenapa, ma?" Tanya gue waktu udah ketemu mama di depan pintu kamarnya.

"Kita bawa papa ke rumah sakit ya." Kata mama yang mukanya udah setengah panik.

"Iya, ma. Andri ambil kunci mobil dulu."

Beruntung keadaan papa gak seperti yang gue khawatirkan. Lebih tepatnya kayak kejadian yang pernah menimpa papa. Gue setakut itu kehilangan papa.

Rumah sakit, 11 AM.

Dokter menyarankan papa untuk transfusi darah secepat mungkin. Gue dan mama sepakat kalo papa transfusi hari ini juga. Dan jadilah papa harus diopname. Setelah papa di pindahin ke ruang perawatan, mama jagain papa. Sedangkan gue nyari makan keluar. Laper banget asli.

Pas lagi makan gue tiba-tiba kepikiran Tania. Susah emang kalo udah cinta. Saat makanpun terbayang-bayang. Jyakh.

Kelar makan gue kembali ke ruangan papa. Dan ya...... ada Tania di depan ruangan papa. Lagi duduk dan bengong mikirin sesuatu. Gue pun duduk di samping dia. Mulut gue berusaha untuk bersuara.

"Bener kata kamu, Tan." Kata gue. Ngomongnya lumayan gemeteran.

Tania diem.

"Harusnya aku lebih percaya sama kamu. Jahat ya aku? Aku kira Tia udah berubah. Ternyata belum." Kata gue lagi.

Tania masih diem. Mampus gue.

"Aku sama Tia putus karena dia selingkuh. Dan dia lebih memilih selingkuhannya daripada aku. Sejak itu aku semakin percaya masa depan aku memang kamu."

Tidak ada respon apa-apa dari Tania.

"Aku sayang sama kamu. Tanpa alasan. Bahkan tanpa paksaan. Aku mau kamu jadi pasangan hidup aku karena kamu jawaban dari doaku. Gak mungkin aku sejahat itu mainin pernikahan. Nikah itu ibadah, Tan."

Terjadi keheningan diantara kita sodara-sodara.

Dia nengok ke arah gue. "Maafin aku." Setetes demi setetes air mata Tania jatoh.

"Kamu gak salah kok. Aku yang salah. Aku minta maaf." Tangan gue bergerak buat ngapus air mata Tania. "Jangan nangis lagi ya. Air mata kamu cuma boleh dikeluarin untuk kebahagiaan."

Yes. Jadi nikah gue.

To be continued.

Don't forget to comment and vote!

Andri & Tania [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang