7. Tidak Lagi Bercanda

59 21 12
                                    

Seorang siswi dengan mata yang menatap tajam kearah Senja dan kawan-kawan.

"Seru ya?" dia tersenyum miring.

Wajahnya menyeramkan benar-benar bisa membuat seseorang berkeinginan untuk kabur.

Ada penyesalan dihati Senja. Ini adalah konsekuensi yang haru dia terima.

"Kalian gak lupa kan?" tatapannya semakin menajam.

Septian dengan berani menjawab. "Memang kita ada janji?" suaranya berubah menjadi datar.

"Cih, gak usah sok berani. Aku tau kalian takut sekarang." dia tertawa mengejek.

"Takut?" Senja berujar. Nadanya sinis dan tidak menampakkan keramahan.

"Sebelum terlambat, kalian minta maaf sekarang." nada bicaranya meninggi, dia mulai membentak.

Entah masalah apa yang menimpa Senja. Sebuah kesalahan kecil yang terlalu dibesar-besarkan.

"Tidak ada salahnya meminta maaf tanpa memiliki kesalahan, tapi jangan harap saya akan meminta maaf." jawab Senja.

Ijul yang biasanya ikut berujar kini hanya diam membeku. Tangannya mengepal kuat, dia marah. Sekali ada yang menyenggol bisa hancur tatanan.

"Kamu gak lihat? Temenmu itu sudah gemetaran." ejeknya, suara tawa mengejek juga keluar dari mulutnya.

"Aku gak takut, aku cuma gak mau berurusan sama Kak Aldi." jawab Ijul dengan sigap.

Ijul memang takut dengan Aldi karena kejadian dimasa lalu. Walaupun kejadian itu sudah terlupakan.

"Makannya sekarang minta maaf." bentak Alya-peremupuan yang marah sejak tadi. Hal-hal baik yang pernah ada dipikiran Senja sekarang sudah hilang.

"Saya minta maaf." ujar Ijul tanpa berpikir panjang lagi.

Jelas hal itu membuat Senja marah. "Ijul." Senja membentaknya. Kali ini bukan lagi candaan.

"Aku belum memaafkan, teman-temanmu belum ada yang minta maaf," Alya berlagak seolah sedang berpikir. "Bagaimana kalau kamu berlutut sebagai permintaan maaf mewakili teman-temanmu." lanjutnya.

Dan apa yang terjadi? Ijul langsung duduk menghadap Alya, seolah dia adalah budak yang memohon untuk tidak dihukum mati.

Sebuah sabar yang ada batasnya, diam yang juga memiliki batasan. Septian langsung mendorong tubuh Alya.

Tepat pada saat itu, Fajar dan Luna datang ke kelas. Tidak hanya mereka berdua, masih ada orang lain yaitu Aldi dan Radit.

Melihat pacarnya yang sudah jatuh dan menangis, Aldi langsung masuk dengan wajah marah.

"SIAPA YANG DORONG?" dia berteriak.

Jelas semua orang yang ada disana menjadi kaget. Septian yang mendorongnya menjadi gemetar, menyesal akan apa yang sudah dia lakukan.

Aldi langsung menaruh wajah curiga pada Septian. Dia menarik kerah baju Septian. "KAMU YANG DORONG? BERANI SEKALI KAMU?"

Septian yang notabennya hanya orang pendiam menjadi sangat syok dan ketakutan.

Sebuah pukulan langsung mendarat di wajah Septian. Dia langsung jatuh tersungkur, punggungnya menabrak meja di kelas itu.

"Aldi!! Cukup!!" pemintaan dari Fajar sudah tak dihiraukan oleh Aldi.

Dia terus memukul Septian yang tidak berdaya. Tak ada niat di dalam hati Septian untuk membalas pukulan Aldi.

Dia menerima setiap pukulan itu. Seolah sudah menjadi hal biasa baginya.

Semua orang disana tidak akan tinggal diam. Fajar menarik Aldi dan memeganginya. Dengan sekuat tenaga Fajar mencoba untuk menghentikannya, sama halnya dengan Radit yang turut membantu Fajar.

Senja muak dengan semua hal ini. "DIAM!!" itu Senja berteriak.

Dia yang jarang sekali marah, dan menganggap semua hal dengan sisi positifnya. Kali ini tidak, dia sudah geram dengan semuanya.

"Kak Alya, saya minta maaf atas kesalahan yang tidak saya ketahui dan menurut anda itu sangat menusuk hati." Senja menatap tajam Alya, emosinya sudah berada dipuncak.

Senja pernah membaca sebuah artikel, bahwa saat marah tidak boleh berujar ataupun melakukan sesuatu karena bisa menjadi penyesalan. Namun, Senja sudah tidak memikirkan hal itu.

"Saya harap anda tidak akan pernah menganggu saya dan teman-teman saya lagi." tambahnya.

Kini tatapannya beralih ke Aldi. Menatap sinis seolah membunuh dan menelannya bulat-bulat.

"Dan Kak Aldi," dia tersenyum miring. "Semoga setelah menyakiti teman saya, lalu mengetahui apa yang terjadi sebelumnya anda tidak akan menyesal." lanjutnya.

"Saya tidak peduli kalian kakak kelasnya. Satu prinsip yang saya pegang teguh, jika anda baik ke saya maka saya akan membalasnya lebih baik. Namun jika anda berbuat buruk ke saya, jangan berpikir saya tidak bisa membalasnya lebih buruk." ucapan Senja membuat semua orang tercengang.

Baru kali ini mereka melihat Senja begitu marah. Biasanya marah hanya sebuah candaan, kini bukan lagi.

"MAU APA SEKARANG? PERGI." bentak Senja.

Air mata yang dia tahan selama berujar, menetes ketika dia melihat sahabatnya sudah babak belur terkapar di lantai.

"Berdiri Jul." tatapan Senja berubah melembut kala melihat kedua sahabatnya.

"Ayo bawa Septian ke UKS." suara lembut penuh kasih sayang milik Senja sudah kembali.

Dia dan Ijul membopong Septian pergi ke UKS. Hati nurani Fajar juga tak tega melihat itu.

"Mau saya bantu Dik?" tanya Fajar halus.

"Saya gak butuh bantuan, saya hanya ingin kakak dan teman-teman kakak gak ganggu kehidupan saya dan teman-teman saya." jawab Senja.

Untuk saat ini rasa diperhatikan Fajar tidak terlalu membahagiakan. Walau hatinya masih berdesir.

Setibanya di UKS, Ijul langsung membaringkan tubuh Septian.

Tak begitu lama Vanny datang, dia orang yang sedang dekat dengan Septian. Tapi wajahnya tak nampak sedikitpun kesedihan.

"Maaf, aku sudah punya pacar hari ini. Aku harap kamu bahagia." tiba-tiba dia langsung berujar seperti itu.

Wajah Septian langsung tercengang. Bukan hanya wajahnya yang sakit terhantam, hatinya juga menyusul.

"Sep, yang sabar ya." ujar Senja.

"Jangan panggil Sep, serasan namaku kayak Asep gitu loh." dia merajuk.

Septian tidak suka dipanggil Sep. "Gak papa Sep, kamu harus banyak sabar." timpal Ijul.

"Jul, jangan nambah aku marah." ujar Septian.

"Sebentar Sep, aku mau manggil petugas UKS dulu."

Senja langsung berlari keluar. Mencari petugas yang piket hari ini.

"Kak minta bantuannya." akhirnya Senja menemukan orang itu.

"Bantu apa Dik?"

Tanpa berbasa-basi lagi Senja langsung menarik kakak kelasnya itu ke UKS.

"Teman saya Kak." Senja menunjuk Septian yang sudah babak belur.

Kakak kelasnya itu langsung paham dan mulai mengobati Septian.

"Lain kali jangan berantem Dik, ini sekolah bukan ring tinju." ujarnya lalu pergi karena sudah selesai mengobati.

Adorable YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang