"Mama, bagaimana cara melupakan seseorang?" ucap Vanya datar semnari menelik keluar jendela. Sunyi. Angin menyebalkan yang biasa menerbangkan tirai kamarnya tidak bertamu malam ini.
Mama sigap menghampiri sang putri. "Kenapa sayang?! Ada yang sakit?"
"Tidak, biasanya Vanya bisa melakukanya tanpa di minta. Vanya tidak menyukainya. Tetapi, kini Vanya ingin," lanjut si gadis tanpa mengalihkan pandangan, kegelapan itu menghipnotis meski, monoton dan hambar.
"Vanya sayang," ucap mama memelas, merengkuh tubuh dingin Vanya erat erat.
Papa menggeser buku sketsa dari kursi. "Coba lakukan ini. Jentikan jari dan ucapkan mantra."
Vanya mengikuti. Jentikan jari tiga kali. Seperti titah ayah.
"'Terimakasih, Vanya tidak membutuhkannya lagi.' Click! Click! Click!" Tuntun Papa perlahan, semnbari menjentikakna jari.
Ulang si gadis. Namun, tidak terjadi apapun. Masih terasa hampa.
Kosong...
"Tetapi, Vanya masih ingat. Vanya ingin lupa!" Tegas si gadis, menarik selimut menutup wajah.
"Kau tidak pernah lupa, Vanya. Ingatan itu bersembunyi seperti kau sekarang. Sampul buku memeluk hangat setiap lembar yang ia miliki. Menjaga, menyimpan setiap gores kenangan meski, sebagian terhapus dan sobek, mereka tetap bagian dari buku buku ini." Papa mengambil sebuah buku bersampul coklat tua, membuka lembar demi lembar, dan meletakan kembali di ujung ranjang Vanya.
"Apa kau sudah memeriksa semua buku sampai halaman terakhir? Mungkin Soonya menyimpan ingatan indah untukmu. Untuk kalian." Lanjut ayah.
Vanya terdiam sesaat.
Papa beranjak dari kursi, mematikan lampu, taklupa mengecup hangat dahi [utri kecil tercinta. Sudah waktunya tidur.
Tiga puluh menit berlalu, Vanya mengintip di antara jahitan selimut, samar samar melihat buku itu tergeletak tak jauh dari kakinya. Dalam lamunan sejenak, sunyi tanpa cahaya sang dewi malam.
"Jadi seperti ini ruang kosong yang kau tinggali. Soonya?" lirih Vanya.
Ayah salah, satu satunya yang dapat si gadis lakukan hanya memandangi setiap goresan Soonya. Menerka nerka ingatan tersembunyi di sana. Namun, semakin dalam Vanya memasuki dunia Soonya, membuatnya sadar betapa egois dirinya.
"Soonya, kau memiliki kehidupan yang luar biasa, nyaris sempurna. Semua orang menyukaimu. Daniel, Taehyun, kak Yoojin, bahkan mama, papa menginginkanmu kembali."
"Kenapa kau yang bersembunyi? Aku takkan mampu menggantikan tempatmu!?" lirih parau si gadis.
"Aku mohon, Soonya. Kembali." Tetes air mata membasahi pipi, menggambarkan sesak dan pedih di relung dada si gadis. tempat Soonya terlelap selama ini.
📔📔📔
Taehyun menyeduh teh sembari bersenandung lirih, menelik keluar jendela. Awan putih memeluk langit biru teduh meski, begitu tidak ia rasakan kehangatan. Dingin kuku membuat bulu halus si pemuda berdiri.
"Tidak aku sangka kita bertemu lagi, setelah sekian lama," ujar Taehyun, menyesap perlahan teh hangatnya. Sebelah tangan menggenggam jepit rambut berwarna hijau, berhiasan stiker 3 dimensi bentuk bintang hijau dan gliter senada menampilkan kesan manis. Sesekali mengelus lembut, seirama deru nafas, lambat dan kian berat.
Bukan, bukan milik Soonya. Taehyun membuatnya sendiri, masih menaruh harap dapat berjumpa dengan gadisnya, memberikan pita itu sebagai hadiah, bentuk sambutan cinta.
"Salju kembali tepat waktu, kenapa kau tidak?" lirihnya di sela menikmati secangkir teh yang entah sejak kapan bercampur dengan susu dingin.
"Dasar egois," celetuk Beomgyu, merebahkan punggung di sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Into Lovesick
FanfictionDi tengah malam yang hangat, musim semi memeluk semua jiwa lelah. Mengayomi sembari bernyanyi lirih pada semesta. Hiruk-pikuk kota tidak membuatnya terganggu, terlelap saja sampai kau membuka mata dan menemukan wajah orang tercinta memandangi sembar...